ThePhrase.id - Komisi X DPR RI berencana menggelar rapat kerja (raker) dengan Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon setelah masa sidang DPR kembali dibuka. Fokusnya adalah pembahasan wacana penulisan ulang sejarah Indonesia, termasuk pernyataannya yang menuai kontroversi mengenai kasus pemerkosaan dalam Tragedi Mei 1998.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian menyatakan bahwa pernyataan Fadli Zon terkait peristiwa kekerasan seksual dalam tragedi tersebut memicu reaksi publik dan dinilai berpotensi menyakiti para korban, serta melemahkan perjuangan panjang pemulihan yang telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun.
“Kami ada rencana akan raker setelah masa sidang dibuka untuk meluruskan wacana yang berkembang di publik, tentu pada saat raker, salah satu yang akan kami pertanyakan adalah hal tersebut,” ujar Lalu dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa (17/6) dikutip Antaranews.
Ia menegaskan bahwa Tragedi Mei 1998 adalah bagian kelam dari sejarah bangsa yang tidak boleh diingkari, terutama karena menyimpan luka mendalam bagi para perempuan korban kekerasan seksual.
“Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah,” tukasnya.
Menurutnya, menyangkal keberadaan kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut sama saja dengan menghapus bagian penting dari sejarah Indonesia. Ia juga menekankan bahwa tragedi tersebut telah mendapatkan pengakuan luas, termasuk dari lembaga seperti Komnas Perempuan.
“Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa menutupi fakta sejarah justru akan merendahkan martabat para korban dan menghambat proses rekonsiliasi serta pemulihan nama baik mereka. Ia mengingatkan bahwa sejarah harus ditulis secara jujur dan inklusif, bukan dikendalikan oleh kepentingan politik.
“Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” imbuhnya.
Rapat kerja tersebut nantinya juga akan menjadi momen penting untuk mempertanyakan kembali motif dan arah dari wacana penulisan ulang sejarah Indonesia yang saat ini tengah menjadi sorotan publik. (Rangga)