leader

Achmad Syafiuddin, Anak Penjual Jamu yang Masuk Ilmuwan Top Dunia

Penulis Rahma K
Nov 11, 2021
Achmad Syafiuddin, Anak Penjual Jamu yang Masuk Ilmuwan Top Dunia
ThePhrase.id – Ilmu dapat ditimba siapa saja yang ingin berusaha, tidak peduli latar belakang orang tersebut. Begitu juga dengan Achmad Syafiuddin, dosen yang baru saja masuk ke dalam daftar ilmuwan top dunia yang dirilis Elsevier ini memiliki masa kecil yang susah.

Nama dengan gelar lengkapnya adalah Achmad Syafiuddin S.Si., M.Phil., Ph.D. Syafiuddin masuk ke dalam daftar penulis sains top dunia yang dirilis oleh Elsevier Oktober 2021 lalu. Daftar yang dirilis tersebut berisikan penulis sains top dunia berdasarkan indikator kutipan standar.

Ilmuwan-ilmuwan tersebut diklasifikasikan menjadi 22 bidang keilmuan dan 176 sub bidang. Persentil khusus bidang dan subbidang juga disediakan untuk semua ilmuwan yang telah menerbitkan setidaknya 5 makalah.

Achmad Syafiuddin masuk ke dalam daftar ilmuwan top dunia. (Foto: instagram/ lptnu_official)


Elsevier itu sendiri adalah lembaga penerbit tingkat dunia yang membantu para peneliti dan profesional kesehatan dalam memajukan dunia sains selama lebih dari 1 abad atau lebih tepatnya 140 tahun. Elsevier juga merupakan pengelola Scopus, salah satu database sitasi dan literasi jurnal ilmiah yang bereputasi.

Syafiuddin merupakan dosen pada Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), menempati urutan ke-18 berdasarkan ranking all citation atau urutan ke-26 berdasarkan self-citation excluded di antara ilmuwan-ilmuwan Indonesia. Sedangkan total ilmuwan yang masuk ke daftar tersebut ada 58 orang, termasuk Syafiuddin.

“Saya termasuk yang paling junior, karena yang masuk daftar di sana adalah para ilmuwan senior dari beberapa kampus ternama di Indonesia,” ungkap Syafiuddin.

Anak Penjual Jamu


Achmad Syafiuddin. (Foto: unusa.ac.id)


Di luar keberhasilannya menjadi salah satu ilmuwan top dunia, ternyata Syafiuddin memiliki masa kecil yang sulit. Ia dan keluarganya ditinggal sang ayah meninggal dunia ketika masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD).

Hal ini membuat sang ibu banting tulang untuk menghidupi keluarganya dengan berjualan jamu keliling. Pasalnya, anak yang harus dihidupi sang ibu berjumlah 5 anak termasuk Syafiuddin.

"Dulu saya tidak berpikir sama sekali untuk melanjutkan kuliah, karena memang saat itu mau makan saja sulit. Jadi mustahil untuk kuliah, apalagi ibu saya harus menghidupi lima orang anaknya," ujar Syafiuddin, dilansir dari laman Unusa.

Syafiuddin merupakan anak keempat yang mana ketiga kakaknya hanya lulus SD. Melihat hal tersebut, ia tidak pernah berpikir untuk kuliah. Bahkan, dapat melanjutkan studi hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) saja ia sudah bersyukur.

"Dengan kondisi semacam ini, saya sempat tidak memiliki pikiran untuk kuliah. Lulus SMA pun itu sudah bagus," tambah ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusa ini.

Achmad Syafiuddin. (Foto: unusa.ac.id)

Mendapat Beasiswa Bidikmisi dan Melanjutkan Hingga S3


Setelah lulus dari SMA, Syafiuddin mengetahui keberadaan beasiswa Bidikmisi dari pemerintah. Namun, kala itu ia tidak memiliki komputer sehingga tidak dapat mengakses informasi lebih lanjut. Untungnya, ada seorang guru SMA-nya yang berbaik hati membantu Syafiuddin untuk mendaftar beasiswa menggunakan komputer sekolah.

Pada tahun yang sama yakni 2010, Syafiuddin lolos dan mendapatkan beasiswa Bidikmisi tersebut di Institut Pertanian Bogor (IPB). Tetapi, ia masih buta akan lokasi almamaternya tersebut. "Bahkan untuk berangkat ke Bogor saja, saya tidak mengetahui lokasinya," ujar Syafiuddin.

Bersyukur akan kesempatan yang didapatkannya, ia kemudian belajar dengan sungguh-sungguh dan mengasah kemampuan akademiknya. Usahanya membuahkan hasil kelulusan yang cepat yakni 3,5 tahun untuk mendapatkan gelar sarjana.

Setelah lulus S1, Syafiuddin makin ingin menimba ilmu. Ia kemudian mendapat kesempatan melanjutkan studi jenjang Magister di Universiti Teknologi malaysia (UTM) dan lulus dalam kurun waktu 1,5 tahun. Tak berhenti di situ, ia kemudian melanjutkan ke jenjang doktoral di universitas yang sama dan lulus dalam 3 tahun.

Achmad Syafiuddin. (Foto: unusa.ac.id)


Syafiuddin mengaku selama berkuliah ia banyak dibantu oleh teman-teman dan dosennya dan tidak minder karena merupakan mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Menurutnya, program Bidikmisi ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengentas kemiskinan seperti yang ia alami. Bahkan, sekarang ia telah dapat menyekolahkan sang adik hingga perguruan tinggi.

Dengan kesulitan yang ia jalani sewaktu kecil, Syafiuddin tidak menyangka sekarang ia dapat menjadi dosen, memiliki gelar hingga S3, dan bahkan kini masuk pada daftar ilmuwan top dunia.

“Karena memang saat itu saya tidak menyangka jika bisa kuliah dan sekarang saya menjadi dosen,” tutur Syafiuddin. [rk]

Tags Terkait

 
Related News

Popular News

 

News Topic