trending

Ancaman Gubernur Riau Abdul Wahid ke Bawahannya, Tunduk pada 1 Matahari atau Dicopot

Penulis M. Hafid
Nov 06, 2025
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) ditampilkan saat konfrensi pers terkait pengumuman tersangka dugaan kasus pemerasan dan suap di Pemprov Riau. Foto: tangkapan layar Youtube KPK RI.
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) ditampilkan saat konfrensi pers terkait pengumuman tersangka dugaan kasus pemerasan dan suap di Pemprov Riau. Foto: tangkapan layar Youtube KPK RI.

ThePhrase.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan fakta-fakta usai menetapkan tersangka terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemprov Riau Tahun Anggaran 2025.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, Abdul Wahid sejak awal menjabat sudah mengancam bawahannya akan dievaluasi apabila tidak tunduk pada satu matahari, yakni Abdul Wahid.

Pengancaman Abdul Wahid itu dilakukan setelah mengumpulkan seluruh perangkat daerah, termasuk Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang membidangi urusan jalan hingga jembatan.

"Jadi awal awal menjabat dia sudah mengumpulkan seluruh SKPD (satuan kerja perangkat daerah) seluruh dinas dikumpulkan," kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta Rabu (5/11).

Di dalam pertemuan itu, Abdul Wahid memberitahukan kepada seluruh bawahannya bahwa 'matahari' hanya ada satu, yakni Abdul Wahid sendiri. Semua pihak kemudian diminta agar tegak lurus kepada perintahnya.

"Saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa, mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya, artinya ada gubernur," ujarnya.

Menurut Asep, Abdul Wahid juga menyampaikan kepada para bawahannya bahwa kepala dinas adalah perpanjangan tangan dirinya, sehingga apapun yang disampaikan kepala dinas merupakan perintah dari gubernur.

"Kalau yang tidak ikut atau tidak nurut akan dievaluasi," ucapnya.

Pernyataan Abdul Wahid itu, kata Asep, kemudian dimaknai oleh para bawahannya sebagai ancaman pencopotan maupun mutasi apabila tidak tunduk pada perintahnya.

Setelah beberapa waktu berselang, terdapat permintaan uang oleh Abdul Wahid melalui kepala dinasnya kepada setiap UPT di bawahnya.

"Jadi sejak awal memang sudah disampaikan seperti itu, nah kemudian di bulan-bulan berikutnya adalah permintaan-permintaan yang penyampaiannya melalui kepala dinasnya," terangnya.

Hingga akhirnya, permintaan uang itu dikenal sebagai 'jatah preman' yang terungkap usai Abdul Wahid bersama sembilan orang lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Senin (3/11).

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengungkapkan bahwa kasus tersebut berawal dari pertemuan antara Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, untuk membahas kesanggupan pemberian fee kepada Abdul Wahid.

“(Fee) yakni sebesar 2,5 persen. Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp 106 miliar),” kata Johanis.

Setelah itu, Ferry kemudian melaporkan hasil pertemuan itu ke Kadis PUPR Riau Arief Setiawan sebagai kepanjangan tangan dari Abdul Wahid. Dalam kesempatan itu, Arief meminta fee (jatah preman) sebesar 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

Johanis mengungkapkan bahwa pejabat di tingkat UPT PUPR menjalankan perintah tersebut. Sebab, lanjut Johanis, mereka terancam dicopot atau dimutasi apabila tidak menjalankan perintahnya.

"Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan atau mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman'," terangnya.

Menurut Johanis, ada sebanyak tiga kali setoran yang diterima Abdul Wahid dari hasil pemerasan tersebut. Setoran pertama terjadi pada Juni 2025. Saat itu, Ferry Yunanda berhasil mengumpulkan Rp 1,6 miliar dari para kepala UPT. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 1 miliar mengalir ke Abdul Wahid melalui tenaga ahlinya, Dani M Nursalam.

Pemberian kedua terjadi pada Agustus 2025. Saat itu, Ferry berhasil mengumpulkan sebanyak Rp 1,2 miliar. Berdasarkan permintaan M Arief Setiawan, uang tersebut diberikan kepada sopirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.

November 2025, Ferry kembali mengumpulkan uang sebesar Rp 1,25 miliar dari 3 Kepala UPT. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 450 juta mengalir ke Abdul Wahid melalui Arief. Sebesar Rp 800 juta diberikan secara langsung ke sang gubernur.

“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ungkapnya.

Saat itulah KPK melakukan OTT dan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, serta lima Kepala UPT. “Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.

Dari kasus tersebut, sebanyak tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas (Kadis) PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau.

Ketiga tersangka tersebut dilakukan penahanan selama 20 hari kedepan sejak 4-23 November 2025.

“Terhadap saudara AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara terhadap FRY dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK,” tuturnya.

Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (M Hafid)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic