ThePhrase.id – Beda resiko infeksi Covid-19, sebelum dan sesudah divaksin. Meskipun vaksin memang tidak menjamin seseorang untuk kebal 100% terhadap virus Covid-19, namun vaksin mempunyai peran yang cukup besar bagi kekebalan tubuh seseorang dalam menghadapi paparan virus tersebut.
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengenai peringkat vaksinasi Indonesia yang saat ini berada pada urutan ke-6 di dunia, tentunya dapat menjadi sebuah harapan baru bagi Indonesia guna mempercepat tercapainya herd immunity atau kekebalan kelompok.
Meskipun sudah cukup banyak warga Indonesia yang bersedia untuk divaksin, namun masih ada yang enggan divaksin dengan beragam alasan. Mulai dari takut akan jarum suntik hingga terdapatnya beberapa peristiwa di mana orang-orang yang telah divaksin masih tertular virus Covid-19 menjadi salah satu penyebab banyak orang tidak percaya dan ragu terhadap pemberian vaksin.
Menurut Prof. dr. Taruna Ikrar, pakar Farmakologi dan anggota American College of Clinical Pharmology, menegaskan vaksin mempunyai peran yang cukup besar bagi kekebalan tubuh seseorang dalam menghadapi paparan virus.
Prof. Taruna yang juga menjabat sebagai Ketua Konsil Kedokteran (KKI) mengatakan bahwa memang tidak ada satupun vaksin yang dapat mencegah infeksi Covid-19 hingga 100%.
Contohnya vaksin jenis Sinovac yang terbuat dari inactivated virus (virus yang dilemahkan) mempunyai efektifitas 65%. Berdasarkan hasil uji klinis, artinya dalam 100 orang yang divaksin, kemungkinan yang masih dapat terinfeksi Covid-19 sekitar 35 orang (sekitar 35%).
Sedangkan vaksin yang terbuat dengan menggunakan teknologi terbaru mRNA seperti (Pfizer dan Moderna) mempunyai efektifitas 94,2% hingga 95,6% yang artinya bahwa 4,4% hingga 5,8% orang yang menerima vaksin tersebut memiliki kemungkinan terinfeksi Covid-19.
Prof. dr. Taruna Ikrar (Foto: Merdeka.com)
“Memang betul, bahwa vaksin itu tidak ada satupun yang 100% membentuk pertahanan. Vaksin Covid-19 itu mempunyai effectiveness atau daya tangkal yang berbeda-beda, tergantung jenis vaksinnya dan berdasarkan uji klinis. Efektivitas vaksin tersebut disebabkan atau ditimbulkan sangat tergantung sama sumber vaksinnya,” ujar Prof. Taruna saat diwawancarai ThePhrase.id melalui telepon pada Kamis (16/9/2021).
Lalu Prof. Taruna juga menambahkan, bahwa selain sumber jenis vaksin yang didapatkan, tipe varian virus Covid-19 yang menginfeksi serta kondisi tubuh pasien juga dapat mempengaruhi tingkat keefektifan vaksin dalam mencegah paparan virus Sars-CoV-2 terhadap pasien tersebut.
Sementara itu, para ahli kesehatan juga berpendapat bahwa seseorang yang sudah menerima dosis lengkap vaksin biasanya hanya merasakan gejala ringan seperti anosmia (kehilangan indra penciuman), menggigil, sedikit sakit kepala, atau bahkan tidak merasakan gejala apapun ketika terinfeksi virus Covid-19.
Sedangkan seseorang yang belum menerima vaksin biasanya akan mengalami gejala yang cukup berat ketika terinfeksi Covid-19 seperti demam tinggi, anosmia, sesak nafas, dan gejala lainnya yang membuat dirinya harus dirawat di rumah sakit atau bahkan meninggal dunia.
Selain itu, seseorang yang belum divaksin juga beresiko tinggi terkena varian Delta serta mengalami long Covid, yaitu tetap merasakan gejala Covid dalam waktu yang lama meskipun telah lama sembuh dari infeksi virus tersebut.
Data perbandingan orang yang sudah divaksin dan yang belum divaksin (Foto: kpcnews.com)
“Berdasarkan laporan CDC yg dipublish di journal science, dibuktikan di situ, bahwa tingkat kemungkinannya terkena (Covid) lagi itu, 87% orang yang tidak divaksin itu bisa kena. Sementara kalau orang sudah divaksin, itu ada kemungkinan tingkat keparahannya sekitar 4%,” tandas Prof Taruna.
Ini artinya, imbuh Prof Taruna, bahwa orang yang divaksin itu terbentuk pertahanan buatan di tubuhnya, sehingga kalau dia terkena Covid, dia tidak parah, hanya seperti sakit flu biasa.
