
Thephrase.id - Minggu pagi pada pertengahan November 2025, deru tangis tiba-tiba menyeruak dari sebuah gang sempit di Kampung Maruga, Ciater, Tangerang Selatan (Tangsel). Kabar meremukkan hati terdengar sepersekian detik setelah lengkingan panggilan telepon terhenti.
"Adik sudah pergi". Suara lirih nan menyakitkan itu terpaksa diucapkan sang penelepon dari ruang pengap ICU Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, tempat MH (13) mengembuskan napas terakhirnya usai sepekan dirawat secara intensif.
MH adalah seorang siswa kelas VII SMPN 19 Tangsel. Dia menjadi korban perundungan (bullying) secara fisik oleh teman sekelasnya. MH dinyatakan meninggal setelah hampir sebulan berjuang melawan sakit akibat luka serius di bagian kepala. MH dipukul menggunakan kursi besi di kelasnya pada Senin, 20 Oktober 2025.
Bullying yang dialami MH tidak hanya sekali jalan, tapi berulang kali sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), kegiatan yang biasa diikuti oleh peserta didik baru. Berbagai kekerasan telah diterima, mulai dari ditusuk pulpen, ditendang, hingga dipukul bagian punggungnya. Hampir setiap hari kekerasan demi kekerasan dialami.
Di Pekanbaru, Riau siswa berinisial MAR juga meregang nyawa setelah menjadi korban bullying secara fisik oleh teman sekolahnya. Siswa SDN 108 Pekanbaru itu, ditendang kepalanya pada Kamis, 20 November 2025. Keesokan harinya, MAR mengalami kelumpuhan. Kemudian pada Minggu, 23 November 2025 MAR dinyatakan meninggal dunia.
"Kamis kepalanya ditendang, Jumat dia lumpuh, berapa hari berikutnya dia meninggal dunia," cerita kuasa hukum keluarga korban, Suroto.
Patah tulang akibat bullying dialami seorang siswa SD di Samarinda, Kalimantan Timur. Kekerasan itu bermula ketika korban mencoba menegur temannya yang sedang menangis di sekolah. Namun siapa sangka, teguran itu dibalas dengan kekerasan oleh dua orang temannya.
Korban semula dicekik oleh pelaku pertama, tapi ditepis oleh korban. Kemudian, pelaku kedua tanpa basa-basi langsung membanting korban. Saat korban meringkuk tak berdaya di lantai dengan kaki menggantung menyentuh dinding, pelaku kedua lantas menindih kaki korban hingga patah.
"Pelaku B kemudian menindih kaki korban di bagian yang tergantung itu. Terdengar bunyi 'kraak' keras dan kaki korban langsung bengkok," ungkap Ketua TRC PPA Kaltim Rina Zainun.
Di Cikembar, Sukabumi, Jawa Barat, seorang siswi MTs, Ajeng ditemukan meninggal dunia secara mengenaskan pada 28 Oktober 2025. Ajeng mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di rumahnya.
Sebelum bunuh diri, Ajeng sempat menuliskan surat berbahasa Sunda. Ajeng mengaku tidak kuat dengan perundungan yang kerap dialami saat di sekolah. Meski dia selalu berusaha memaafkan mereka yang membullinya, tapi para pelaku perundungan tetap melancarkan aksinya.
“Seperti kejadian tadi, bilang ‘Mati saja kamu’,” bunyi sepenggal surat Ajeng.
Melalui surat itu, Ajeng meminta maaf kepada kedua orang tua dan guru-gurunya di sekolah. Dia juga mengungkapkan bahwa perundungan secara verbal yang diterima menjadi alasan dia mengakhiri hidupnya.
Gagalnya Pemerintah Hadirkan Ruang Aman
Semua itu hanyalah sekelumit duka lara di balik ratusan kasus akan ganasnya bullying di lingkungan pendidikan. Pelajar tidak hanya kehilangan ruang aman di sekolah, tapi harus menghadapi bayang-bayang maut dan gulita masa depan. Tidak hanya remuk tulang, mereka juga dipaksa menghadapi hancurnya mental tak berkesudahan.
Sepanjang 2025, sudah ada 25 anak di Indonesia mengakhiri hidupnya, yang sebagian besar akibat bullying di lingkungan sekolah. Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu, tidak dapat dilihat hanya sebatas rentetan angka, tapi sebagai bukti absennya negara dalam melindungi segenap warganya.
