ThePhrase.id - Salah satu sutradara muda Indonesia yang berhasil menarik perhatian pecinta film adalah Fajar Nugros melalui film-filmnya, seperti Cinta Brontosaurus, Bajaj Bajuri the Movie, Yowis Ben, dan film lain yang tak kalah menarik.
Fajar Nugroho yang kini lebih dikenal dengan nama Fajar Nugros merupakan pria kelahiran Yogyakarta, 29 Juli 1979. Fajar dibesarkan di perumahan pegawai PT Kereta Api Indonesia, hal ini membuatnya menjadi railfans atau penggila kereta api, hobi yang tetap ia lakoni hingga kini.
Awal mulanya terjun ke dunia film dimulai dari hobinya mengarang cerita, Fajar aktif mengirim cerita pendek karyanya ke surat kabar harian di Yogyakarta bernama Bernas. Tak hanya itu, ia juga aktif di lembaga pers agar dapat membuat cerita pendek dan cerita bersambung.
Fajar bahkan pernah bercita-cita ingin menjadi seorang wartawan hingga melamar ke sebuah surat kabar meski kemudian tidak lolos.
"Mungkin kalau dulu diterima, saya jadi wartawan. Seru jadi wartawan itu. Karena bisa ketemu banyak orang dan banyak bidang, terus ditulis jadi berita. Memang basicnya saya itu penulis sih," ungkap Fajar Nugros dilansir Jawa Pos Radar Solo.
Ketertarikan Fajar pada dunia film pertama kali muncul saat ia melihat film pendek karya Ifa Isfansyah. Setelah awalnya hanya hobi menonton film, ia akhirnya termotivasi menciptakan film pendek karyanya sendiri bertajuk Dilarang Mencium di Malam Minggu.
Ia mulai belajar lebih lanjut mengenai dunia film bersama komunitas film di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Fajar merupakan peraih beasiswa dari Indocs (Indonesian Documentary-nya Shanty Harmayn), film yang ia hasilkan juga kerap menjadi finalis dalam Eagle Award MetroTV dan IYCE British Council.
Merasa pengetahuannya mengenai dunia film kurang, Fajar kemudian terbang ke Jakarta dan belajar langsung dari sutradara kondang, Hanung Bramantyo. Dari Hanung Bramantyo yang merupakan kakak kelasnya, Fajar belajar mengenai tugas, teknis, dan kewajiban sebagai sutradara film.
Ilmu yang ia dapatkan ini langsung ia terapkan melalui berbagai film yang ia hasilkan, seperti Queen Bee (2009), film panjang layar lebar pertama Fajar. Sayangnya film ini kurang sukses di pasaran, yang membuat Fajar terguncang.
Ia kemudian kembali menjadi asisten Hanung untuk makin memperdalam pengetahuan sutradaranya. Fajar butuh waktu tiga tahun untuk kembali menjadi sutradara melalui film Cinta di Saku Celana (2012), film FTV yang akhirnya dipertimbangkan rilis di bioskop.
Melalui film ini berbagai tawaran film datang ke Fajar, namun ia mempertimbangkan tawaran-tawaran yang datang hingga akhirnya menyutradarai film Cinta Brontosaurus yang sebelumnya ia tolak tiga kali karena merasa kurang pede.
Film adaptasi dari novel milik Raditya Dika ini nyatanya sukses dan berhasil menghibur penonton melalui komedi-komedi yang dikemas apik dalam Cinta Brontosaurus. Melalui film ini, Fajar menganggap profesinya sebagai sutradara sangat indah.
Melalui film, Fajar berusaha menghasilkan karya film yang dapat menghibur dan menyampaikan pesan kepada para penonton. Ia makin aktif menyutradarai berbagai film, seperti Refrain (2013), Bajaj Bajuri The Movie (2014), Me & You vs The World (2014), dan Cinta Selamanya (2015).
Nama Fajar sebagai sutradara mulai dikenal publik melalui film drama-komedi bertajuk Yowis Ben (2018). Film ini disutradarai Fajar Nugros dan Bayu Skak dan menggabungkan penggunaan Bahasa Jawa dan Indonesia dalam percakapan filmnya.
Melalui film ini, Fajar berhasil membawa pulang penghargaan Film Remaja Bermuatan Kearifan Lokal dari Festival Film Bandung dan Film Bioskop Usia 13 tahun ke Atas dari Anugerah Lembaga Sensor Film. Kesuksesan film ini kemudian ia lanjutkan menjadi film seri dengan judul Yowis Ben 2, Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale.
Salah satu karya Fajar yang juga menarik perhatian adalah Srimulat: Hil yang Mustahal - Babak Pertama yang menceritakan kisah grup lawak legendaris, Srimulat. Film ini sukses membawa Fajar Nugros dinominasikan dalam Festival Film Wartawan Indonesia sebagai Sutradara Terbaik - Komedi dan puluhan nominasi lain.
Kecintaan Fajar dalam dunia film membawanya mendirikan rumah produksi bernama Demi Istri Production di tahun 2013. Rumah produksi ini kemudian diakuisisi oleh IDN Media, dan secara resmi menjadi IDN Pictures di tahun 2020 dengan Fajar sebagai Head of IDN Pictures.
Di tengah kesibukannya sebagai Sutradara, Fajar juga tidak melupakan hobinya menulis. Beberapa novelnya yang berhasil diadaptasi menjadi film adalah I Didn’t Lose My Heart, I Sold It on Ebay, Adriana dan Queen Bee.
Ia juga kerap menjadi scriptwriter untuk beberapa film karyanya, seperti 9 Summers 10 Autumns (2012), Jakarta Undercover (2017), Terbang (2018), Dignitate (2019), Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale (2020), dan Srimulat Hil Yang Mustahal (2021).
Bakatnya sebagai scriptwriter ini juga telah diakui oleh Piala Maya yang memberikan penghargaan Penulisan Skenario Adaptasi Terpilih di tahun 2013 untuk film 9 Summers 10 Autumns dan beberapa nominasi mentereng lainnya.
Karya Fajar yang tengah naik daun bertajuk Sleep Call yang merupakan film dengan genre psikologis. Film ini telah tayang di bioskop sejak 7 September 2023 dengan Laura Basuki dan Bio One sebagai pemeran utama. [fa]