Thephrase.id – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudha Sadewa memiliki segudang kebijakan yang dianggap sebagai katalisator pertumbuhan perekonomian nasional. Ekonom menilai kebijakan fiskal Purbaya memiliki efek ganda, berdampak baik sekaligus buruk.
Kebijakan Purbaya yang dinilai memberikan efek baik terhadap perekonomian adalah penolakan Purbaya terhadap tax amnesty (pengampunan pajak) jilid III. Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty saat ini sudah bergulir dan masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029 di DPR.
Bagi Purbaya, tax amnesty justru akan membuat rasio pajak (tax ratio) di Tanah Air rusak. Pria yang kerap dijuluki koboy itu, juga menilai tax amnesty terkesan memberikan karpet merah bagi pengusaha untuk terus mengemplang pajak.
"Pandangan saya begini, kalau amnesty berkali-kali gimana jadi kredibilitas amnesty? itu memberikan signal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar nanti ke depan-ke depan ada amnesty lagi,” kata Purbaya beberapa waktu lalu. "Makanya kalau tax amnesty setiap berapa tahun ya udah nanti semuanya nyelundupin duit. Tiga tahun lagi buat tax amnesty, kira-kira begitu jadi message nya kurang bagus,” tandasnya.
Program tax amnesty jilid I digelar pada 2016 silam di bawah kepemimpinan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Lalu, tax amnesty jilid II kembali digelar pada 2022.
Bank Dunia mencatat rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia konsisten turun sejak 2022. Rasionya berada di kisaran 10,4% pada 2022. Kemudian turun 0,1% pada 2023, menjadi 10,3%. Pada 2024, rasio kembali turun menjadi 10,1%.
Tahun ini, Bank Dunia memproyeksikan rasio pajak berada di bawah 10%, tepatnya 9,9%. "Pendapatan pajak turun 0,6 persen dari PDB pada Mei 2025 dibandingkan Mei 2024," dalam laporan Bank Dunia ‘Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025’.
Makanya, Purbaya berulang kali menyatakan tidak ingin menggulirkan aturan tax amnesty, dia justru akan memperkuat kepatuhan wajib pajak. "Untuk itu kita optimalkan semua peraturan yang ada untuk kita minimalkan penggelapan pajak. Harusnya sudah cukup, dan kita majukan ekonomi supaya dengan tax ratio yang konstan misalnya tax saya tumbuh saya dapat lebih banyak,” ucapnya.
Menurut Purbaya, ada sebanyak 200 pengemplang pajak yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Dari jumlah tersebut, potensi penerimaan negara ditaksir mencapai Rp60 triliun.
Dalam catatannya, sebanyak 84 dari 200 penunggak pajak inkrah sudah melakukan pembayaran dengan nilai Rp5,1 triliun pada September 2025. Namun baru-baru ini, jumlah tersebut bertambah menjadi Rp7 triliun yang sudah masuk brankas negara.
“Mungkin sekarang sudah masuk hampir Rp7 triliun. Tapi kan pembayarannya bertahap (nyicil),” kata Menkeu Purbaya, Rabu (8/10). Kendati begitu, dia tetap bertekad untuk terus mengeksekusi pengemplang pajak lainnya. Hal itu guna menambal merosotnya setoran pajak. Kemenkeu mencatat penerimaan pajak terkontraksi sebesar 5,1 persen dengan nilai Rp1.135,4 triliun per Agustus 2025.
Anggota Komisi XI DPR RI, Charles Meikyansah memberi respons positif atas lengkah Purbaya yang menolak pemberlakukan tax amnesty. Baginya, tax amnesty akan melahirkan ketidakadilan dan merusak kepatuhan wajib pajak.
"Pengampunan pajak berulang kali hanya akan menciptakan ketidakadilan. Kita perlu menegakkan prinsip pajak yang adil bagi semua pihak, tanpa memberikan pengecualian," kata Charles beberapa waktu lalu.
Selaras dengan komitmen itu, Charles memastikan bahwa setiap insentif pasar yang ditawarkan pemerintah untuk menarik devisa tidak berubah menjadi amnesti pajak terselubung. "Kami juga akan memastikan setiap insentif yang diberikan tetap berjalan dengan mekanisme transparan dan melibatkan pengawasan publik, sehingga tidak ada celah bagi praktik penghindaran pajak," ucapnya.
