ThePhrase.id - Peringatan para ilmuwan tentang global warming atau pemanasan global bukan lagi tentang pencairan es di kejauhan, tapi juga bumi yang memanas mendatangkan kehancuran tepat di depan mata kita. Cuaca yang sangat ekstrim, banjir, dan kebakaran hutan jadi bukti nyata terjadinya global warming. Sejauh ini, musim panas penuh dengan bencana, bahkan diproyeksi menyebabkan kekeringan, kebakaran, dan angin topan.
Foto: Ilustrasi Kebakaran Hutan (freepik.com Floral photo created by rawpixel.com)
Sejauh ini, suhu bumi ini telah meningkat sekitar 1,1 derajat celcius. Meskipun terlihat seperti angka yang kecil, menurut Dr. Radley Horton, seorang ilmuwan iklim di Universitas Columbia, jumlah tersebut cukup untuk mengubah statistik kejadian panas tinggi. Menurutnya, meningkatnya suhu bumi tersebut berpotensi menyebabkan bencana dua kali lebih sering daripada di masa lalu.
Banyak wilayah di dunia kini mengalami kekeringan. Akibatnya, ketika kebakaran hutan terjadi, lingkungan akan menjadi lebih panas dan dapat menciptakan sistem cuaca sendiri, dengan awan pirocumulus besar menghasilkan sambaran petir, memicu lebih banyak api.
Tragedi banjir bandang telah melanda China Tengah, Eropa Barat, Mumbai, dan Arizona dalam beberapa pekan terakhir. Ratusan orang meninggal dunia akibat banjir yang bergerak cepat ini. Namun, bencana banjir bandang ini telah diperingatkan oleh para ilmuwan iklim selama bertahun-tahun.
Terlepas dari kenyataan bahwa banjir ini terjadi di seluruh dunia, penyebab dasarnya adalah sama yakni hujan dengan jumlah yang ekstrim. Hal ini terjadi karena Bumi yang menghangat dapat menyebabkan kandungan air di udara lebih banyak. Selain itu dengan naiknya suhu Bumi, angin di atmosfer melambat di tempat-tempat tertentu, yang berarti cuaca ekstrem akan bertahan lebih lama di sana.
Michael Mann, Direktur Earth System Science Center di Pennsylvania State University menjelaskan bahwa dampak Global Warming sebenarnya telah sesuai dengan prediksi yang dilakukan sejak dahulu. Namun, dampak global warming pada kenyataannya lebih besar daripada yang diprediksi.
Para ilmuwan pun sekarang bekerja keras untuk memprediksi seberapa besar dampak bencana akibat global warming ini akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Bagaimanapun, nyawa jutaan manusia dipertaruhkan.
Menekan Pemanasan Global
Menanggulangi perubahan iklim telah menjadi agenda negara-negara di dunia. Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris (The Paris Agreement), pada 12 Desember 2015, negara-negara di dunia sepakat menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius, dan bahkan menekan hingga 1,5 derajat celcius.
Pemerintah Indonesia juga berkomitmen menekan pemanasan global dengan target menurunkan gas rumah kaca hingga 29 persen pada tahun 2030. Indonesia juga telah menandatangani perjanjian dengan Norwegia sejak 2010 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Semuanya terus berlanjut, meskipun Indonesia sedang menangani permasalahan Covid-19.
“Laporan yang saya terima pembicaraan antara Indonesia dan Norwegia untuk menurunkan gas rumah kaca prosesnya sudah cukup panjang. Saya kira ini sudah sejak 2010 dan Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada 2020 dan meningkat 29 persen pada 2030,” ujar Jokowi dalam Rapat Terbatas, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (6/7/2020).
Berdasarkan konvensi perubahan iklim, Indonesia memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan sebesar 17,2 persen, sektor energi 11 persen, sektor limbah 0,32 persen, pertanian 0,13 persen serta sektor industri dan transportasi 0,11 persen.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa dari target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional pada 2030 sebesar 834 juta ton CO2e (ekuivalen karbon dioksida), sebesar 314 juta ton ditargetkan dari sektor energi.
Sejumlah pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) tengah didorong terutama oleh Pertamina dan PLN. Pandemi Covid 19 memang telah menumbuhkan kesadaran masyarakat dunia terhadap green energy, sehingga transisi energi menuju energi baru terbarukan yang diprediksi terjadi pada 2030 akan mengalami percepatan.
Pertamina telah melakukan re-alignment terhadap RJPP Pertamina, dan bukan hanya 5 tahun tapi telah memprediksi sampai tahun 2050. Hal ini juga sejalan dengan National Grand Energy Strategy yang baru saja disetujui oleh Presiden Jokowi.
Berdasarkan data RUEN dan analisa supply dan demand minyak, Pertamina menargetkan tahun 2035, pemanfaatan renewable energy akan meningkat menjadi 30%. Dengan hadirnya energi yang dapat diperharui, Pertamina optimis dapat mempercepat terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi nasional yang berkelanjutan dan sekaligus menjaga alam tetap lestari dan bersahabat dengan manusia. [nadira]