ThePhrase.id - Salah satu yang dibanggakan Prabowo, dalam laporannya kepada Jokowi, Minggu 20 Juli 2025 adalah keberhasilannya bernegosiasi dengan Presiden Donald Trump dalam menurunkan tarif dagang AS dari 32 persen menjadi 19 persen. Namun, ternyata angka 19 persen itu bukan hanya ditukar dengan tarif nol persen untuk ekspor Amerika ke Indonesia tetapi ditambah dengan pengelolaan data warga negara Indonesia di perusahaan Amerika. Sebuah barter mahal yang bisa saja nilainya melebihi nilai ekspor Indonesia ke Amerika selama ini.
Kepastian Indonesia akan menukar data warganya dengan tarif 19 persen ekspor ke Amerika itu, tercantum dalam laman resmi Gedung Putih atau Istana Presiden Amerika, yang dirilis 22 Juli 2025.
Gedung Putih mengatakan Pemerintah Indonesia akan memberikan kepastian hukum terkait dengan pengelolaan data pribadi warga negara Indonesia (WNI) kepada Amerika Serikat (AS). Hal itu sebagai bagian dari kesepakatan dagang antara kedua negara yang resmi dirilis pada Senin, 22 Juli 2025 waktu AS.
“Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi ke luar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tulis Gedung Putih dalam Pernyataan Bersama Tentang Kerangka Perjanjian Perdagangan Resiprokal antara AS dan Indonesia.
Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital AS. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan AS telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.
Dalam Lembar Fakta bertajuk ‘AS dan Indonesia Mencapai Kesepakatan Perdagangan Bersejarah’, gedung putih menyatakan, “Melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan pelindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia.”
Tak urung, kabar tentang pengelolaan data warga Indonesia oleh Amerika ini langsung menyebar dan memancing banyak reaksi. Reaksi ini muncul karena data itu seperti aurat yang tak boleh dibuka sembarangan apalagi sampai dikelola oleh negara lain. Karena data itu bisa digunakan untuk kepentingan apapun, yang bisa saja merugikan Indonesia secara ekonomi, politik dan Hankam.
“Dengan membuka kemungkinan aliran data pribadi ke luar negeri tanpa menkanisme yang ketat dan transparan, Indonesia berpotensi melepaskan sebagian kontrol atas data yang sangat penting bagi keamanan nasional dan pembangunan ekonomi digital jangka panjang,” kata pakar keamanan Siber, Pratama Persada di Bloomberg Technoz, Rabu 23 Juli 2025.
Ada dua pertanyaan awam yang mendasar terkait kabar pengelolaan data warga Indonesia oleh perusahaan Amerika itu. Pertama, mengapa Amerika meminta data warga Indonesia sebagai barter atau syarat untuk tarif 19 persen itu, bukan yang lain? Kedua, apakah lembaga pengelola data itu adalah lembaga kredibel yang dapat dipercaya.
Amerika meminta data itu saja sudah menjadi isyarat bahwa data itu sesuatu yang sangat berharga untuk kepentingan negaranya. Jangankan setingkat negara, bagi para konsultan bisnis skala UMKM saja data itu menjadi aset untuk memberikan saran atau advice sebagai produk yang dijual kepada para kliennya. Perlu dana dan effort besar untuk mengerahkan tim dan pasukan untuk mendapatkan data sebuah negara. Dan kini, Amerika hanya perlu menurunkan tarif impor setelah dinaikkan dulu untuk mendapatkan data itu.
Dalam rilis Gedung Putih itu disebutkan data itu dikelola lembaga atau perusahaan Amerika. Pertanyaan simpelnya adalah apakah lembaga yang mengelola data itu kredibel dan bisa dipercaya?
Kata mengelola itu sendiri beda maknanya dengan menyimpan. Artinya lembaga itu bisa mengolah dan menganalisa data tersebut untuk tujuan apa saja. Jangankan lembaga atau perusahaan profit seperti perusahaan, lembaga dunia non profit seperti WHO saja dicurigai menjual data tentang penyakit dan virus dari berbagai negara ke perusahaan farmasi di Amerika.
Dugaan ini terungkap dalam kasus Mantan Menteri Kesehatan, era SBY, Siti Fadilah Supari yang harus menjadi pesakitan karena dituduh korupsi dalam pengadaan alat kesehatan untuk penanganan kasus flu burung. Setelah tidak menjabat lagi, Siti Fadilah divonis empat tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (16/6/2017). Siti juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Vonis itu diyakini Siti ada hubungan dengan sikapnya yang enggan menyerahkan virus flu burung kepada WHO. Bukunya yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” ramai dibahas media luar negeri karena dianggap menentang WHO dalam menangani wabah flu burung.
“Saya hanya bermaksud menggugat ketidakadilan yang sudah berlangsung puluhan tahun dalam mekanisme yang berlaku di WHO,” ujar Siti Fadilah saat buku tersebut ramai dibahas.
Menanggapi ramainya perbincangan tentang barter data ini, pihak Istana Negara telah menjelaskan bahwa kerja sama transfer data dengan Amerika Serikat yang tercantum dalam kesepakatan tarif impor hanya berlaku dalam konteks perdagangan barang dan jasa tertentu, bukan untuk pengelolaan data pribadi secara umum.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan bahwa kesepakatan itu bersifat strategis dan difokuskan pada kebutuhan transparansi dalam transaksi komersial yang melibatkan barang yang berpotensi ganda, yaitu bisa dimanfaatkan untuk hal bermanfaat maupun berbahaya.
“Tujuan ini sepenuhnya untuk kepentingan komersial. Bukan berarti data kita akan dikelola oleh pihak luar, atau sebaliknya. Ini terkait pertukaran barang-jasa yang bisa memiliki dua sisi, seperti bahan bermanfaat tapi juga bisa jadi berbahaya, misalnya bom. Karena itu, dibutuhkan keterbukaan data—siapa pembeli, siapa penjual,” ujar Hasan saat ditemui di Istana Kepresidenan, Rabu (23/7/2025).
Hasan menegaskan hal ini sepenuhnya sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah berlaku di Indonesia. Menurut Hasan, kesepakatan pertukaran data tersebut merupakan bagian dari manajemen risiko dalam perdagangan internasional. Ia menyebut bahwa hal serupa juga berlaku dalam hubungan dagang Indonesia dengan negara lain, termasuk negara-negara Uni Eropa. Semua dilakukan di bawah kerangka hukum yang melindungi data pribadi.
“Kita tetap mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Pemindahan data hanya dimungkinkan ke negara yang secara hukum diakui bisa menjaga keamanan dan kerahasiaan data,” tambahnya.
Namun demikian, pertanyaan lanjutanya adalah, jika terjadi pelanggaran seperti pembocoran atau digunakan untuk kepentingan lain di luar perjanjian, apakah pemerintah Indonesia berani menuntut atau meminta pertanggungjawaban Amerika? Wassalam! (Aswan AS)