Di sisi menolak tax amnesty dan mengejar pengemplang pajak, Purbaya justru tidak membuat kebijakan penarikan pajak baru. Langkah ini dinilai berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Kemudian, mengancam penarikan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang serapannya tidak optimal dan akan dipindahkan ke program lainnya.
Per 8 September 2025, realisasi penggunaan anggaran MBG baru mencapai 15,7 triliun dari pagu Rp71 triliun pada 2025. Purbaya memastikan akan menarik dana tersebut dan bahkan akan dikurangi anggarannya untuk periode berikutnya apabila serapannya tidak maksimal hingga akhir tahun.
“Kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapan hanya akan sekian, ya kita ambil. Kita sebar ke tempat lain atau untuk mengurangi defisit atau untuk mengurangi utang. Jadi pada dasarnya tidak ada uang nganggur di departemen ataupun di kementerian,” ujarnya, Jumat (19/9).
Purbaya sebenarnya tidak yakin Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program unggulan Prabowo itu, akan berhasil menyerap seluruh anggaran yang ada. Namun, dia berjanji akan menambah anggarannya apabila BGN berhasil menyerap secara optimal hingga akhir tahun.
“Menolak tax amnesty, dan juga mengancam tarik anggaran tidak optimal seperti dari BGN, itu merupakan langkah kebijakan yang saya rasa baik bagi boosting ekonomi,” kata Direktur Ekonom Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda kepada ThePhrase.id, Selasa (7/10).
Nailul Huda juga menyoroti beberapa kebijakan Purbaya yang justru berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, seperti rencana pemotongan transfer ke daerah (TKD) dalam APBN 2026. Menurutnya, pemotongan TKD tersebut membuat kinerja pemerintah daerah (Pemda) dalam membangun daerah tidak akan maksimal.
Dengan demikian, Pemda akan berusaha menambal minimnya dana transfer dan merosotnya pendapatan daerah dengan cara menaikkan tarif pajak daerah. “Hal ini justru akan mengakibatkan konsumsi masyarakat turun, dan perekonomian di daerah tidak akan jalan,” tuturnya.
Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi melihat dua kemungkinan dampak dari pemotongan TKD, bisa positif dan negatif. Positifnya, kata Syafruddin, pengetatan TKD dapat mendorong efisiensi belanja daerah, mengurangi akumulasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), dan memusatkan dana pada program prioritas nasional yang lebih berdampak cepat.
Adapun dari sisi negatifnya, pengurangan TKD berisiko mengerem proyek infrastruktur kecil, layanan dasar, dan belanja pemeliharaan yang menyerap tenaga kerja lokal. “Dampak bersih akan positif jika Kementerian Keuangan mengganti TKD yang dipotong dengan skema berbasis kinerja, mempercepat penyaluran DAK (dana alokasi khusus) fisik untuk proyek siap lelang, dan menyediakan jembatan kas bagi daerah yang terdampak agar layanan publik tidak terganggu,” kata Syafruddin kepada ThePhrase.id, Selasa.
Dana TKD di RAPBN 2026 awalnya hanya Rp650 triliun alias turun 29 persen dibandingkan 2025 yang menyentuh Rp919 triliun. Artinya, dipangkas sebesar Rp269 triliun. Namun rencana pemotongan ini membuat kepala daerah marah dan menyambangi Kemenkeu untuk memprotes rencana pemotongan TKD.
Sebanyak 18 kepala daerah yang menggeruduk Kemenkeu, meminta rencana pemotongan TKD dibatalkan. Purbaya tak menampik akan kembali menaikkan TKD pada 2026, asalkan kondisi perekonomian Indonesia membaik, serapan anggaran di daerahnya bagus, dan tidak dijadikan bancakan.
"Pastikan aja penyerapan anggaran bagus, tepat waktu, dan jangan bocor. Kalau itu terjadi maka tahun depan kita bisa propose ke atas dan ke DPR untuk menambah," ujarnya.
Kebijakan lain dari Purbaya adalah menunda kenaikan cukai rokok dan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) 0,5% bagi pedagang online atau e-commerce. Kebijakan PPh 0,5% itu diteken oleh Sri Mulyani dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 akan berlaku pada 14 Juli 2025 atau sejak diundangkan.
