ThePhrase.id - Penangkapan Zarof Ricar, seorang makelar kasus di Mahkamah Agung, yang memiliki uang tunai hampir Rp1 triliun adalah episode baru tentang fenomena “puncak gunung es” korupsi di Indonesia. Zarof Ricar adalah mantan pejabat Mahkamah Agung yang ditangkap oleh penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, pada Kamis, 24 Oktober 2024 di Bali. Zarof ditangkap karena diduga akan melakukan permufakatan jahat berupa penyuapan atau gratifikasi bersama tersangka lain Lisa Rahma. Lisa Rahma adalah pengacara Ronald Tannur, terpidana kasus pembunuhan Dini Sera yang dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Putusan bebas Ronald itu dianulir dan dilanjutkan di tingkat Kasasi.
Zarof Ricar dan Lisa Rahma berupaya menyuap hakim MA berinisial S, A dan S yang menangani kasus itu dengan uang senilai Rp5 milar dalam bentuk pecahan mata uang asing. Atas jasanya itu Zarof akan diberikan Rp1 miliar.
Pihak Kejaksaan Agung mencatat Zarof kerap menerima gratifikasi saat menjadi pejabat di Mahkamah Agung (MA) pada periode 2012 sampai 2022. Dia diduga menerima gratifikasi urusan perkara-perkara di MA dalam berbagai mata uang, dari rupiah, dolar AS serta mata uang asing lainnya.
Dari penggeledahan di rumahnya di kawasan Senayan, penyidik menemukan uang tunai dalam bentuk rupiah dan mata uang asing lainya senilah Rp920 miliar. Logam mulia seberat 51 kilogram beserta sebuah dompet warna pink berisi surat-surat berharga pembelian emas dan logam mulia. Juga ada uang tunai senilai Rp20 juta lebih yang ditemukan di kamar hotel tempat dia menginap di Bali.
Sebelum ini, kita juga disuguhkan kasus korupsi dan pelanggaran hukum di kepolisian dengan jumlah uang yang fantastis. Seperti pada kasus Ferdy Sambo yang terbukti menembak anak buahnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pada tahun 2022 lalu. Saat penggeledahan, penyidik disebut-sebut menemukan sebuah bunker di rumahnya di kawasan Kemang yang berisi uang tunai senilai Rp900 miliar. Kabar yang cukup santer dibantah oleh polisi.
"Berdasarkan informasi dari tim khusus yang melakukan penggeledahan di beberapa tempat Irjen FS, info soal bunker Rp 900 miliar tidaklah benar," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dalam keterangannya, Sabtu (20/8/2022).
Di ruang publik, keterangan resmi pihak kepolisian ini beradu kuat dengan informasi yang beredar di media sosial tentang uang di bunker itu yang disebut sebagai setoran pengusaha judi online kepada konsorsium 303. Sebuah Konsorsium yang di dalamnya terdapat 13 anggota Polri dan 7 di antaranya berpangkat jenderal.
Jauh sebelum kasus Sambo, kasus korupsi pengadaan simulator SIM juga sempat menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, korupsi senilai Rp198 miliar yang terungkap pada Agustus 2012 itu, melibatkan dua orang jenderal polisi, mantan Kakorlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo dan mantan Wakil Kakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo.
Masih di korp Bhayangkara, seorang anggota Polres Raja Ampat, Papua, Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Labora Sitorus, memiliki rekening mencurigakan berisi transaksi keuangan hingga Rp1,5 triliun. AIptu Labora Sitorus ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua atas dugaan kejahatan penebangan liar dan kepemilikan bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 1 juta liter.
Nama Labora Sitorus muncul setelah Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa ia memiliki transaksi perbankan mencapai Rp1,5 triliun. Sementara di dalam rekeningnya ada simpanan uang Rp900 miliar.