Angka kasus bullying di Indonesia masih tinggi. KPAI mencatat, ada sebanyak 285 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi sepanjang 2023. Jumlah itu meningkat menjadi 573 kasus pada 2024.
Pada 2025, KPAI mencatat ada sebanyak 1.052 kasus pelanggaran hak anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Kasus itu sudah menyalahi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pada Pasal 54 ayat 1 UU tersebut dinyatakan "Anak di dalam satuan Pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau dari pihak lain".
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini menyebut kasus bullying di sekolah disebabkan oleh tiga hal. Pertama, adanya budaya senioritas-junioritas di lingkungan sekolah. Kedua, adanya relasi kuasa seperti anak seorang pejabat.
"Ketiga, diskriminasi fisik dan sosial antar siswa," kata Diyah dalam keterangannya kepada ThePhrase.id, Rabu (3/12).
Sementara itu, Psikolog Tika Bisono menilai maraknya bullying disebabkan karena kesalahan dan kegagalan pemerintah dalam menciptakan ruang aman dan nyaman di lingkungan pendidikan.
"Jadi, usaha atau kebijakan publiknya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan itu tidak terjadi di sekolah. Buat saya sih pemerintah yang salah," kata Tika saat berbincang dengan ThePhrase.id, Selasa (2/12).
Negara harus hadir dengan membuat langkah konkret dalam menanggulangi kasus bullying di sekolah. Pada dasarnya, pemerintah melalui Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 sudah mengatur soal pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di setiap sekolah.
Namun, Tika menyebut kebijakan itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan, banyak sekolah di Indonesia yang tidak memiliki sistem pencegahan dan pengawasan bullying. Alhasil, aksi perundungan di sekolah akan terus berulang dan memakan banyak korban.
Tika tidak menafikan bahwa kasus bullying juga disebabkan karena kesalahan pola asuh orang tua. Dia menyoroti sikap orang tua yang lebih banyak bicara daripada mendengarkan anak bercerita.
Baginya, anak-anak juga ingin punya kesempatan bercerita tentang semua hak yang dialaminya, termasuk yang membuatnya sakit hati. Orang tua, seharusnya memberikan kesempatan itu seluas-luasnya agar tidak ada amarah menumpuk di benak sang anak.
Tika mengibaratkan amarah itu layaknya sampah. Apabila kesempatan bercerita bagi anak tidak diberikan, maka dia menampung sampah di hatinya dan suatu waktu akan tumpah ruah. “Ya akhirnya dia harus ngeluarin kemarahannya,” ucapnya.
Pengamat Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah menilai kasus bullying sepenuhnya akibat kesalahan pola asuh anak. Menurutnya, ada dua pihak yang bertanggung jawab dalam pola asuh, yakni orang tua dan guru sebagai pendidik.
Jejen menyebut orang tua gagal dalam memberikan pendampingan dan pendidikan karakter bagi anak sehingga menjadi pelaku perundungan di sekolah.
Baginya, setiap orang tua harus menjadi teladan bagi anak dan tindakan anak merupakan cerminan perilaku orang tua. Begitu juga para guru, mereka tidak hanya bisa menyampaikan mata pelajaran, tapi juga bertugas memberikan pendidikan karakter.
"Orang tua paling bertanggung jawab, lalu guru sebagai pendidik. Anak-anak harus dipahamkan pentingnya welas asih kepada sesama," kata Jejen kepada ThePhrase.id, Selasa (2/12).
Menurutnya, banyak sekolah gagal dalam mendidik siswanya untuk lebih berkarakter lantaran menggunakan pendekatan teoritik daripada praktek nyata. Kegagalan itu menjadi penyumbang maraknya bullying di sekolah.
Minim Pengawasan dan Pengetahuan Guru
Selain itu, tim pencegahan kekerasan di sekolah yang dianjurkan pemerintah tidak berjalan efektif. Bahkan, kata Jejen, masih ada sekolah yang tidak membentuk tim tersebut.
Jejen menilai, banyak kepala sekolah yang punya komitmen rendah dalam memberantas kasus perundungan di sekolahnya. "Padahal kepala sekolah adalah kunci pencegahan kekerasan tersebut," ujarnya.
Jejen mendukung sekolah memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah sebagai upaya meminimalisir kasus bullying. Semua pihak dinilai perlu mendukung efektivitas tim tersebut.
