features

Adu Cepat Utang Whoosh dan Belitan Potensi Korupsi

Penulis M. Hafid
Oct 29, 2025
Kereta cepat Whoosh. (Foto: kcic.co.id)
Kereta cepat Whoosh. (Foto: kcic.co.id)

Thephrase.id - Halima (26) masih sangat hafal dengan kenyamanan dan kenikmatan duduk di kursi kabin Whoosh yang dijajalnya pada akhir 2023 lalu. Kecepatan kereta yang mencapai 350 km/jam itu membuat pemandangan kota dan perkampungan di setiap sisinya tampak seperti siluet.

"Asli, itu enak dan nyaman banget. Kursinya empuk dan modern," cerita Halima dengan sangat antusias.

Hal yang paling menakjubkan dari Whoosh adalah kecepatannya. "Bayangkan ya, Jakarta - Bandung hanya setengah jam lebih. Padahal kalau (naik) kereta biasa bisa 3 jam (jarak tempuh Jakarta-Bandung)," ucapnya.

Pengalaman indah Halima terbentur kenyataan pahit. Kursi empuk di ruang rapat BUMN maupun Danantara tak lagi terasa nyaman dan menyenangkan. Laju utang dan bunganya yang melesat bagai kilat menghantuinya.

Bagaimana tidak, biaya proyek Whoosh ternyata membengkak dari estimasi semula sebesar USD6,07 miliar (sekitar Rp99,5 triliun) menjadi USD7,26 miliar, setara dengan Rp119,79 triliun. Angka itu sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar USD1,21 miliar atau Rp19,96 triliun.

Mayoritas dana pembangunan diambil dari pinjaman luar negeri sebesar 75 persen kepada China Development Bank (CDB). Sisanya, dibiayai dari ekuitas pemegang saham. Bunga per tahunnya sebesar 2 persen atau hampir Rp2 triliun yang harus dibayarkan.

Ironisnya, untuk bayar bunga utang saja konsorsium BUMN Indonesia, selaku pengelola Whoosh harus tertatih-tatih. Penjualan tiket yang diandalkan tak mampu menutupinya. Sepanjang 2024, Whoosh hanya mengangkut sekitar 6 juta orang, jauh dari target awal sebanyak 31 juta penumpang per tahun.

Janji tidak menggunakan APBN pun diingkari. Presiden Joko Widodo secara sembunyi menerbitkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021, yang membuka kran APBN mengaliri proyek Whoosh melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) dan penjaminan negara.

"Secara prinsip, proyek ini awalnya diklaim sebagai proyek B to B (business-to-business) tanpa beban fiskal, namun realisasinya justru menimbulkan fiscal spillover akibat suntikan PMN dan penjaminan negara," kata Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman kepada ThePhrase.id, Senin (27/10).

Adu Cepat Utang Whoosh dan Belitan Potensi Korupsi
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman (berdiri pegang mic). Foto: ANTARA/Aji Cakti

Pemerintah dinilai berpotensi menanggung contingent liability atau utang bersyarat yang cukup besar setelah pendapatan Whoosh tak mampu menutupi biaya bunga per tahun. Rizal menyebut, efek domino dari karut marut itu membuat kredibilitas fiskal tergerus, tekanan pada peringkat utang Indonesia, hingga menurunnya kepercayaan investor terhadap proyek BUMN.

Proyek itu lantas memantulkan moral hazard dengan jelas. Karena, selain tidak ada transparansi penyebab pembengkakan biaya, juga terjadi pengingkaran janji dengan membebani pemerintah dan masyarakat melalui PMN. "Sementara keuntungan awal dinikmati oleh pihak BUMN dan mitra asing," ucapnya.

Upaya restrukturisasi coba dilakukan oleh pemerintah dan Danantara. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim sudah ada kesepakatan dengan China ihwal restrukturisasi. Sementara Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria menyebut upaya restrukturisasi akan dilakukan dengan mengutus beberapa orang untuk bernegosiasi.

Rizal menyebut restrukturisasi bisa berdampak positif, apabila berhasil menurunkan beban bunga utang dan memperpanjang waktu tenor, dengan catatan tidak menambah risiko fiskal. Akan tetapi, apabila restrukturisasi dilakukan hanya untuk memperlambat pemenuhan kewajiban, efeknya pun tidak seberapa.

"Restrukturisasi ini mestinya disertai audit forensik independen untuk memastikan bahwa negosiasi tidak menguntungkan sepihak dan benar-benar menekan beban keuangan negara. Jika tidak, maka restrukturisasi hanya menjadi mekanisme politik ekonomi untuk menutupi kerentanan fiskal akibat salah kelola proyek," ucapnya.

Jauh daripada itu, Rizal mengungkapkan biang kerok masalah Whoosh berasal dari pemindahan kerja sama dari Jepang ke China. Keputusan itu tak lebih hanya kepentingan politik jangka pendek tanpa pertimbangan masa depan ekonomi.

Padahal, Jepang telah menawarkan skema Official Development Assistance (ODA) dengan bunga rendah dan pengawasan ketat. Sedangkan Tiongkok menawarkan pembiayaan cepat tapi berisiko tinggi, karena tanpa studi kelayakan mendalam. Tapi, tawaran dari China yang justru diterima.