Fenomena gunung es korupsi ini juga pernah terungkap di Dijen Pajak, Kementerian Keuangan RI pada tahun 2010 lalu, dengan ditangkapnya makelar pajak, Gayus Tambunan. Seorang pegawai pajak Golongan III A dan bergaji Rp12,1 juta per bulan tetapi memiliki simpanan di rekeningnya Rp100 miliar. Gayus yang digelari sebagai mafia pajak itu divonis total selama 29 tahun penjara. Namun beberapa kesaksian menyebutkan Gayus sering kedapatan berada di luar penjara.
Puncak gunung es korupsi ini terjadi di semua sektor, peradilan, keuangan, pertambangan dan energi, infrastruktur dan pekerjaan umum, pendidikan, agama, pertanian dan perkebunan, kelautan dan perikanan dan lain-lain yang hampir membuat Indonesa bangkrut dan membuka ruang untuk menjadi negara gagal.
Ibarat sebuah keluarga, Indonesia itu miskin karena kekayaannya dikentit dan digarong anggota keluargannya. Akibatnya keluarga tidak punya cukup uang dan simpanan untuk membiayai kebutuhan keluarga. Tetapi di sisi lain ada anggota keluarga yang berfoya-foya dan hidup mewah dengan uang hasil colongan dari lemari atau brankas keluarganya. Sementara keluarga sendiri terpaksa harus ngutang, minta bantuan tetangga atau jual barang untuk memenuhi kebutuhannya. Ibarat bangunan, Indonesia itu sudah rapuh dan keropos karena tiang, dinding, jendela, pintu dan atapnya habis dimakan rayap.
Apakah korupsi ini bisa dicegah atau ditekan di negeri ini? Sangat bisa. Tergantung niat kuat dan komitmen penyelenggara negara. Indonesia sudah punya cara untuk menarik harta dan asset dari para penyolong dan pengentit kekayaan negara itu. Paling tidak, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dari pemerintah sudah masuk ke DPR sejak 4 Mei 2023 lalu. Namun belum juga disetujui DPR hingga saat ini. Bahkan pada masa DPR yang sekarang, RUU Perampasan Aset tidak masuk dalam daftar usulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.
Peneliti Indonesia Coruption Watch, Dicky Anandya menegaskan bahwa tidak masuknya RUU Perampasan asset dalam prolegnas DPR ini adalah kabar yang sangat mengecewakan. "Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset belum dimasukkan ke dalam program legislasi nasional 2025-2029 tentu sangat mengecewakan bagi publik," ujar Diky Anandya, Selasa (29/10/2024).
Sementara itu, Anggota Badan Legislasi yang juga mantan Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay, mengungkapkan bahwa secara politik RUU ini memang tidak mudah. "Kami sudah membahas itu dan kami sudah komunikasi dengan partai-partai lain. Tetapi kelihatannya di partai-partai lain juga tidak mudah, kan mereka semuanya sama seperti kita," ujar Saleh usai rapat Baleg, Senin (28/10/2024).
Saleh meminta publik tidak menyalahkan DPR terkait tidak masuknya RUU itu dalam prolegnas, namun pemerintah yang harus berinsitif agar RUU itu dapat diundangkan. "Saya juga menunggu inisiatif dari pemerintah seperti apa. Ini kan inisiatif pemerintah. Jadi jangan semua mata tertuju ke Baleg DPR," kata Saleh lagi.
Dengan tak masuknya RUU Perampasan Aset ke Prolegnas, artinya RUU yang sudah diusulkan pemerintah ini lagi-lagi tak jelas nasibnya. Namun seperti yang diungkapkan Saleh Daulay, pemerintah harus lebih aktif untuk mendorong terbitnya UU Perampasan Aset itu karena RUU itu adalah inisiatif pemerintah.
Karena itu, sekarang tergantung pada komitmen Presiden Prabowo Subianto mau serius memberantas korupsi atau hanya sekedar lips service seperti yang sudah-sudah. Kerena, jika undang-undang perampasan asset sudah berlaku maka akan jadi penghalang bagi orang yang ingin kaya cepat dan juga akan membuat banyak orang kaya menjadi miskin mendadak. (Aswan AS)