ThePhrase.id - Dalam era digital yang terus berkembang, aplikasi berbasis teknologi semakin mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sektor perdagangan dan ekonomi. Salah satu aplikasi yang baru-baru ini menjadi sorotan adalah Temu.
Aplikasi ini dikabarkan telah beberapa kali mencoba mendaftarkan merek dagangnya di Indonesia, tetapi perizinannya ditolak. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyatakan dengan tegas bahwa Temu tidak diizinkan beroperasi di Indonesia karena dianggap dapat merusak kelangsungan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM).
"Kita tetap larang [Temu beroperasi di Indonesia]. Hancur UMKM kita kalau dibiarin," kata Budi Arie dilansir dari cnindonesia.com.
Senada dengan itu, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki turut mengungkapkan kekhawatirannya. Menurutnya, Temu bekerja sama dengan lebih dari 80 pabrik di China yang langsung menjual produk mereka ke konsumen global tanpa melalui perantara, yang berpotensi mematikan pelaku UMKM lokal.
"Kalau TikTok masih mendinglah, masih ada reseller, ada affiliator, masih membuka lapangan kerja. Kalau ini kan akan memangkas langsung, selain harganya lebih murah, juga memangkas lapangan kerja misalnya distribusi," katanya dilansir dari Kompas.com.
Lantas apa itu aplikasi Temu dan mengapa dilarang masuk Indonesia?
Temu, anak perusahaan Pinduoduo Inc., adalah platform e-commerce asal China yang memungkinkan pengguna membeli beragam produk seperti elektronik, pakaian, dan perlengkapan rumah tangga dengan harga yang sangat kompetitif. Sekilas, Temu mirip dengan e-commerce seperti Shopee atau TikTok Shop, namun aplikasi ini memiliki model bisnis yang berbeda.
Diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada September 2022, Temu dengan cepat menjadi aplikasi belanja paling banyak diunduh di berbagai negara, termasuk Inggris, Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Temu dapat berkembang dengan pesat berkat model bisnis yang memotong peran penjual tradisional. Aplikasi ini langsung menghubungkan konsumen dengan produsen, sehingga harga produk bisa jauh lebih murah. Barang-barang dikirimkan langsung dari pabrik di China kepada konsumen global, tanpa melalui perantara seperti reseller atau affiliator, yang biasanya mengambil keuntungan tambahan.
Inilah yang menjadi kekhawatiran pemerintah Indonesia. Dengan model bisnis seperti ini, keberadaan Temu bisa mengancam keberlangsungan UMKM lokal yang mengandalkan rantai pasok tradisional. Tanpa reseller dan distributor, UMKM yang berperan sebagai perantara bisa kehilangan pangsa pasarnya, sementara harga produk yang sangat murah juga bisa membuat UMKM kesulitan bersaing.
Menkop UKM Teten berharap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 dapat menjadi penghalang masuknya Temu ke Indonesia. Permendag ini melarang penjualan produk di bawah $100 (sekitar Rp 1,5 juta) secara cross-border, yang diharapkan dapat melindungi pasar domestik dan UMKM dari persaingan yang tidak sehat. [nadira]