Kata Rizal, itu merupakan kesalahan yang disengaja, tidak hanya administratif melainkan policy error. "Dalam ekonomi pembangunan, hal ini mengindikasikan institutional weakness dimana kebijakan strategis tidak melewati due diligence fiskal yang komprehensif," ujarnya.

"Hasilnya adalah proyek berbiaya mahal dengan manfaat ekonomi yang belum sebanding dengan beban finansialnya," imbuhnya.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mencurigai adanya mark up dalam proyek Whoosh, sebab biayanya naik tiga kali lipat.

“Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, di China sendiri, hitungannya 17-18 juta dolar AS. Naik tiga kali lipat,” kata Mahfud di akun YouTube miliknya.

Bagi Rizal, dugaan mark up itu perlu dilihat dari kemungkinan adanya penyimpangan kontrak dan penggunaan PMN dari koridor hukum. Apabila terjadi penyimpangan hukum, maka kerugian negara dan potensi korupsi nyata adanya.

Lain halnya apabila dilihat dari kacamata ekonomi publik, korupsi disebut tidak hanya soal merugikan APBN semata. “Tetapi juga menurunkan social return dan kepercayaan investor terhadap kredibilitas kebijakan infrastruktur nasional,” tuturnya.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, membengkaknya biaya proyek Whoosh tidak lantas disebut sebagai tindak pidana korupsi, melainkan hanya konsekuensi peralihan kerja sama dari Jepang ke China.

Dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, kata Fickar, apabila pengambil keputusan di tingkat menteri hingga presiden menerima sesuatu atau gratifikasi dari pihak tertentu, baik secara langsung maupun tidak.

“Sebagai kebijakan publik yang diputuskan presiden pada waktu itu, sekalipun salah atau keliru sepanjang belum terbukti menguntungkan pihak yang memutuskan, maka belum dapat dipersoalkan secara hukum,” kata Fickar kepada ThePhrase.id, Senin.

Adu Cepat Utang Whoosh dan Belitan Potensi Korupsi
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Foto: Instagram @abdulhadjar.

Walakin, kesalahan prosedural yang dilakukan pemangku kebijakan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara politik. Salah satu permintaan pertanggungjawaban secara politik adalah berupa impeachment atau pemakzulan, selama kesalahan itu berasal dari presiden yang sedang menjabat.

Fickar menyampaikan, apabila presiden yang mengambil keputusan itu sudah purna tugas, yang mesti dilakukan adalah DPR melakukan investigasi dan penyelidikan untuk mencari penyimpangan di dalam proyek tersebut. Aparat penegak hukum kemudian bertindak, jika hasil penyelidikan tersebut ditemukan unsur pidana.

“Kalau tidak bisa dibuktikan dia menerima sesuatu sulit untuk memproses korupsi. Karena jika hanya kebijakan koreksi bisa dilakukan melalui PTUN (jika bersifat individual) atau judicial Review melalui MK, jika produk kebijakannya selevel UU,” paparnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut sudah melakukan penyelidikan jauh-jauh hari, beberapa bulan sebelum ramai-ramai dugaan mark up oleh Mahfud MD. Langkah maju lembaga antirasuah itu dilakukan sejak awal tahun 2025.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengungkap bahwa selama proses penyelidikan, telah dilakukan pemeriksaan sejumlah saksi. Namun, dia enggan menyampaikan siapa saja yang telah dimintai keterangan.

"Memang ini masih terus berprogres dalam proses penyelidikan. Secara umum tentu tim terus melakukan pencarian, keterangan-keterangan yang dibutuhkan untuk membantu dalam mengungkap perkara ini,” katanya, Senin (27/10).

Permintaan melaporkan bagi masyarakat ihwal dugaan korupsi dalam proyek Whoosh, termasuk kepada Mahfud MD dilakukan untuk pengayaan informasi, sehingga memuluskan laju penyelidikan yang dilakukan KPK. Sekalipun, lanjut Budi, sejauh ini belum ada kendala dalam proses penyelidikan.

"Kita berikan ruang dan kita berikan waktu pada proses penegakan hukum yang sedang berjalan di KPK ini supaya proses-prosesnya bisa betul-betul firm untuk menemukan dalam pencarian terkait dengan informasi ataupun keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh tim,” tandasnya.

Pemeriksaan KPK diminta tidak hanya menyentuh level teri, melainkan harus kepada pengambil kebijakan tertinggi. Fickar menyebut, pihak yang bertanggungjawab dalam kekisruhan proyek Whoosh adalah Jokowi, sebagai presiden dan pengambil keputusan kala proyek hendak dijalankan.

Sementara Rizal, menyarankan agar permintaan pertanggungjawaban dilakukan sesuai hirarki pengambil kebijakan atau chain of command, mulai dari pihak perencana proyek, pengambil keputusan proyek mulai dari tingkat kementerian dan BUMN, hingga pelaksana tugas di lapangan.

Senyampang proses penyelidikan, Rizal menyarankan agar KPK dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) juga melakukan audit investigatif, bukan hanya audit kepatuhan. “(Karena) Prinsip good governance menuntut akuntabilitas penuh karena proyek ini sudah melibatkan dana publik,” pungkasnya. (M Hafid dan Rangga)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic