ThePhrase.id – Badai Sitokin tengah ramai diperbincangkan masyarakat menyusul keterangan dari presenter dan YouTuber kondang, Deddy Corbuzier yang menyatakan bahwa dirinya sempat mengalami kritis akibat Badai Sitokin dua minggu setelah dinyatakan negatif Covid-19. Lalu, apakah Badai Sitokin tersebut?
Presenter dan Youtuber Deddy Corbuzier. Foto: Youtube/Deddy Corbuzier
Badai Sitokin merupakan salah satu gejala berat atau komplikasi yang dapat dialami oleh seseorang termasuk pasien Covid-19 yang harus diwaspadai dan ditangani dengan cepat karena mampu menyebabkan kegagalan fungsi organ bahkan kematian pada penderitanya.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh American Cancer Society, sitokin merupakan protein yang diproduksi tubuh guna memberi sinyal untuk sistem imunitas agar melakukan tugasnya untuk melawan bakteri dan virus yang menyerang tubuh. Beberapa infeksi yang mampu memicu terjadinya badai sitokin antara lain influenza, pneumonia, dan sepsis.
Pada pasien Covid-19, produksi sitokin yang normal tidak akan mempengaruhi kondisi paru-paru pasien. Akan tetapi, jumlah sitokin yang diproduksi melampaui batas wajar akan membuat paru-paru sangat padat dan kaku, sehingga disebut sebagai Badai Sitokin.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Agus Dwi Susanto, terdapat tiga fase yang dialami oleh pasien Covid-19 di antaranya fase infeksi awal atau replikasi, fase pulmonari atau infeksi di paru-paru, dan fase hiper-inflamasi atau masa kritis. Badai Sitokin pada pasien Covid-19 terjadi dalam fase ketiga yakni hiper-inflamasi sebagai respon imunitas untuk melawan virus yang telah bersarang terlalu banyak di dalam tubuh.
“Fase hiper-inflamasi inilah yang paling kita kenal sebagai Badai Sitokin. Badai sitokin ini akan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin berlebihan. Imunitas tubuh kita melepaskan berbagai senjata perang untuk melawan virus karena virusnya semakin banyak, sehingga dibentuk sitokin yang cenderung berlebihan,” jelasnya dilansir dari kanal YouTube CNN Indonesia.
Fase hiper-inflamasi yang menyebabkan produksi sitokin berlebihan akan mengganggu fungsi sel normal dan menyebabkan kerusakan jaringan maupun organ-organ pada tubuh. Kerusakan tersebut bukan hanya pada paru-paru namun juga peradangan dan gangguan organ tubuh lainnya bahkan jantung dan ginjal.
“Hiper-inflamasi ini akibatnya akan merusak berbagai jaringan tubuh kita. Bukan hanya di paru, juga terjadinya inflamasi sistemik, peradangan seluruh organ, menyebabkan terjadinya hiperkoagulasi, kekentalan darah, gangguan jantung, dan gangguan ginjal akibat Badai Sitokin,” sambungnya.
Respon tubuh pasien Covid-19 yang mengalami Badai Sitokin dapat berupa demam dan sesak nafas akut hingga membutuhkan alat bantu pernapasan berupa ventilator. Dalam penelitian seorang dokter ICU di Harborview Medical Center Seattle, Amerika Serikat, Pavan Bhatraju, menyebutkan kondisi kirtis ini secara umum dialami tujuh hari setelah kondisi pasien dinyatakan membaik.
Dilansir dari halodoc, belum ditemukan cara khusus untuk mendeteksi dan menangani seseorang yang tengah mengalami Badai Sitokin. Deteksi melalui tes darah mungkin saja dilakukan namun tidak memberikan hasil yang valid. Hingga saat ini, kondisi Badai Sitokin dapat diketahui apabila pasien terus mengalami kesulitan bernapas meskipun telah menggunakan bantuan oksigen.
Kementrian Kesehatan RI melalui laman alodokter menyatakan beberapa tindakan yang dapat dilakukan dokter bagi pasien Covid-19 yang mengalami Badai Sitokin. Di antaranya, pemantauan tanda-tanda vital, yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh secara intensif, pemasangan mesin ventilator, pemberian cairan infus, pemantauan kadar elektrolit, serta cuci darah (hemodialisis). Selain itu, pemberian obat-obatan berupa anakinra atau tocilizumab juga dapat membantu menghambat produksi sitokin. [Regita]