features

Danantara, Lembaga Pengelola Investasi yang Mencemaskan

Penulis Aswandi AS
Feb 27, 2025
Peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/2/25). (Foto: Instagram/prabowo)
Peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/2/25). (Foto: Instagram/prabowo)

ThePhrase.id - Peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI), Daya Anagata Nusantara atau Danantara  menjadi kabar yang menggembirakan sekaligus juga mencemaskan.  Menggembirakan karena  Danantara akan berperan  seperti Temasek di Singapura yang dapat membiayai proyek-proyek  raksasa  berskala global dan menjadi kekuatan ekonomi negara.  Namun, Danantara juga menjadi kabar yang mencemaskan karena dikhawatirkan akan mengulang kisah tentang hilangnya uang negara  dalam jumlah maha besar yang terjadi pada setiap rezim di negeri ini. Dari 7 presiden yang sudah berlalu, hanya era BJ Habibie yang tidak meninggalkan catatan tentang pembobolan uang negara dan korupsi.

Di era Soekarno kita pernah mendengar ada istilah dana revolusi.  Sebuah kisah tentang presiden pertama Indonesia yang menyimpan emas 57.000 ton di salah satu bank di Swiss. Versi lain menyebutkan simpanan berupa warisan uang yang dihimpun Soekarno, melalui Perpu No.19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara.  Soekarno disebut mengalihkan sumbangan perusahaan negara ke Union Bank, Swiss, dengan total uang  mencapai US$16 miliar.  Populer kisah tentang dana revolusi ini membuat Presiden Soeharto pun sempat berupaya menemukan harta karun itu, namun tak berhasil hingga kejatuhannya pada tahun 1998. Meskipun kisah dana revolusi ini  makin menjadi misteri, namun tema utamanya adalah tentang hilangnya kekayaan atau uang negara.

Di era Presiden Soeharto, kisah tentang uang negara yang hilang juga tak kalah hebatnya.  Kisah tentang raibnya kekayaan negara di era ini terjadi dalam beragam modus,  yang disebut dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  Majalah Time edisi Asia  tertanggal 24 Mei 1999 pernah mengeluarkan tulisan tentang kekayaan Soeharto dan keluarganya senilai USD9 miliar  yang ditransfer dari Swiss ke Austria.  Tulisan yang kemudian digugat oleh keluarga Pak Harto yang mengharuskan Time membayar denda sebesar Rp1 triliun.  

Di era ini, juga banyak cerita tentang dana yang ditampung di yayasan yang diselewengkan seperti Yayasan Supersemar dan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.  Kasus pembobolan uang negara di bank-bank  juga terjadi di orde ini, seperti kasus Bank Duta oleh wakil dirutnya, Dicky Iskandar Dinata. Dicky juga  membobol BNI sebesar Rp1,4 triliun.  Nama pembobol lain yang populer adalah Eddy Tansil yang membobol Bapindo senilai Rp1,3 triliun (kurs Rp 2.000-an per dolar AS).  Eddy dihukum 20 tahun penjara di LP Cipinang, tapi kemudian kabur pada 14 Mei 1996 dan hilang hingga hari ini.

Di era  Gus Dur juga ada kisah tentang uang negara yang raib. Kasus Buloggate dan Bruneigate yang terjadi di era Gus Dur disebut penyebab Gus Dur terjungkal dari kursi presidennya.  Gus Dur sendiri tak pernah terbukti terlibat dalam skandal itu, namun kedua kasus itu dijadikan amunisi oleh lawan politiknya untuk menurunkannya dari jabatannya.  Penyelesaian konflik Aceh menjadi latar belakang kedua skandal ini.  Presiden Gus Dur ketika itu minta dicarikan dana untuk penyelesaian masalah Aceh. Orang-orang dekatnya kemudian mengambil dana Bulog dalam beberapa tahap. Salah satunya dana sebesar Rp35 miliar yang dibawa oleh Suwondo, yang dikenal sebagai tukang pijat Gus Dur.  Dalam Bruneigate, disebut ada dana dari Sultan Brunai sebesar USD2 juta untuk bantuan ke Aceh yang diterima oleh orang-orang dekat Gus Dur.

