regionalBatik

Awisan Dalem, Motif Batik yang Hanya Digunakan di Lingkungan Keraton Yogyakarta

Penulis Ashila Syifaa
Sep 15, 2025
Foto: kratonjogja.id
Foto: kratonjogja.id

ThePhrase.id – Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang berkembang dari budaya Jawa, khsususnya lingkungan keraton, salah satunya adalah Awisan Dalem yaitu motif batik yang dipakai di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta atau yang dikenal dengan sebutan motif larangan.

Motif batik ini memiliki status istimewa sebagai batik larangan yang hanya boleh dikenakan oleh kalangan terbatas di lingkungan keraton, seperti raja, keluarga kerajaan, dan abdi dalem. Sejak masa Kerajaan Mataram, batik ini menjadi simbol kehormatan dan status sosial yang sangat dijaga keberlanjutannya oleh keraton. 

Motif Awisan Dalem dibuat oleh para putri keraton dan pembatik ahli dengan menggunakan pewarna alami dari tumbuhan mengkudu, soga, soda abu, dan bahkan tanah lumpur, sehingga memiliki nilai estetika dan filosofi yang mendalam.

Makna dari batik Awisan Dalem tidak hanya bersifat dekoratif, tetapi juga sarat dengan nilai spiritual dan filosofis yang berasal dari tradisi budaya Jawa dan hukum adat keraton. Pemakaian motif batik ini diatur secara ketat sesuai dengan tingkatan sosial di dalam lingkungan keraton.

Seperti, motif parang rusak hanya diperkenankan digunakan oleh sultan yang bertahta, sementara motif lainnya diberikan kepada abdi dalem berdasarkan aturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penghormatan terhadap aturan tradisional yang mengatur siapa yang boleh memakai motif tertentu agar tidak melanggar tata krama dan nilai budaya keraton.

Motif Awisan Dalem mencakup variasi pola batik larangan seperti parang rusak, parang barong, sawat, kawung, huk, dan rujak senthe. Setiap motif mempunyai tata letak dan makna yang spesifik, serta menjadi lambang identitas sosial bagi yang mengenakannya. 

Diketahui, menurut laman Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, motif larangan tersebut telah diatur sejak pemerintahan Sri Sultan Hamenku Buwono II, ia menerbitkan arsip pada tahun 1789 yang mengatur busana para bangsawan. 

Aturan tersebut dikeluarkan secara resmi di bawah pertanggungjawaban Patih Danureja I, yang di dalamnya termasuk aturan penggunaan motif-motif batik pada kampuh. Selain itu tertulis juga, motif sawat, parang rusak, dan huk yang merupakan motif larangan.

Thomas Raffles, Gubernur Jendral Hindia Belanda, juga menyebutkan bahwa batik parang rusak dan sawat merupakan batik yang biasa digunakan oleh raja dan memiliki corak yang berbeda, terutama pada pola hias dan warna.

Peraturan mengenai Awisan Dalem ini kemudian diperbarui oleh Sri Sultan Hmengku Buwono II pada Februari 1801. Sri Sultan menambahkan perihal bentuk udhen atau penutup kepala bagi laki-laki, yang semula terbatas hanya untuk kain dan kampuh. Motif yang termasuk dalam peraturan ini antara lain, motif sawat, parang rusak, semen, kawungsari, udan riris, cumengkirang, huk, sembagen ombaking toya, huk, modhang, bangun tulak, dan motif lisah teleng. 

Aturan mengenai motif batik selanjutnya ditemukan pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Aturan tersebut dimuat dalam Algemeene en Internationale Tentoonstelling van Brussel - Catalogus der Nederlandsche Afdeeling 1910, yang menyebut: parang centhung, semen ageng sawat gurda, semen redi, dan tlacap sebagai motif larangan. Sementara pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menambahkan deretan motif batik larangan antara lain parang gendreh, parang rusak klithik, rujak dan rujak senthe.

Masyarakat umum tidak diperkenankan menggunakan motif ini secara bebas agar tidak mengurangi nilai sakral dan keistimewaan batik keraton tersebut. 

Batik Keraton Awisan Dalem bukan sekadar kain bermotif, tetapi juga pewaris filosofi hidup dan budaya yang menegaskan kedudukan sosial sekaligus sebagai medium penghormatan antara manusia dengan nilai-nilai spiritual yang dipegang teguh oleh keraton. [Syifaa]

Tags Terkait

Artikel Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic