ThePhrase.id – Tahun politik menjadi tantangan tersendiri bagi media. Setidaknya terdapat dua model cakupan (coverage) di tahun politik, yakni pacuan kuda (horse race coverage) dan opera sabun (soap opera stories). Model cakupan pacuan kuda ialah terkait dengan elektabilitas yang terus bergerak dan diikuti media, sehingga pemilu diibaratkan seperti olahraga pacuan kuda. Sedangkan model opera sabun terkait dengan isu baik atau buruknya seorang kandidat atau parpol. Paparan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, saat menjadi pembicara dalam diskusi Dewan Pers bertajuk “Konvensi Nasional Media Masa: Peluang Pers di Tahun yang Menantang”, di Medan, Sumatera Utara, Rabu (8/2). Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia saat menjadi narasumber dalam acara Dewan Pers di Medan, Rabu (8/2/23). (Sumber: Tangkapan layar YouTube.com/Dewan Pers Official) “Kategori yang pertama adalah yang sifatnya horse race coverage (pacuan kuda), jadi media itu suka meliput ‘pacuan kuda’ elektabilitas, makanya survei laku. Karena ternyata publik juga suka mengikuti perkembangan elektabilitas si A, si B, si C, dan seterusnya,” ucap Burhanuddin. Dosen FISIP UIN Jakarta tersebut menggambarkan pemilu diperlakukan seperti olahraga di Amerika Utara dan Eropa. Maksudnya, cakupan tersebut hanya fokus ke siapa yang menang dan siapa yang kalah, soal siapa yang pertama mencapai garis finish dan tersenyum manis di akhir. “Di negara yang memiliki ideologi partai yang sangat kuat seperti Amerika atau Eropa, isu hanya karikatif, tidak utama dalam menjelaskan coverage media mengenai pemilu,” lanjutnya. Burhanuddin Muhtadi (kanan). (Sumber: Instagram.com/burhanuddinmuhtadi) Kategori kedua adalah soap opera stories (opera sabun), yang fokus kepada isu baik atau buruknya kandidat. “Misalnya kalau ada gosip mengenai kandidat si A, si B, entah berkaitan dengan isu korupsi, atau isu perempuan misalnya, ramai itu beritanya. Di Amerika banyak sekali kandidat yang tersungkur karena kasus moralitas,” jelas Burhanuddin. Pertanyaan mengenai karakter, lanjut Burhanuddin, kadang kala menjadi hal yang lebih penting dicakup daripada isu. Begitu pula adanya fenomena gatcha journalism yang dinilai bisa menjadi hal penting untuk diberitakan. “Kalau misalnya media menemukan ada aib dari kandidat yang selama ini ditutupi ternyata bisa dibongkar, langsung, wah ini nih, (bisa menaikkan) rating,” tandasnya.
Tujuan Kampanye Politik
Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia saat menjadi narasumber dalam acara Dewan Pers di Medan, Rabu (8/2/23). (Sumber: Tangkapan layar YouTube.com/Dewan Pers Official) Burhanuddin memaparkan hal-hal yang bisa dilakukan media di tahun politik atau tahun pemilu saat ini. Pertama ialah tergantung dengan tujuan dan saintifikasi kampanye politik. Dua hal tersebut dapat mengubah perilaku para sponsor di media. Pertama, tujuan kampanye politik, salah satu tujuannya ialah elektoral. Burhanuddin menyebutkan ada beberapa jenis dalam tujuan elektoral, yaitu persuasi, mobilisasi, bahkan demobilisasi. “Pemilih justru didemobilisasi supaya nggak nyoblos, supaya golput. Kalau misalnya menyasar segmen tertentu susah, mengajak mereka memilih si calon tertentu susah, minimal mereka pemilih yang potensial mendukung lawan dibikin tidak menyoblos,” jelasnya. Kedua, media menyasar ke segmen pemilih seluas mungkin. Hanya saja terdapat kelemahan dalam kampanye politik, yaitu adanya limitasi waktu. Diketahui masa kampanye pemilu 2024 lebih sedikit dibanding masa kampanye pemilu sebelumnya. Sehingga, aktivitas komunikasi yang dilakukan harus terintegrasi dan terukur. (Rangga)