features

Bencana Banjir dan Longsor Sumatra, Siapa Perusak Hutannya?

Penulis Aswandi AS
Dec 04, 2025
Kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Kabupten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. (Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am)
Kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Kabupten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. (Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am)

ThePhrase.id - Bencana banjir bandang dan tanah longsor  yang terjadi di tiga provinsi di Sumatra menguak kisah tentang kerusakan dan alih fungsi hutan yang sangat parah.  Perusahaan pengelola dan pejabat yang memberi konsesi pengelolaan hutan dituding sebagai penyebab rusaknya hutan alami di gugusan pegunungan bukit barisan di Sumatra.  Hutan yang tersisa tidak mampu lagi menahan dan mengikat air hujan masuk ke dalam  tanah. Akibatnya, air meluncur deras membawa  kayu gelondongan dan material lainnya, menerjang  apa saja yang menghalangi jalannya.

Kerusakan akibat bencana yang melanda Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara menjelang akhir November lalu telah menimbulkan dampak luar biasa.  Sudah ratusan korban jiwa yang jatuh, ratusan lainnya dinyatakan hilang,  bersamaan dengan rusaknya infrastruktur, kerugian harta benda hingga lumpuhnya ekonomi dan sosial masyarakat.  

Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)  per Rabu, 3 Desember 2025, tercatat korban meninggal mencapai 743 jiwa, sebanyak 630 jiwa dinyatakan hilang dan 2.600 jiwa luka-luka. Jumlah terdampak ada 3,3 juta penduduk dari 50 kabupaten/kota, dengan rinciann 1,5 juta penduduk Aceh, 1,7 juta penduduk Sumatra Utara, dan 141, 8 ribu jiwa di Sumatra Barat.

Selain 1,5 juta jiwa masih mengungsi di Aceh, 538,8 ribu jiwa mengungsi di Sumatra Utara, dan 106,2 ribu mengungsi di Sumatra Barat. BNPB juga mencatat ada 3.500 unit rumah mengalami rusak berat, 4.100 unit rumah rusak sedang, 20.500 unit rumah rusak ringan, 282 fasilitas pendidikan rusak, dan 271 jembatan rusak.

Dahsyatnya bencana ini membuat sejumlah elemen masyarakat sipil  mendesak  pemerintah menetapkan kejadian ini sebagai  status darurat bencana nasional.

"Kami mendesak Presiden RI segera menetapkan status darurat bencana nasional atas bencana besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat," kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian di Banda Aceh   pada Ahad, 30 November 2025.

Alfian mengungkapkan, hingga saat ini ribuah warga masih terisolasi, puluhan ribu rumah terendam, dan berbagai fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jembatan, serta jalan nasional, baik yang menghubungkan antar-provinsi maupun antar-kabupaten/kota mengalami kerusakan berat.

Situasi diperburuk dengan kelangkaan bahan kebutuhan pokok yang menyebabkan masyarakat berada dalam kondisi kelaparan, serta padamnya pasokan listrik dan lumpuhnya jaringan komunikasi, sehingga membuat penanganan darurat semakin terhambat.  Lambatnya bantuan dan kekurangan bahan makanan membuat warga terdampak di Sibolga menjarah 7 minimarket yang ada di wilayah itu.

Penyebab Banjir dan Longsor

Momen banjir besar Sumatra terekam dalam video yang beredar luas di media sosial. Video itu disebut situasi banjir di Sungai Batang Toru, Tapanuli Tengah  dengan kayu gelondongan dalam jumlah besar hanyut terbawa banjir.  Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut,  Dwi Januanto Nugroho mengatakan asal muasal kayu gelondongan itu adalah kayu-kayu bekas tebangan yang sudah lapuk dan kemudian terseret banjir.

"Kita deteksi bahwa itu dari PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah)  di APL (areal penggunaan lain). “ kata Dwi, Jumat, 28 November 2025.

Namun sejumlah warganet mengaitkan kayu-kayu hanyut tersebut dengan fenomena deforestasi di wilayah Sumatra yang  sangat cepat dalam 10 tahun terakhir.

Rekam citra satelit 2016 hingga 2025 menunjukkan masifnya pembukaan lahan di Sumatra Utara. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara mencatat dalam 10 tahun terakhir, 2 ribu hektare hutan di Sumut rusak. Inilah yang diduga menjadi penyebab banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah itu, dan bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem. Rusaknya hutan itu, akibat aktifitas perusahaan pemilik konsesi  yang merambah dan mengalih fungsi hutan.

