ThePhrase.id – Pernahkan kamu mendengar istilah toxic masculinity? Istilah ini merujuk pada tekanan budaya dan norma yang menuntut pria untuk berperilaku dengan cara tertentu yang dianggap “maskulin” secara berlebihan hingga toxic.
Terlebih dalam budaya patriarki, pria sering kali diharapkan untuk selalu kuat secara fisik dan emosional, tidak menunjukkan kelemahan seperti kesedihan atau ketakutan, bersikap dominan, agresif, dan menghindari segala sesuatu yang dianggap feminin.
Toxic masculinity menekankan aspek kekuatan, dominasi, dan superioritas sebagai ciri utama maskulinitas, serta menolak ekspresi emosi yang dianggap lemah.
Terkadang toxic masculinity sulit dibedakan dari karakteristik umum pria karena perilaku dan sikap tersebut sudah mengakar dalam norma budaya yang dianggap ‘normal’ bahkan menjadi ekspektasi terhadap pria. Beberapa contoh sikap toxic masculinity yang dianggap normal antara lain:
Meskipun toxic masculinity sudah berakar dalam norma budaya, terdapat beberapa ciri toxic masculinity meliputi:
Tak hanya itu, nyatanya toxic masculinity juga memberikan tekanan berat pada pria agar tampil dengan citra yang kuat, sehingga berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Pria yang terjebak dalam toxic masculinity sering kali:
Selain merugikan pria, toxic masculinity juga berdampak buruk pada kesehatan mental wanita, terutama melalui:
Toxic masculinity adalah konstruksi sosial yang mengekang ekspresi emosional pria dan mendorong perilaku dominan serta agresif yang merugikan baik pria maupun wanita. Dampaknya sangat luas, mulai dari gangguan kesehatan mental pria seperti depresi dan risiko bunuh diri, hingga trauma dan ketidaksetaraan yang dialami wanita. Mengatasi toxic masculinity penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan lebih setara gender. [Syifaa]