ThePhrase.id – Mengakhiri hubungan percintaan sering kali menjadi salah satu momen paling emosional dalam hidup. Perasaan cemas, bingung, dan sedih bercampur menjadi satu, membuat seseorang semakin sulit untuk melangkah maju atau move on. Perasaan tersebut kerap memunculkan berbagai pertanyaan dan kebutuhan untuk mencari closure.
Di tengah emosi yang campur aduk setelah putus cinta, mencari closure merupakan hal yang wajar. Terutama bagi mereka yang ingin mendapatkan klarifikasi dan validasi dari orang yang telah mematahkan hati. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan closure dan apakah hal ini penting setelah mengakhiri sebuah hubungan?
Closure, yang berarti “penutup” dalam konteks hubungan, adalah proses mental dan emosional seseorang untuk menerima dan memahami akhir dari suatu hubungan. Proses ini melibatkan pencarian jawaban atau refleksi atas apa yang telah terjadi selama menjalin hubungan.
Menurut Terri Orbuch, PhD, Profesor Sosiologi dari Universitas Oakland sekaligus penulis buku “Finding Love Again: 6 Simple Steps to a New and Happy Relationship”, sebagai manusia, wajar jika kita memiliki rasa ingin tahu terhadap berbagai pertanyaan dari situasi yang tidak masuk akal, termasuk ketika hubungan berakhir secara tiba-tiba.
Bagi sebagian orang, mendapatkan closure adalah kunci untuk bisa benar-benar melangkah maju. Proses ini juga bisa membantu agar hubungan pasca-putus tidak diwarnai dendam atau penyesalan.
Namun di sisi lain, closure bisa menjadi hal yang berat dilakukan dan justru menghambat proses move on. Setelah putus, tidak semua orang membutuhkan penjelasan rinci mengenai alasan hubungan itu gagal. Karena, tanpa disadari, hal tersebut bisa membuat seseorang terlalu bergantung pada jawaban mantan untuk bisa sembuh dari luka hati.
Faktanya, tidak ada jawaban yang benar atau sempurna atas pertanyaan “kenapa hubungan itu berakhir?” Kedua belah pihak bisa saja merasakan hal yang sama, seperti kebingungan, ketidaktahuan, bahkan tidak memahami mengapa cinta mereka bisa memudar begitu saja.
Selain itu, hubungan yang berakhir dengan alasan yang jelas sebenarnya jarang terjadi. Bahkan ketika ada penjelasan, tidak selalu ada jawaban yang benar-benar bisa diterima dan ditinggalkan di masa lalu.
Meskipun telah mendapatkan alasan yang pasti, seperti “Aku butuh fokus pada diri sendiri” atau “Aku sudah bertemu dengan orang lain,” pernyataan tersebut belum tentu membantu seseorang menghadapi rasa sakit dan penolakan.
Pasalnya, sebagian orang tetap akan merasa tidak percaya diri, tak diinginkan, dan tidak dicintai. Penjelasan apa pun tidak serta-merta mampu menyembuhkan luka emosional atau menghapus rasa kehilangan terhadap seseorang yang pernah dicintai.
Kebutuhan akan closure sering kali dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian tertentu, sehingga kecil kemungkinan permintaan akan closure benar-benar dapat dipenuhi. Karena itu, closure tidak selalu menghasilkan dampak yang positif.
Sebaliknya, terutama dalam konteks konflik hubungan, upaya untuk mendapatkan closure justru lebih mungkin memperburuk konflik, memunculkan keluhan baru, serta membuat ketegangan dan kemarahan terus berlanjut.
Closure yang sebenarnya adalah sesuatu yang dapat diberikan oleh diri sendiri, yaitu ketika seseorang mampu menerima kenyataan, berdamai dengan perasaan sendiri, dan melepaskan hubungan yang telah berakhir. [Syifaa]