ThePhrase.id - Sampah sayur-mayur rusak dan busuk bertumpuk di depan sebuah pasar di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bogor. Di sisi belakang pasar, tepat di Jalan Dr. Sumeru, sampah yang sebagian organik tak hanya bertumpuk, tetapi sudah menggunung. Tentu saja bau busuk menyeruak ke sekitarnya. Lingkungan sangat kotor dan menjijikkan. Apalagi kalau hujan turun, keadaan bisa tampak lebih kacau.
Wajah pasar yang demikian tidak hanya dapat disaksikan di Kota Bogor. Banyak sekali pasar-pasar tradisional di daerah lain yang memiliki tumpukan sampah organik yang busuk bercampur dengan berbagai jenis sampah plastik. Itulah sebabnya tiap kali menyebut “pasar tradisional” yang terbayang adalah kesan kotor, becek, bau, dan semrawut. Tapi memang seperti itulah wajah sebagian besar pasar tradisional di Indonesia.
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada sipsn.menlhk.go.id, timbulan sampah se-Indonesia yang tercatat dari 382 kota dan kabupaten adalah 41 juta ton sepanjang tahun 2023. Dari sebanyak itu sampah, hanya sekitar 60 persen sampah terkelola, sisanya sebanyak sekitar 16 juta ton sampah tidak terkelola. Jumlah di lapangan kemungkinan akan jauh lebih besar karena ada 132 kota dan kabupaten yang tidak melaporkan jumlah timbulan sampah di daerahnya.
Sampah-sampah tersebut berasal dari sampah rumah tangga, peniagaan, perkantoran, fasilitas publik, pasar, dan lainnya. Dari 41 juta ton sampah sebanyak sekitar 11,62 persen sampah berasal dari pasar. Jumlahnya bisa semakin besar karena data sampah dari banyak kota dan kabupaten belum tercatat, termasuk dari ibukota negara DKI Jakarta. Padahal pada tahun 2018 saja, tempo.co memberitakan bahwa jumlah sampah di pasar tradisional di DKI Jakarta mencapai 600 ton per hari atau 219 ribu ton sampah dalam setahun. Dari jumlah tersebut sebanyak 131,4 ribu ton sampah adalah sampah organik dan sampah plastik sekitar 87 ribu ton.
Bagaimana dengan data timbulan sampah di tahun sebelumnya yaitu 2022? Ternyata timbulan sampah di tahun 2022 sebanyak 38,48 juta ton. Sebanyak 38,89 persen atau 14,96 juta ton adalah sampah pasar.
Pertanyaannya apa yang bisa kita lakukan terhadap jutaan ton sampah itu? Bukankah sampah akan terus diproduksi selama manusia masih tinggal di bumi? Artinya setiap tahun akan ada jutaan ton sampah baru. Sudah seharusnya ada tindakan-tindakan nyata untuk memanfaatkan sampah menjadi produk yang lebih berguna bagi seluruh masyarakat di negeri ini.
Sebagian besar sampah pasar adalah sampah organik. Sampah tersebut berupa sayuran yang rusak dan busuk, potongan kayu, buah-buahan busuk, kertas, dan lainnya. Sampah organik banyak diolah menjadi produk yang dapat dimanfaatkan kembali.
Dalam artikel How Countries Around The World Tackle the Issue of Organic Waste yang dimuat dalam ecostar.eu.com pada 19 Juli 2019 disebutkan bahwa Prancis memberlakukan undang-undang untuk mengurangi jumlah sampah organik dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Negara tersebut juga mengharuskan pengusaha yang dapat menghasilkan uang Rp120 triliun per tahun untuk mendaur ulang sampah. Selain itu, supermarket dilarang membuang sisa makanan. Mereka harus menyumbangkan sampahnya, serta mengolah jadi kompos dan pakan ternak.
Italia juga memiliki peraturan yang hampir sama dengan Prancis. Negara ini mendorong perusahaan untuk menyumbangkan makanan yang tak terjual. Italia juga melakukan pengomposan sampah organik.
Untuk mengoptimalkan pengolahan limbah organik, berbagai negara telah menggunakan alat pemisah sampah organik dan plastik. Berbagai negara bahkan telah mengubah sampah organik menjadi energi. Negara-negara tersebut antara lain India, Amerika Serikat, Cina, Finlandia, Brazil, Italia, Denmark, Swedia, dan Norwegia.
Menurut artikel Kementerian Energi Baru dan Dapat Diperbaharui India dalam mnre.gov.in, negara tersebut telah menjalankan proyek pemulihan energi dengan menghasilkan biogas dan listrik dari limbah padat kota, limbah sayuran di area pertanian, limbah dari area pemotongan hewan, limbah pasar, dan lainnya.
Pada dasarnya semua limbah organik adalah senyawa berbasis karbon. Sampah jenis ini dapat dijadikan pembangkit energi. Teknologi yang digunakannya antara lain biometanasi, Insinerasi, dan gasifikasi.
