ThePhrase.id – Saat ini gerakan emisi nol karbon tengah gencar dilakukan oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Sayangnya, tak sedikit orang-orang yang masih mempertanyakan mengenai manfaat dan dampak positif yang akan dihasilkan dari gerakan tersebut. Namun pertanyaan tersebut kini mulai terjawab.
Diketahui saat ini 400 hektar tanah di wilayah pesisir Bekasi sudah tertutup air laut. Dilansir dari keterangan Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) Ridwan Kamil, peristiwa tersebut merupakan dampak dari konsumsi karbon yang berlebihan, sehingga menyebabkan terkikisnya pesisir Indonesia oleh air laut.
"Hari ini saja sudah hilang 400 hektar tanah di pesisir Bekasi, sudah jadi laut, apalagi 50 tahun ke depan," ujar Ridwan Kamil.
Kampung Beting Desa Pantai Bahagia di Bekasi yang tenggelam oleh air laut (Foto: BBC Indonesia)
Hal ini membuat Ridwan Kamil yang juga menjabat Gubernur Jawa Barat mengimbau masyarakat agar mulai beralih ke energi terbarukan. Desa-desa di Jawa Barat diimbau untuk segera memanfaatkan energi angin sebagai sumber daya listrik dan juga penggunaan mobil dinas dengan tenaga listrik.
"Contoh kecil energi terbarukan itu seperti membangun desa-desa dari energi angin yang tiangya kecil seperti tiang listrik, minimal itu. Kedua, beli mobil listrik, buat kebijakan atap pakai sollar cell, itu kebijakan murah sampai nanti yang skala besar," imbuh pria yang akrab disapa Kang Emil ini.
Kang Emil mengungkapkan bahwa potensi energi terbarukan tidak hanya terdapat di Jawa Barat, akan tetapi berbagai daerah di Indonesia juga mempunyai banyak potensi energi tersebut dengan berbagai sumber energi.
Ketua Umum ADPMET yang juga merupakan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil
Potensi energi terbarukan di Indonesia bisa mencapai hingga 500 gigawatt. Namun masyarakat di negeri ini hanya baru memanfaatkan sebesar 50 gigawatt dari jumlah potensi tersebut. Energi fosil yang cenderung murah lebih diminati oleh masyarakat meskipun bisa berdampak berbahaya bagi bumi ini.
"Kita 270 juta warga ini hanya mengkonsumsi 50 gigawatt, itupun kita masih tidak niat karena masih senang dengan energi murah tapi kotor seperti batubara dan lainnya. Jadi kenapa menggebu-gebu karena momentumnya sekarang, jangan telat, tahun 2050 itu tak terlalu jauh," tandas Kang Emil. [hc]