“Sementara kalau orang yang tidak divaksin, lantas terkena Covid, tingkat keparahannya lebih tinggi. Lebih mudah dia masuk rumah sakit bahkan masuk ICU, menggunakan alat bantu, dan fatalitasnya, tingkat kematiannya lebih tinggi. Jadi tujuannya vaksin ini agar tidak banyak orang yang meninggal,” jelas Prof. Taruna.
Sayangnya, selain ragu akan keefektifan vaksin, ketakutan akan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah vaksinasi juga menjadi alasan umum bagi masyarakat untuk menolak divaksin.
Padahal kenyataannya, KIPI merupakan hal yang tidak berbahaya, wajar, bahkan jarang terjadi setelah proses vaksinasi.
“Jadi vaksin yang sudah lolos uji tahap 3 dan sudah dapat izin Badan POM, itu artinya sudah tidak bermasalah lagi. Karena dia sudah melewati uji yang memang membuktikan walaupun ada KIPI, bahasa kedokterannya Adverse Reaction atau Reaksi Ikutan. Memang betul ada, tetapi vaksin tersebut tetap aman bagi penerima vaksin tersebut, sehingga KIPI tidak berbahaya. Itu berdasarkan hasil uji klinis,” terang Prof. Taruna.
Bahkan jika dibandingkan dengan terkena Covid-19 dalam keadaan belum divaksin, KIPI merupakan kejadian normal yang aman dan tidak akan menimbulkan rasa sakit yang parah seperti jika terinfeksi Covid-19.
“Jadi KIPI itu sudah terukur, sudah teruji, palingan gejalanya ada yang berasa gatal, ada yang merasa kelelahan, ada yang merasa capek, ada yang merasa macam-macam gitu lah ya. Itu kan bisa 1 atau 2 hari. Coba dibanding kena covid. Kalau kena covid sakit banget itu badan kayak dipukul-pukul, bahkan nyawanya bisa terancam. Pilih mana?,” tandasnya.
Selain tidak se-berbahaya virus Covid-19, KIPI juga ternyata dapat diminimalisir, yakni dengan cara:
Pasien harus melewati proses screening terlebih dahulu sebelum disuntikan vaksin.
Khusus bagi orang-orang yang mempunyai kontra indikasi penyakit tertentu seperti hipertensi dan sebagainya, ada baiknya proses vaksinasi ditunda terlebih dahulu.
Bagi seseorang yang memiliki penyakit tertentu, sebelum divaksin harus meminum obat untuk mengontrol penyakitnya tersebut. Contohnya bagi seseorang yang mempunyai penyakit hipertensi wajib meminum obat anti tekanan darah tinggi sebelum mendapatkan suntikan vaksin.
Seseorang yang akan disuntik vaksin harus makan dan minum terlebih dahulu.
Jika terkena KIPI pasca vaksinasi seperti kelelahan atau demam, maka untuk meredakan gejala tersebut dianjurkan untuk minum obat seperti paracetamol dan beristirahat dengan cukup.
Proses screening vaksinasi Covid-19 (Dok: Universitas Jenderal Soedirman)
Berdasarkan hasil uji klinis, resiko vaksin jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaatnya yang jauh lebih besar. Dan dikarenakan perbandingannya yang besar sekali, maka orang yang divaksin jauh lebih bagus pertahanannya dibandingkan dengan orang yang tidak divaksin.
Lalu meskipun ada peluang terjadinya KIPI yang sangat kecil tersebut, namun dikarenakan vaksin yang digunakan di masyarakat telah lolos uji klinis maka masyarakat tidak perlu khawatir. Karena apabila resiko sebuah jenis vaksin lebih besar dibandingkan manfaatnya, maka vaksin tersebut pasti proses produksinya diberhentikan pada uji klinis tahap 1.
Selain itu, Prof. Taruna juga menegaskan bahwa vaksinasi itu penting bagi diri sendiri dan sesama, guna mencapai herd immunity atau ketahanan kelompok.
“Jadi saya ingin menganjurkan supaya seluruh masyarakat itu divaksin. Saya sebagai seorang ilmuwan, secara ilmiah, itu sangat sangat rasional bahwa vaksinasi itu penting. Dan vaksin yang digunakan adalah vaksin yang sudah melewati uji klinis, yang sudah mendapat persetujuan dari Lembaga yang memilki otoritas ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan. Karena dengan vaksinasi, nanti pada akhirnya kita bisa keluar dari Covid, dan masyarakat bisa hidup normal kembali,“ pungkasnya. [hc]