ThePhrase.id - Sejumlah wilayah di Indonesia diperkirakan akan tenggelam lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Ancaman ini bukan hanya disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi juga oleh faktor tektonik dan permasalahan infrastruktur yang sudah lama terjadi.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Geophysical Research Letters yang dikutip oleh detikInet, Indonesia menempati urutan kedua dengan tingkat penurunan tanah tertinggi di dunia. China berada di posisi pertama dengan luas penurunan tanah lebih dari 1.043 km², diikuti oleh Indonesia (844 km²), Iran (791 km²), India (672 km²), dan Pakistan (374 km²).
Dari sisi jumlah populasi terdampak, India menempati posisi teratas dengan lebih dari 633 juta orang, disusul China (368 juta), Indonesia (213 juta), Pakistan (145 juta), dan Bangladesh (137 juta). Data ini menunjukkan bahwa negara-negara Asia menghadapi risiko besar akibat kombinasi antara penurunan tanah dan kenaikan permukaan laut.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa kondisi Indonesia lebih kompleks dibanding negara lain. “Indonesia lebih parah karena tenggelamnya bukan semata akibat kenaikan muka air laut. Secara tektonik, pulau-pulau kita juga mengalami penurunan,” ujarnya dalam program Insight with Desi Anwar di CNN Indonesia, Minggu (5/10).
Ia menambahkan bahwa kecepatan penurunan tanah dan kenaikan permukaan laut di Indonesia mencapai lebih dari 4 sentimeter per tahun. Menurutnya, kondisi ini harus segera dihadapi dengan langkah adaptasi dan mitigasi yang dilakukan secara gotong royong oleh berbagai pihak.
Dwikorita juga menyoroti pentingnya pengelolaan tata ruang dan sumber daya air. Ia mengingatkan bahwa risiko banjir dan longsor tetap tinggi karena infrastruktur yang ada saat ini umumnya dibangun berdasarkan kondisi iklim masa lalu.
"Karena infrastruktur yang ada saat ini, itu didesain berdasarkan kondisi iklim dan cuaca sebelum ada isu perubahan iklim. Seperti bendungan, itu ada yang dibangun, didesain di tahun 1950, di desain tahun 1960 atau bahkan sebelumnya," katanya.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kebijakan baru yang berbasis sains dan memperhitungkan dampak perubahan iklim. Kebijakan tersebut, lanjut Dwikorita, bukan hanya untuk mencegah bencana, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan pangan, energi, dan air. [nadira]