leader

Dewi Sartika dan Kiprahnya dalam Memperjuangkan Kaum Perempuan

Penulis Firda Ayu
Dec 22, 2021
Dewi Sartika dan Kiprahnya dalam Memperjuangkan Kaum Perempuan
ThePhrase.id – Siapa yang tidak mengenal Dewi Sartika? Raden Dewi Sartika atau Dewi Sartika merupakan tokoh pejuang wanita yang berasal dari Cicalengka, Bandung.  Dewi Sartika dikenal sebagai tokoh Pahlawan Jawa Barat yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.

Bertepatan dengan Hari Ibu pada 22 Desember 2021, ada baiknya kita mengenang kembali jasa pahlawan nasional Dewi Sartika dalam memperjuangkan emansipasi dan pendidikan kaum perempuan.

Dewi Sartika terlahir dari pasangan Raden Rangga Somanegara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas di tanah Sunda, tepatnya di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Ayahnya merupakan seorang priyayi dan Patih Bandung yang memiliki pemikiran modern pada waktu itu.

Kedua orangtua Dewi Sartika merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda. Orang tua Dewi Sartika merupakan golongan priyayi yang menyekolahkan putra-putrinya, termasuk Dewi.

Dewi Sartika (Foto: wikimedia)


Dewi sempat bersekolah di Eerste Klasse School atau Sekolah Kelas Satu untuk penduduk non-Eropa sampai kelas tiga.  Sayangnya, Raden Somanegara dituduh terlibat dalam sabotase acara pacuan kuda di Tegalega untuk mencelakai bupati Bandung yang baru, R.A.A Martanegara pada pada 1893.

Akibatnya, ayah Dewi Sartika mendapat hukuman keras dan harus diasingkan ke Ternate oleh pemerintah Hindia Belanda. Dewi yang saat itu baru berusia 9 tahun kemudian diasuh oleh pamannya yang merupakan seorang Patih Cicalengka, bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat.

Di bawah asuhan pamannya, Dewi disambut dengan dingin dan diperlakukan berbeda. Perlakuan tersebut diterimanya lantaran ia dianggap membawa aib bagi keluarga akibat tindakan sang ayah. Salah satunya adalah ia diberi banyak pekerjaan rumah tangga dan harus rela menempati kamar belakang seperti pelayan.

Untungnya, Dewi tetap bisa mendapatkan pendidikan walaupun pendidikan yang diterima Dewi disesuaikan dengan budaya Sunda. Pada masa itu, kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran yang disebabkan oleh beberapa faktor.

Seperti faktor feodalisme yang telah ada sejak jaman Majapahit yang menempatkan istri sebagai lambang status seorang pria. Kesalahan pemahaman konsep yang menganggap perempuan lebih lemah dari laki-laki dan juga kerap terjadinya kawin paksa atau kawin gantung (pernikahan anak-anak). Hal ini pun terus berlanjut hingga timbul tradisi yang mengekang kaum perempuan di masa itu.

Berawal dari sinilah tercipta satu tekad kuat dari Dewi Sartika untuk melakukan emansipasi perempuan. Menurutnya, perempuan harus memiliki keterampilan agar bisa hidup mandiri. Sesuai dengan kalimatnya yang terkenal “Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hidup” atau bisa diartikan menjadi perempuan harus mempunyai banyak kecakapan agar mampu hidup.

Dirikan Sakola Kautamaan Istri


Saat kembali ke Bandung pada tahun 1902, ia bertekad untuk mewujudkan emansipasi perempuan. Cita-citanya ini didukung dengan kondisi pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1901 mulai menjalankan politik etis atau Ethische Politic dengan maksud mewujudkan kondisi yang lebih cocok dengan sistem liberal bidang ekonomi di Indonesia.

Dewi mendapat dukungan dari Inspektur Pengajaran Hindia Belanda, C. Den Hammer. Hammer kemudian menyarankan Dewi untuk meminta izin mendirikan sekolah kepada Bupati Bandung, RA Martanegara.

Dewi kemudian mendapatkan izin untuk mendirikan Sakola Istri, sekolah khusus perempuan pertama di Bandung. Sekolah yang awalnya bertempat di Pendopo Kabupaten Bandung ini bertujuan untuk mengajarkan anak-anak gadis pribumi agar dapat membaca, menulis, berhitung, dan berumah tangga.

Sakola Kautamaan Istri (Foto: disparbud.jabarprov.go.id)


Perkembangan Sakola Istri cukup pesat, dan seiring berjalannya waktu murid bertambah banyak, hingga mencapai 60 orang dari kalangan pribumi. Dewi Sartika dibantu Nyi Poerwa dan Nyi Oewit menjadi pengajar di sekolah ini.

Sekolah ini kemudian pindah ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau karena Pendopo Kabupaten Bandung tak cukup lagi untuk menampung mereka. Selain itu di tahun 1910, sekolah ini juga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri guna mendekati tujuan pendidikan di sekolah itu yakni menghasilkan wanita yang utama. Sekolah ini juga berkembang hingga ke berbagai kota dan kabupaten seperti Garut, Tasikmalaya dan Purwakarta.

Murid Saloka Kautamaan Istri (Foto: pustakaindonesia.org)


Nama sekolah ini sempat diganti menjadi Sekolah Gadis No. 29 pada masa penjajahan Jepang, karena penjajah Jepang ingin menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah rakyat. Namun Dewi Sartika tak mau kalau harus mengganti kurikulum Sakola Kautamaan Istri hingga ia terpaksa menutup sekolah tersebut.

Untungnya, sekolah tersebut kembali dibuka oleh Yayasan Raden Dewi Sartika pada tahun 1951. Selama dikelola yayasan tersebut, sekolah ini mengalami beberapa pergantian nama. Kini Sakola Kautamaan Istri berubah nama menjadi Sekolah Dewi Sartika.

Di tahun 1947, tepatnya tanggal 11 september 1947 atau saat Agresi Militer Belanda, Dewi Sartika yang sedang mengungsi wafat di Cinean, Jawa Barat.

Untuk mengenang jasanya yang sudah memperjuangkan pendidikan, ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sakola Kautamaan Istri. Bukan itu saja, nama Kautamaan Istri sendiri kemudian diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Bandung, tepatnya di area Balonggede dan pada 1 Desember 1966, Dewi Sartika diakui sebagai Pahlawan Nasional. [fa]

Tags Terkait

 
Related News

Popular News

 

News Topic