Biometanasi merupakan proses mengolah bahan organik menjadi biogas. Bahan organik melalui proses fermentasi bakteri tanpa oksigen bebas. Proses ini menghasilkan metana sekitar 60 persen, karbon dioksida sekitar 40 persen, serta beberapa jenis gas dalam jumlah sangat sedikit. Biogas dari teknologi biometanasi bisa dibakar langsung untuk menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk memasak atau untuk industri aplikasi termal. Biogas tersebut bisa juga dibersihkan dari karbon dioksida dan zat lainnya menjadi BioCNG atau Bimethane Compressed Natural Gas. BioCNG dapat disuntikkan dalam jaringan gas untuk digunakan seperti gas alam. BioCNG bisa digunakan untuk rumah tangga dan bahan bakar kendaraan. 20-25 kg limbah organik dapat menghasilkan satu kubik biogas yang menghasilkan dua unit listrik dan 0,4 kilogram bioCNG.
Sementara itu Insinerasi adalah pembakaran limbah organik untuk menghasilkan uap. Uap disalurkan ke turbin uap untuk menghasilkan energi. Abu sisa pembakaran diolah menjadi bahan konstruksi. Teknologi lainnya adalah gasifikasi. Gasifikasi adalah proses untuk menghasilkan gas sintesis campuran dari karbon monoksida dan hidrogen menggunakan suhu tinggi (500-1800 derajat Celcius) dengan jumlah oksigen terbatas. Gas ini dapat digunakan untuk keperluan termal dan pembangkit listrik.
Kalau India dan berbagai negara lainnya telah berhasil mendaur ulang limbah organik menjadi energi, bagaimana dengan Indonesia?
Melihat jumlah sampah organik Indonesia yang sangat besar, negeri kita sangat memungkinkan untuk menghasilkan energi dari sampah organik. Energi yang dihasilkan dari limbah organik disebut energi bersih. Selain dari limbah organik, energi bersih juga bisa dihasilkan dari sinar matahari, angin, air, dan panas bumi. Produksi dan penggunaan energi bersih bermanfaat salah satunya untuk menjaga lingkungan untuk generasi di masa depan.
Indonesia sendiri telah secara khusus membuat program Pengolahan Sampah Energi Listrik dengan tujuan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Penyediaan energi, dan kebersihan lingkungan. Proyek PSEL ini juga sudah diatur dalam Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Mengutip Antaranews.com (16/9/23) ada 12 kota yang ditetapkan dalam Perpres No.35/2018 untuk menjalankan proyek PSEL/Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kota-kota tersebut antara lain DKI Jakarta, Denpasar, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makasar, Palembang, dan Kota Manado. Dari semua kota ada PLTSa yang beroperasi secara komersil, yaitu PLTSa Benowo di Surabaya. PLTSa tersebut berkapasitas 11 Megawatt menggunakan teknologi gasifikasi dan landfill gas.
Secara sederhana tahap pengolahan limbah organik menjadi energi di PLTSa adalah mengolah sampah menjadi gas metana, lalu gas metana dibakar untuk menghasilkan panas. Panas tersebut digunakan agar boiler dapat menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan memutar turbin pada generator sehingga menghasilkan listrik.
Melihat data sampah pasar di Indonesia, sampah organik dari pasar juga bisa digunakan untuk menghasilkan biogas dan bioCNG. Mengacu pada apa yang dilakukan India, jika kita gunakan data sampah dari pasar tradisional Indonesia tahun 2022 sebanyak 131,4 ribu ton merupakan sampah organik. Jika setiap 25 kg sampah organik menghasilkan satu kubik biogas dan 0,4 kg bioCNG, maka 131,4 ton sampah organik akan menghasilkan sekitar 5,256 juta biogas atau 2,102 juta kilogram BioCNG.
Ini Jumlah yang besar. Jika setiap rumah tangga berisi lima anggota keluarga membutuhkan gas sebanyak delapan kilogram dalam sebulan, maka BIoCNG yang dihasilkan dari sampah organik pasar tradisional di Indonesia bisa digunakan untuk 262.800 rumah tangga.
Selain di tingkat pemerintah, perhatian untuk mengolah sampah menjadi energi juga terjadi di masyarakat. Melansir thephrase.id, sejumlah mahasiswa dari jurusan Biologi, Universitas Indonesia meneliti sampah organik salada air untuk dijadikan sumber energi.
Keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan energi bersih dari sampah organik pasar sangat penting. Masyarakat perlu pengetahuan yang cukup bahwa sampah bisa diubah menjadi energi. Pengetahuan tersebut diharapkan bisa menimbulkan kesadaran. Salah satunya kesadaran untuk memisahkan sampah organik dan non-organik. Pekerjaan sederhana ini tentu akan memangkas biaya, waktu, dan tenaga dalam pengolahan sampah menjadi energi bersih.
Mari kita bayangkan, jika pengolahan sampah organik telah merata di berbagai daerah, tentu tidak akan ada lagi sampah bertumpuk termasuk di pasar-pasar tradisional Indonesia. Tidak ada lagi pasar kotor, bau, dan semrawut. Berkat energi bersih, lingkungan lebih bersih.***