ThePhrase.id - Danantara telah mengumumkan formasi lengkap nama-nama personal yang menduduki jabatan di lembaga pengelola investasi itu. Sejumlah warga negara asing masuk dalam formasi itu untuk menunjukkan bahwa lembaga ini benar-benar dapat dipercaya.
Sebab, pada awal peluncurannya dulu beberapa nama di top level disangsikan integritasnya. Apakah nama-nama asing ini dapat menongkrak kepercayaan publik terhadap lembaga ini, atau malah sebaliknya?
Komitmen Pemerintahan Prabowo Subianto untuk menjadikan Danantara sebagai badan investasi sekelas Temasek di Singapura atau Khasanah di Malaysia benar-benar serius. Hal ini ditunjukkan dengan penempatan beberapa nama yang dinilai memiliki kompetensi dan track record yang baik. dalam formasi jabatan lembaga itu. Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Roeslani mengungkapkan penentuan nama-nama itu melalui proses seleksi yang ketat.
“Ternyata untuk menemukan orang-orang yang baik terpilih dan sesuai dengan kompetensinya dan mempunyai track record yang jelas dan bersih itu tidak mudah,” ucap Rosan, pada Senin (24/3) saat mengumumkan nama-nama itu.
Ucapan Rosan ini menyiratkan bahwa nama-nama yang duduk dalam berbagai posisi di Danantara adalah nama-nama terpilh yang kompeten, bersih dan dapat dipercaya. Untuk menguatkan kepercayaan itu, sejumlah nama asing pun dimasukkan dalam struktur kepengurusan.
Dewan penasihat BPI Danantara diisi oleh tokoh-tokoh ekonomi dan investasi kelas dunia, seperti Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, hedge fund terbesar di dunia dengan aset kelolaan lebih dari 124 miliar dolar AS. Dalio dikenal sebagai inovator strategi investasi dan telah menjadi penasihat makroekonomi bagi berbagai pemimpin dunia.
Selain Dalio, nama-nama lain dalam dewan penasihat seperti, Jeffrey Sachs – Ekonom global yang berperan dalam strategi pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi, termasuk sebagai penasihat Indonesia pascakrisis 1998.
Penasehat lainnya Chapman Taylor – Equity Portfolio Manager di Capital Group yang memiliki pengalaman lebih dari tiga dekade dalam investasi di Asia, terutama di sektor telekomunikasi. Juga ada nama Thaksin Shinawatra – Mantan Perdana Menteri Thailand sekaligus pengusaha yang mendirikan Shin Corporation, perusahaan telekomunikasi terbesar di Thailand.
Selain di dewan penasehat, warga negara asing juga ada di jajaran managing Director, yakni Lieng-Seng Wee – Managing Director Risk and Sustainability. Seng Wee adalah pakar global dalam manajemen risiko kuantitatif dengan pengalaman 40 tahun. Ia juga CEO & Co-Founder Dragonfly, New York dan berkontribusi dalam regulasi permodalan Basel di Swiss.
Penempatan nama-nama high profile dengan track record kelas dunia, seakan menjadi bantahan pemerintah atas skeptis publik terhadap Danantara, yang dilincurkan 24 Februari lalu. Ketika itu beredar ajakan massif di media sosial untuk menarik uang dari bank-bank pemerintah sebagai reaksi peluncuran Danantara yang akan mengelola asset bank-bank pemerintah itu.
Dana investasi pemerintah adalah salah satu topik yang viral di X (Twitter) per Kamis, 20 Februari 2025 pukul 10.00 WIB. Ada puluhan ribu cuitan (tweet) atau unggahan yang dilakukan warganet berkaitan dana investasi pemerintah tersebut. Salah satunya yang ditulis akun @dr_alt*****, Kamis, 20 Februari 2025.
“Mencurigakan dan mengerikan jika Danantara tidak bisa diperiksa @KPK_RI (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan @bpkri (Badan Pemeriksa Keuangan) ya, apalagi ada mantan napi koruptor BI (Bank Indonesia) di sana. Ayo pindahin uang kita dari bank BUMN,” tulis akun tersebut.
Untungnya, isu tentang ajakan penarikan uang atau rush money ini sempat terhenti setelah Kejaksaan Agung mengumumkan pengungkapan kasus korupsi pembelian crude oil dan produk BBM dengan penangkapan 9 tersangka dari kalangan pengusaha swasta dan pejabat BUMN Migas, pada 19 Maret 2025. Perhatian publik pun beralih pada kasus ini karena Kejagung menyebut ada blending atau pencampuran pada BBM.
Kesangsian terhadap Danantara ini karena ada sejumlah nama-nama yang diragukan integritasnya. Termasuk duduknya mantan Presiden SBY dan Jokowi di jajaran struktur Danantara yang dinilai tidak berdampak banyak. Bahkan, momen launching Danantara disinyalir menjadi salah satu penyebab sentimen negatif bagi pasar yang ditandai dengan jebloknya IHSG (indesk harga saham gabungan) pada perdagangan Selasa (18/3).
Peneliti NEXT Indonesia Herry Gunawan menilai hadirnya Presiden ke-6 SBY dan Presiden ke-7 Jokowi tak serta-merta membuat Danantara pasti melangkah di jalan lurus. Potensi mismanajemen sampai korupsi diklaim bakal tetap ada, tak otomatis lenyap begitu saja.
Demikian juga keberadaan lembaga seperti Kejaksaan Agung, Polri, BPKP, tidak menjamin bebasnya badan ini dari masalah hukum. Hery mencontohkan bagaimana selama ini perusahaan pelat merah kerap menghadapi masalah hukum. Padahal, komisarisnya diisi oleh petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sampai mantan hakim.
Menurut Herry tidak ada jaminan Danantara akan 100 persen bersih. Ada celah 'badan baru tersebut tetap bobol jika tak diurus dengan benar. "Yang penting adalah niat baik dan implementasi pengawasannya. Kalau cuma duduk manis menikmati kursi dan gaji, ya siap-siap bobol juga," kata Hery wanti-wanti.
Sejarah Indonesia dari presiden ke presiden yang selalui ditandai dengan skandal mega krouspi dan hilangnya uang negara dalam jumlah fantastis menjadi salah pemicu ketidakpercayaan publik terhadap Danantara. Apalagi asset yang akan dikelola badan ini lebih dari Rp14.000 triliun. Selama ini, uang-uang yang mengendap di institusi keuangan seperti bank, asuransi, dana haji, BUMN tak luput dari jarahan para koruptor yang membuat keuangan negara sulit dan masyarakat dibuat susah.
Di atas trauma inilah Danantara meluncur dengan segala retorika yang mengiringinya, bersaing dengan laju kepercayaan publik terhadap pemerintah. Maka, masalah sesungguhnya bukan pada lembaga itu kredibel atau tidak tetapi adalah kepercayaan publik kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Karena itu, Danantara yang sudah memiliki formasi lengkap pengurusnya saat ini dapat menjadi bukti sekaligus penguji trust atau kepercayaan publik kepada pemerintah. (Aswan AS)