Dalam Pasal 8 ayat (1) PMK tersebut dijelaskan pelaku usaha akan dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari jumlah omzet bruto tahunan yang diperoleh. Adapun pajak tersebut bersifat terpisah dari kewajiban pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Pemungutan PPh Pasal 22 ini nantinya akan dilakukan oleh platform perdagangan daring yang tergolong sebagai penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), seperti Shopee, Tokopedia, dan platform lain yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Purbaya menunda pungutan tersebut sampai ekonomi Indonesia pulih dan pertumbuhannya sampai 6%. "Mungkin kami sudah akan recovery, tetapi belum recover fully, kan. let's say ekonomi tumbuh 6% atau lebih, baru saya pertimbangkan (pemungutan pajak e-commerce)," ujarnya, Kamis (9/10).
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMANDIRI), Hermawati Setyorinny menilai kebijakan penundaan PPh 0,05% juga tidak bisa dirasakan oleh pelaku usaha mikro, justru yang menikmati hanyalah pengusaha yang memiliki omset maksimal Rp4,8 miliar per tahunnya. Sementara pengusaha yang omsetnya belum sampai Rp2 miliar per tahun harus tetap membayar PPh. “Nah, (pelaku usaha mikro) butuh kebijakan misalnya pelaku usaha yang misalnya omsetnya sampai sekian itu dibebaskan gitu,” ujarnya kepada ThePhrase.id, Rabu (8/10).
Hermawati justru menyarankan agar Purbaya dapat menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% yang dianggap sangat memberatkan pelaku usaha mikro, terlebih di tengah lemahnya daya beli masyarakat. Menurutnya, PPN di Indonesia menjadi yang paling tinggi dibanding negara tetangga lainnya seperti Malaysia maupun Singapura. Besaran PPN di dua negara tersebut hanya 6-7%.
Hermawati mengungkapkan PPN 11% sangat tinggi, apalagi setiap belanja barang apapun tetap terkena pajak. “Kayaknya Pak Menteri (Menkeu) harus mengoreksi itu sih kalau berani gitu, supaya masyarakat itu berbondong-bondong beli. Karena pelaku usaha itu untuk bahan baku aja belinya di grosir misalnya. Begitu di grosir kan dia kena PPN juga,” ungkapnya.
Belum lagi, kata Hermawati, ada retribusi daerah yang harus dibayar setiap menjalankan usahanya hingga membayar ormas. “Aku belum dengar sih PPN diturunkan. Saya pengen sebenarnya PPN diturunkan supaya memicu daya beli masyarakat,” harapnya.
Menurutnya, apabila PPN diturunkan setidaknya menjadi 6%, perekonomian Indonesia akan menggeliat, sebab daya beli masyarakat terus meningkat. Tidak hanya warung kelontong, usaha di sektor yang lebih besar seperti ritel atau mal tidak akan sepi pembeli, karena ongkos produksi bisa ditekan dan harga barang-barang menjadi murah.
Di sisi lain, Syafruddin menilai penundaan PPh 0,05% memberi nafas segar bagi pedagang online di tengah marjin yang menipis dan biaya logistik yang masih fluktuatif. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menjaga arus kas, mempercepat perputaran stok, dan mendorong reinvestasi iklan, gudang kecil, dan layanan purna jual.
Namun, Syafruddin menyarankan agar penundaan pungutan PPh itu dikaitkan dengan komitmen formal dari pihak platform dan penjual, misalnya target onboarding NPWP, batas waktu penyusunan pembukuan sederhana, serta program literasi pajak digital sehingga kepatuhan meningkat.
“Dengan paket pendampingan pembiayaan modal kerja, ongkos kirim terukur di rute prioritas, dan perlindungan konsumen yang tegas, penundaan PPh final berubah menjadi katalis pertumbuhan ekosistem e-commerce tanpa menggerus basis pajak jangka menengah,” paparnya.
Sementara, Nailul Huda menilai kebijakan penundaan pungutan PPh 0,05% tidak berpengaruh terhadap kondisi perekonomian Indonesia. (Penulis: M Hafid dan Rangga BIjak Aditya)