ThePhrase.id – Masih ingat kasus pemboikotan aktor Korea Kim Seon-Ho atau Ji Soo? Aktor yang terkena imbas dari cancel culture ini karirnya terpaksa meredup karena tidak mendapat dukungan dari publik.
Lantas apakah cancel culture ini?
Cancel culture merupakan bentuk boikot publik terhadap publik figur atau pribadi yang dinilai tidak sesuai dengan norma masyarakat. Istilah you’re cancelled yang sering diucapkan dalam pemboikotan merupakan alasan mengapa budaya di media sosial ini dinamakan cancel culture.
Dalam budaya ini, publik mengungkapkan ketidaksukaan mereka dan menyerang orang yang dinilai berperilaku ofensif dan tidak menyenangkan. Budaya di media sosial ini awalnya dibuat dengan tujuan memberi hukuman sosial terhadap orang yang melanggar norma.
Artis-artis yang terkena imbas cancel culture (Foto: instagram/seungriseyo, actor_jisoo, seonho__kim)
Namun, budaya ini kian berkembang dan disebut sebagai pelampiasan netizen kepada pribadi yang dinilai tidak sesuai dengan mereka. Hal ini bahkan menyebabkan banyak pengguna akhirnya terkucilkan, dan mungkin menimbulkan dampak besar bagi kehidupannya.
Pakar komunikasi Universitas Airlangga, Nisa Kurnia Illahiati mengatakan bahwa perilaku cancel culture ini dapat berubah menjadi pola perilaku pengguna media sosial di Indonesia jika hal ini terus berlanjut.
“Netizen memiliki kecenderungan untuk terburu-buru mengakses kekuasaan untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak, tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya seperti apa. Saya lihat makin ke sini menjadi salah satu behavioral pattern dari netizen Indonesia,” jelasnya.
Jika dilihat melalui sudut pandang komunikasi, Nisa menyebut bahwa cancel culture merupakan hasil dari rendahnya literasi masyarakat. Rendahnya literasi ini menyebabkan seseorang menutup mata akan fakta dan realitas yang sebenarnya dan hanya fokus pada nafsunya untuk menghakimi seseorang.
Selain itu, standar ganda juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi budaya cancel culture ini. Nisa mengungkap banyak netizen memiliki pemikiran bahwa perilaku yang boleh mereka lakukan dan tidak boleh mereka lakukan berbeda dengan publik figur.
Ilustrasi cancel culture (Foto: vox.com)
Selain itu, perilaku ini juga dipicu oleh banyaknya netizen yang menjadikan media sosial sebagai pelarian dari dunia nyata yang tidak sesuai dengan apa yang mereka diinginkan. Sehingga, banyak dari netizen yang menuangkan komentar kebencian atau kekesalan mereka melalui media sosial.
“Meski dapat dipahami, namun hate comment merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Karena saat kita melakukan cancel pada seseorang, ada perspektif di mana kita tidak memikirkan dampak yang mungkin terjadi pada orang tersebut,” terang Nisa.
Tips Bijak Menyikapi Cancel Culture
Perilaku cancel culture kerap tak dianggap selalu adil bahkan mampu menjurus pada perilaku main halim sendiri. Nisa menyebut hal ini lantaran pemboikotan dapat timbul akibat penyebaran hal- hal yang tidak sepenuhnya benar di media sosial.
“Sebelum kita melakukan cancel pada seseorang, kita harus mengonfirmasi dan memberikan hak jawab pada orang tersebut. Sebagai netizen, kita mungkin tidak memiliki hak untuk cancel dia, karena tidak benar-benar tahu apa yang terjadi,” sebutnya.
Untuk menghindari terjadinya cancel culture yang salah sasaran, Nisa memberikan beberapa tips bijak dalam menggunakan media sosial sebagai sebuah teknologi.
Benahi Pola Pikir
Pertama adalah memahami bahwa pola pikir merupakan hal yang menggerakan teknologi. Sebelum melakukan sesuatu melalui media sosial netizen perlu membenahi pola pikir mereka dan memahami segala sesuatu dengan logika.
Hal ini karena teknologi hanyalah sebuah instrumen yang digerakkan oleh pola pikir dan logika kita. Teknologi ini dapat menguntungkan bagi penggunanya jika digunakan dengan benar dan dapat juga memengaruhi pengguna melakukan hal buruk seperti cancel culture.
Memahami Karakteristik Media Sosial
Berbagai media sosial (Foto:canva.com)
Nisa juga menyebutkan bahwa penting bagi pengguna untuk memahami karakteristik dan efek dari media yang mereka gunakan.
“Medium is the message. Hal yang harus kita ingat, bahwa setiap media memiliki karakteristik dan efek yang berbeda, misalnya judul dan lead berita daring yang dibuat menarik, untuk memikat perhatian warganet untuk meng-klik berita,” imbuhnya.
Dengan mengetahui karakteristik dan efek yang ditimbulkan, pengguna media sosial diharapkan menjadi lebih mawas dan terhindar dari jebakan media.
Mengerti Konteks Masalah
Dosen komunikasi FISIP Unair ini menyarankan netizen untuk menganalisa dan memahami bagaimana masalah tersebut tercipta.
“Seringkali orang- orang berani menghakimi orang secara keseluruhan, hanya dari story yang hanya belasan detik. Padahal bagaimana belasan detik dapat merepresentasikan seluruh hal yang terjadi,” paparnya.
Berperan sebagai hakim dalam cancel culture, netizen perlu tahu konteks masalah sebelum mengcancel seseorang. Hal ini karena bisa saja mereka buta akan realitas yang sebenarnya dan langsung membatasi hak jawab pelaku.
Padahal, kebebasan berbicara merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh semua manusia, baik bagi pihak netizen sebagai hakim maupun pelaku.
“Merupakan hal yang salah bila membatasi pelaku dalam memberikan hak jawab,” sebutnya.
Dengan dampak besar yang menghantui cancel culture, Nisa berpesan bahwa netizen harus secara bijak melakukan penghukuman maupun penghakiman dengan mengonfirmasi kebenaran yang ada.
“Karena cancel culture akhirnya hanya jadi main hakim sendiri kalau netizen hanya melakukan apa yang baik di mata mereka, tanpa melihat perspektif lain, dan tanpa mengonfirmasi kebenaran yang sebenarnya ada,” ungkapnya. [fa]