ThePhrase.id - Penahanan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate oleh Kejaksaan Agung pada Rabu (17/5) menambah daftar panjang pejabat negara yang ditangkap karena kasus korupsi. Johhny ditangkap dalam kasus proyek pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G dengan kerugian negara Rp8 triliun.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selama periode 2004-2022, sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi yang berurusan dengan KPK. Dari jumlah itu, rinciannya 22 gubernur dan 154 bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 310 wakil rakyat juga terjerat korupsi pada periode yang sama.
Saat mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR pada tahun 1998. (Getty Images)
Massifnya perilaku korupsi ini tergambar dari ucapan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Mahfud menyebut korupsi yang terjadi saat ini justru lebih gila daripada korupsi yang dilakukan saat Soeharto menjabat sebagai presiden di era Orde Baru (Orba).
"Kenyataannya sekarang ini saja sekarang, hari ini, korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru," kata Mahfud dalam tayangan video di akun YouTube resmi milik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada masa orde baru atau saat Presiden RI Soeharto berkuasa, korupsi hanya dilakukan dia dan lingkarannya serta dikendalikan langsung olehnya. Namun saat ini, ia menilai setiap orang bahkan elite justru terjerumus dalam korupsi, tanpa dikomandoi pemimpin negeri.
Mahfud menerangkan dari mulai DPR hingga pejabat daerah bisa melakukan tindak pidana tersebut dengan bebas dan tanpa rasa malu.
"Ingat enggak, dulu nggak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim enggak berani dulu, gubernur, bupati, nggak berani. Dulu korupsinya terkoordinir. Sekarang lihat ke DPR korupsi sendiri, Mahkamah Agung, hakimnya korupsi sendiri, Mahkamah Konstitusi, gubernur, Kepala Daerah, DPRD semua korupsi sendiri-sendiri," ungkap mantan hakim konstitusi itu.
Penyebab orang korupsi
Menkominfo, Johnny Plate ditahan Kejagung. Dok. Antarafoto
Apa yang menyebabkan orang berani melakukan tindak pidana korupsi? Mengutip dari laman kpk.go.id, penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan eksternal.
Faktor penyebab internal, pertama karena sifat serakah, tamak atau rakus manusia, yaitu sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Kedua, gaya hidup konsumtif. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai. Ketiga, moral yang lemah, aspek lemah moral menyangkut lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi.
Faktor penyebab eksternal ada 5:
1. Aspek sosial. Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga. Juga nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi, seperti masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi.
2. Aspek Politik. Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi penyebab korupsi. Balas jasa politik, dukungan imbal jasa memaksa pejabat terpilih untuk membayar upeti politik dalam jumlah besar.
Bendahara Umum Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Partai Demokrat Balikpapan Nur Afifah Balqis (kanan) dikawal petugas saat menuju ruangan untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (11/2/2022). Dok. Antarafoto
3. Aspek Hukum.Aspek Hulkum menjadi penyebab korupsi dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum.
4. Aspek Ekonomi. Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan.
5. Aspek Organisasi. Yakni organisasi tempat koruptor berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen.
Biaya Politik Tinggi
Menko Polhukam Mahfud MD menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, usai didapuk menjadi Plt Menkominfo, Senin (22/5/2023). Foto/MPI
Maraknya korupsi di kalangan pejabat itu akibat dari biaya politik yang tinggi. Wakil Ketua KPK Ghufron mengatakan modal puluhan hingga ratusan miliar yang dikeluarkan calon kepala daerah mengakibatkan proses politik menjadi transaksi bisnis.
Berdasarkan survei KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), calon bupati /walikota membutuhkan dana Rp20-30 miliar untuk mencalonkan diri. Sementara untuk menjadi gubernur atau wakilnya butuh Rp100 miliar.
Hal itu menjadi tidak masuk akal karena gaji mereka dalam lima tahun menjabat sebagai kepala daerah tidak sebanding dengan pengeluaran ketika pemilu.
“Hal ini mengakibatkan proses politik yang semestinya dilakukan secara hati nurani kemudian menjadi transaksi bisnis,” kata Ghufron seperti yang dilansir Kompas.com, (18/9/2022).
Mahalnya ongkos politik juga menyeret politisi dalam arus korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat sejumlah nama politisi muda yang tertangkap karena korupsi. Nur Afifah Balqis (NAB) masih berusia 24 tahun ketika terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia terseret kasus suap Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafar Ma’sud (34 tahun) yang lebih dulu ditangkap KPK. NAB diduga tidak hanya berperan pasif dalam kasus suap berkaitan dengan proyek di sejumlah dinas di Kabupaten PPU. NAB yang merupakan bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan tersebut bertindak sebagai penampung dan pengelola suap sang bupati.
Ada juga nama anggota DPR RI Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati dan pengusaha yang juga politisi Golkar Fahd El Fouz. Pada saat ditangkap, Wa Ode sebaga penerima suap baru berusia 30 tahun dan Fahd sebagai pemberi suap berusia 29 tahun. Bahkan, kepala daerah yang mendapat rekor MURI pada 2016 sebagai walikota termuda, yaitu Walikota Tanjungbalai M. Syahrial, ditetapkan sebagai tersangka korupsi saat usianya 33 tahun.
Kegagalan Reformasi?
Kerusuhan massa terjadi di wilayah Semanggi, Rabu (13/5/1998). Lalu lintas dari arah jembatan Sudirman ke Semanggi dan sebaliknya terhenti sekitar dua jam. Nampak aparat keamanan mencoba mengamankan jalannya kerusuhan.(Kompas.Tri Agung Kristanto)
Pemberantasan korupsi adalah salah satu agenda yang menjadi tuntutan gerakan reformasi 21 Mei 1998 lalu. Namun setelah tuntutan itu berhasil yang ditandai dengan turunnya Presiden ke-2 Soeharto dari kekuasaanya, korupsi bukan berkurang tetapi lebih massif dan meluas. Otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi justru menjadi pintu lebar buat kepala daerah untuk melakukan korupsi. Tuntutan reformasi lain adalah supremasi hukum. Hukum hari ini tidak menjadi penjamin keadilan tetapi ladang baru untuk aparat penegak hukum untuk melakukan korupsi dengan bertransaksi jual beli perkara.
Maka melihat fakta-fakta itu, setelah 25 tahun gerakan reformasi muncul sebuah peratnyaan, apakah reformasi itu adalah gerakan untuk menciptakan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera atau jargon politik untuk menumbangkan Presiden Soeharto dan mengambil kekuasaanya agar bisa melakukan korupsi juga? Wallahu ‘alam. (Aswan AS)