"Perusakan hutan di sana itu disebabkan ya, dipicu ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatra Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba dalam konferensi pers, Senin (1/12), membantah pernyataan Gubernur Sumut Bobby Nasution yang menyebut penyebab banjir itu adalah hydro metereologi.

Walhi mencatat ada tujuh perusahan yang diduga menjadi penyebab banjir dan longsor di kawasan Tapanuli. Ketujuh perusahaan itu beroperasi di kawasan Ekosistem Batangtoru  yang tidak hanya merusak dan alih fungsi hutan, tetapi juga diduga  merusak  DAS (Dareah Aliran Sungai)  Batang Toru yang mengalir di kawasan tersebut.

Ketujuh perusahaan yang dimaksud Walhi adalah PT Agincourt Resources - Tambang emas Martabe. Sepanjang 2015-2024, perusahaan ini disebutkan telah mengurangi tutupan hutan dan lahan seluas 300 hektare di DAS Batang Toru.  

Kedua. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) - Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru. Proyek PLTA ini didata Walhi telah menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 kilometer daerah sungai, serta gangguan fluktuasi debit sungai.  Proyek ini juga menyebabkan sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan dan pembangunan bendungan. Gelondongan kayu dalam jumlah besar dalam video viral saat terjadinya luapan Sungai Batangtoru di Jembatan Trikora, Tapanuli Selatan, diduga berasal dari area pembangunan infrastruktur PLTA NSHE ini.

Ketiga PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) - Unit Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) di Tapanuli Selatan. Ribuan hektare hutan di DAS Batangtoru, menurut Walhi, telah beralih fungsi menjadi PKR yang ditanami eukaliptus, terutama di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan.  Skema pemanfaatan kayu tumbuh alami atau PHAT dituding telah membabat hutan kawasan Batangtoru dan kini menjadi salah satu pemicu banjir bandang.  Degradasi hutan seluas 1.500 hektare juga terjadi di kawasan koridor satwa yang menghubungkan Dolok Sibualbuali-Hutan Lindung Batangtoru Blok Barat dalam tiga tahun terakhir diduga akibat kegiatan perusahaan ini.

Adapun empat perusahaan lainnya adalah PT Pahae Julu Micro-Hydro Power - Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Pahae Julu; PT SOL Geothermal Indonesia - Geothermal Tapanuli Utara; PT Sago Nauli Plantation - Perkebunan sawit di Kabupaten Tapanuli Tengah; dan PTPN III Batangtoru Estate - Perkebunan sawit di Tapanuli Selatan.

Pengrusakan dan alih fungsi hutan secara brutal  terjadi hampir di seluruh Sumatra. Hutan lindung dan taman nasional yang dilindungi oleh undang-undang tak luput dari perambahan  dan alih fungsi.  Taman Nasional Tesso Nillo seluas 83.000 hektare di Pelalawan Riau, yang menjadi habitat gajah dan ribuan jenis keaneka ragaman hayati lainnya telah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Termasuk  hutan lindung di Sumatra Utara seluas 40.000 hektare yang diubah menjadi perkebunan sawit.  Alih fungsi juga terjadi di Taman Nasional Gunung Lueser di Aceh seluas 360 hektar telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Rusaknya hutan dan lingkungan akibat perambahan dan alih fungsi ini tidak hanya menimbulkan bencana lingkungan tetapi juga bencana bagi masa depan generasi negeri ini.  Sejarahwan Anhar Gonggong, menilai bencana banjir Sumatra bukanlah takdir tetapi hasil dari kejahatan ekologis terstruktur.  Anhar menyebut para pelaku kejahatan lingkungan ini layak untuk mendapat hukuman mati atas apa yang telah mereka lakukan.

“Kenapa? Sederhana, dengan apa yang  dia lakukan sebenarnya dia membunuh masa depan. Kerusakan yang dilahirkan oleh tindakan penebangan hutan yang dilakukan oleh dia, itu masa depan yang dirusak. Dia mau mendapatkan keuntungan tapi dia lupa, keuntungan yang diperolehnya itu dilakukan dengan membunuh generasi yang akan datang,” kata Ahnar di channel youtube pribadinya Anhargonggong official, 29 November 2025.  

Anhar  menuding, kerusakan hutan dan lingkungan ini adalah indikasi korupsi & pembiaran  oleh pejabat  yang menutup mata.   Dan Jika hukum tidak ditegakkan sekarang, Anhar  menyatakan Sumatra akan habis oleh keserakahan manusia. (Aswan AS)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic