ThePhrase.id - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap kondisi cuaca yang masih sangat dinamis dan berpotensi ekstrem di berbagai wilayah Indonesia.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa dalam sepekan terakhir telah terjadi berbagai kejadian cuaca ekstrem, seperti hujan lebat, angin kencang, banjir, longsor, hingga kecelakaan transportasi.
“Kondisi ini nampaknya sesuai dengan peringatan dini yang sudah kami keluarkan sejak H-1 bahkan hingga sepekan sebelumnya, baik untuk sektor publik, pelayaran, maupun penerbangan. BMKG secara rutin memperbarui prakiraan cuaca dan potensi gangguan cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi,” ujar Dwikorita.
Hingga akhir Juni 2025, BMKG mencatat baru sekitar 30 persen wilayah Indonesia yang benar-benar memasuki musim kemarau. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kondisi normal, yang biasanya mencapai lebih dari 60 persen pada periode yang sama. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tetap tinggi sejak Mei, terutama di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Cuaca ekstrem juga masih berlangsung hingga awal Juli, seperti yang tercatat pada 2 Juli 2025, ketika Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan ekstrem sebesar 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani Papua Barat sebesar 103 mm,” papar Dwikorita.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kondisi cuaca ekstrem saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan regional. Meski fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) sedang tidak aktif, kondisi atmosfer tetap labil akibat lemahnya Monsun Australia serta aktifnya gelombang ekuator seperti Rossby dan Kelvin.
“Hal ini menyebabkan udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap dan mendukung pembentukan awan hujan, bahkan di wilayah-wilayah yang secara klimatologis seharusnya sudah memasuki musim kemarau,” jelas Guswanto.
Ia menambahkan bahwa kondisi laut juga turut memperkuat potensi cuaca ekstrem. Bibit siklon tropis 98W yang terpantau di sekitar Luzon memang tidak berdampak langsung pada Indonesia, namun meningkatkan kecepatan angin di Laut Cina Selatan.
Di sisi lain, sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatra dan Samudra Pasifik utara Papua Nugini memicu terbentuknya zona konvergensi dan konfluensi di sejumlah perairan Indonesia seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan Maluku bagian utara.
“Fenomena ini meningkatkan risiko gelombang tinggi dan hujan lebat di perairan terbuka. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius bagi sektor pelayaran dan nelayan,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menyampaikan bahwa prakiraan cuaca periode 4–10 Juli 2025 masih menunjukkan potensi hujan lebat. Pada 4–6 Juli, wilayah yang berstatus siaga mencakup Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua Selatan. Sedangkan angin kencang diperkirakan melanda Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, serta sejumlah wilayah di Sulawesi dan Papua.
“Pada 7–10 Juli, potensi hujan sangat lebat bahkan diperkirakan di Papua Pegunungan, sementara wilayah Maluku masih masuk kategori siaga. Masyarakat harus tetap waspada, terutama terhadap banjir bandang, longsor, dan gangguan aktivitas harian,” ujar Andri.
Menanggapi situasi ini, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati kembali menekankan pentingnya seluruh operator transportasi darat, laut, dan udara untuk secara aktif memantau serta mematuhi informasi cuaca dan peringatan dini dari BMKG. Menurutnya, data meteorologi harus dijadikan acuan utama dalam pengambilan keputusan operasional demi keselamatan publik.
“Keselamatan harus menjadi prioritas. Pengambilan keputusan dalam operasional transportasi harus mengacu pada data meteorologi yang kami sampaikan secara resmi dan berkala,” tegas Dwikorita.
Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak mengabaikan informasi cuaca. Para pemangku kepentingan di sektor pemerintahan, kebencanaan, pertanian, logistik, hingga pariwisata juga disarankan menggunakan data cuaca sebagai dasar perencanaan. [nadira]