Senada dengan Jejen, Tika menyebut maraknya bullying di sekolah lantaran minimnya pengawasan yang dilakukan para guru. Padahal di banyak sekolah sudah ada guru bimbingan konseling (BK), namun perannya seakan tidak ada.
Oleh sebab itu, Tika menilai pemerintah layak memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang tidak menerapkan semua langkah dan upaya penanggulangan bullying.
Sementara menurut Diyah, lemahnya pengawasan dari pihak sekolah disebabkan karena civitas sekolah tidak paham soal bullying. Situasi itu berpengaruh terhadap hak perlindungan bagi korban, yakni mereka tidak mendapat respons cepat dari pihak sekolah ketika mendapat laporan bullying.
"Selain itu respon atas laporan dari anak perlu tanggapan yang serius, jangan sampai anak merasa tidak mendapat perlindungan karena respon laporan anak tidak dianggap," ucapnya.
Sependapat dengan Diyah, Jejen menyebut banyak guru tidak punya kapasitas intelektual dalam menangani korban bullying karena minimnya pelatihan penanganan perundungan bagi guru.
Dampak Bullying
Tika menyebut bullying dapat membuat korban mengalami trauma fisik dan psikis. Trauma fisik akan membuat korban mengalami cedera, seperti luka, memar, patah tulang, dan lainnya.
Sementara, trauma psikis dianggap tidak lebih baik dari trauma fisik. Sebab, tidak ada yang betul-betul tahu seberapa dalam luka psikis yang dideritanya. Berbagai kemungkinan juga bisa terjadi seperti menjadi pemurung, merasa ketakutan yang berlebihan, hingga merasa hidup di lorong gelap tanpa setitik pun cahaya.
Situasi yang terakhir itu, kata Tika, dapat membuat penyintas melakukan berbagai kemungkinan terburuk, berupa menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Menurutnya, korban memang tidak langsung bunuh diri, melainkan menyakiti diri sendiri dahulu, sebagai upaya menghilangkan trauma yang dialaminya.
Nahasnya, trauma itu tidak lantas hilang, justru berlipat ganda. Langkah terakhir yang akan diambil korban adalah bunuh diri, karena merasa dirinya tidak punya harapan lagi di dunia.
"Dia pikir kalau menyakiti diri sendiri kan berdarah, dia pasti teriak aduh gitu kan ya, dia pikir itu bisa menghilangkan trauma, sakit yang dia alami. Tapi ketika itu juga udah nggak bisa (menghilangkan trauma) gitu ya akhirnya muncul pemikiran, ya sudah saya gak ada aja deh (bunuh diri)," kata Tika.
Diyah juga punya pandangan sama, bahwa dampak terberat dari bullying di lingkungan sekolah dapat membuat korban menyakiti diri sendiri (self harm) hingga bunuh diri.
Kendati begitu, Diyah juga mengungkap bahwa bullying tidak hanya berdampak buruk bagi korban, melainkan juga bagi pelaku. Selain dampak fisik dan administratif seperti berhadapan dengan hukum, diputus dari sekolah, dan lainnya. Namun, pelaku bullying juga mengalami perubahan sikap dan perilaku.
"Bersikap kasar terhadap pasangan atau anak-anak saat tumbuh dewasa. Memiliki perilaku antisosial dan kesulitan membentuk hubungan," kata Diyah.
Meminimalisir Bullying
Tika maupun Diyah sama-sama mengusulkan agar sekolah menjalankan program peer counseling untuk meminimalisir bullying di lingkungan pendidikan.
Menurut Tika, peer counseling atau dialog antar sesama membuat siswa lebih santai dalam menceritakan pengalaman traumatiknya dibanding kepada orang tua.
Metode tersebut membuat siswa tidak merasa kesepian dan justru merasakan kehadiran seorang teman. Sebab peer counseling dapat melatih siswa lebih banyak mendengarkan saat siswa lainnya bercerita.
"Karena di dalam peer counseling itu yang ditingkatkan adalah perilaku mendengar," ucapnnya.
Baginya, semua sekolah harus melaksanakan metode tersebut serta melatih siswa untuk bersikap welas asih antar sesama.
Di sisi lain, orang tua dan sekolah harus berkolaborasi untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi semua siswa, tidak membiarkan perundungan merajalela di sekolah. (M Hafid)