Di era Megawati kerugian negara dari kasus BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) dinyatakan lunas melalui  Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang menjadi dasar penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL). Audit BPK menemukan bahwa 95,78 persen atau senilai Rp144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung-jawabkan. Tidak hanya itu, para bank yang menerima pinjaman juga tidak mau mengembalikan uang itu ke pemerintah.  Dengan inpres Presiden Megawati itu,  nama-nama seperti Sjamsul Nursalim, David Nusawijaya, Samadikun Hartono, Jusup Kartadibrata dan Setiawan Harjono dinyatakan bebas dari tuntutan. Temasuk Anthony Salim dari Salim Grup (mantan bos Bank BCA) yang nilai utangnya kepada pemerintah mencapai Rp52,727 triliun.

Era Megawati yang paling diingat adalah penjualan saham Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd,  sebesar 41,94%  senilai US$630 juta atau Rp5,62 triliun (kurs Rp 8.900/US$)  Padahal Indosat adalah aset strategis di bidang telekomunikasi yang dinilai sangat menguntungkan. 

Kisah uang negara yang raib juga terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Pada tahun ke tujuh SBY sebagai presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp103,19 triliun.

"Dari temuan yang direkomendasi BPK ini, baru Rp37,87 triliun yang ditindaklanjuti,"  kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan,  ketika itu, Minggu (23/10/2011)

Yuna menduga para aktor utama di balik permainan anggaran  sebagian besar adalah elite politik baik di parlemen maupun di kementerian.

"Karena mereka yang duduk di parlemen dan yang di kementerian namun berasal dari parpol tertentu memang dituntut untuk menghidupi partai politiknya dengan merampok uang rakyat dari APBN," ujar Yuna.

Kasus yang menonjol di era SBY adalah kasus dana talangan Bank Century yang merugikan negara sebesar Rp6,7 triliun. Juga ada kasus Hambalang, proyek pembangunan fasilitas olahraga yang ditetapkan KPK merugikan negara sebesar  Rp 463,66 miliar yang menyeret kader-kader utama Partai Demokrat.
Era Jokowi sebagai presiden korupsi juga parah. Begitu parahnya korupsi di era Jokowi ini, sampai Jokowi sendiri dinobatkan sebagai koruptor kelas dunia. Kasus yang sempat mencuat ke publik di antaranya kasus E-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.  

Uang yang mengendap di asuransi juga dikorup, seperti  di  Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri)  yang merugikan keuangan negara Rp22,788 triliun. Juga asuransi Jiwasraya yang disebut merugikan negara Rp16,8 triliun.  Perkara proyek base transceiver station (BTS) 4G yang menjerat eks Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate, yang merugikan negara lebih dari Rp8 triliun.  Juga korupsi penambangan timah illegal  yang merugikan negara sebesar Rp300 triliun.  

Korupsi ini belum termasuk kerugian pada sejumlah proyek infrastruktur yang meninggalkan beban utang seperti jalan tol dan kereta api cepat Jakarta-Bandung. Jokowi tidak hanya meninggalkan banyak kasus korupsi tetapi juga beban utang negara yang menumpuk.

Berkaca pada perjalanan negeri ini dari rezim ke rezim yang selalu diwarnai korupsi  dan pembobolan uang negara, maka  peluncuran Danantara menjadi momen yang mencemaskan.  Danantara meluncur di tengah korupsi nyaris jadi karakter dan cara bermain pejabat di negeri ini.

Netizen pun mencurigai jika lembaga ini adalah rancangan untuk mengumpulkan pundi-pundi politik sebagai bancakan yang akan dibagi-bagi. Nama-nama yang tercantum sebagai pengelola lembaga ini sebagian memiliki jejak kelam di masa lalu dengan integritas yang meragukan.  Bahkan di jajaran pengawasnya ada sosok penyandang  gelar sebagai koruptor kelas dunia.

Ditambah lembaga ini sudah diatur tidak bisa diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Makinlah  membuat publik sedap-sedap ngeri.  Sebab, kalau ada masalah akan diselesaikan secara politik yang saling menguntungkan seperti yang sudah-sudah.  Adapun kerugiannya akan ditanggung  oleh rakyat Indonesia yang telah bayar pajak dan menyimpan sebagian uangnya di bank-bank milik negara.  Wallahua’’lam. (Aswan AS)

Tags Terkait

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic