trending

Fenomena Childfree, Berikut Pendapat Para Ahli

Penulis Regita Rahmanissa
Sep 01, 2021
Fenomena Childfree, Berikut Pendapat Para Ahli
ThePhrase.id – Fenomena Childfree tengah menjadi topik hangat yang ramai di bahas warga media sosial. Nyatanya, istilah Childfree sebenarnya telah dikenal dan diaplikasikan di sejumlah negara maju sejak akhir tahun 2000 an. Lalu, apasih pengertian Childfree yang kembali menghebohkan jagad maya ini?

Ilustrasi bayi. Foto: pixabay


Dikutip dari Oxford Dictionary, Childfree didefinisikan sebagai kondisi tidak memiliki anak. Sehingga, Childfree dapat diartikan sebagai keputusab, pilihan, atau prinsip dari masing-masing perorangan atau pasangan untuk tidak memiliki anak setelah menikah.

Melansir sehatq.com, pilihan untuk menganut prinsip Childfree dapat terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, salah satu pasangan mengalami kemandulan dan memutuskan untuk tidak memiliki maupun mengadopsi anak. Kedua, pilihan untuk tidak memiliki anak dapat diterapkan berdasarkan keputusan bersama dari kedua belah pihak pasangan, tanpa didasari suatu kondisi kesehatan tertentu.

Tri Rejeki Andayani, Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menyatakan terdapat beberapa faktor yang mendorong seorang atau pasangan untuk menerapkan prinsip Childfree, di antaranya faktor lingkungan, karir, kebebasan, keuangan, latar belakang keluarga, maupun faktor emosional.

“Seperti menjadi relawan, aktivitis lingkungan hidup, bekerja secara profesional, atau terlibat dalam kegiatan agama, sosial, maupun politik,” ujarnya dilansir dari laman resmi Universitas Sebelas Maret (1/7)

Ia menambahkan bahwa keputusan Childfree seringkali dipilih akibat adanya keraguan akan kemampuan untuk merawat dan mengasuh anak yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pasangan. Sehingga, pembekalan parenting di masa pra nikah dianggap penting untuk dilakukan.

“Sehingga calon ayah atau ibu memiliki keyakinan diri terhadap kompetensinya dalam merawat dan memberikan pengasuhan pada anak yang secara positif. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku pengasuhannya dan menunjang tumbuh kembang anak secara optimal,” sambungnya.

Prof. Bagong Suryanto, M.Si Guru Besar Sosiologi Unair. Foto: news.unair.ac.id


Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Bagong Suryanto memberi penjelasan jika dewasa ini, eksistensi dan kesuksesan perempuan tidak lagi diukur dari ranah domestik di masa lampau mengenai kemampuannya untuk melahirkan banyak anak, melainkan dari sektor publik seperti karir, prestasi, dan indikator lain yang mengikuti perkembangan zaman.

“Jadi, kalau sekarang muncul perempuan yang mengumumkan tidak ingin punya anak, itu adalah perkembangan baru. Sah-sah saja dilakukan. Hanya saja pada titik tertentu nantinya, saya yakin kerinduan untuk punya anak akan muncul,” urainya.

Professor Bagong menambahkan, prinsip Childfree pada dasarnya telah diterapkan dan dianggap wajar di luar negeri karena merupakan hak privat dan otonomi individu. Hanya saja, istilah tersebut justru menimbulkan stigma negatif di Indonesia sebab penduduk Indonesia lebih menghargai hak kelompok. Ia juga menyatakan bahwa keputusan seorang perempuan untuk tidak memiliki anak sebagian besar karena sudut pandang bahwa kehadiran anak dapat menjadi rintangan tersendiri.

“Saya yakin childfree adalah sikap sebagian kecil perempuan. Sebagai hak pribadi, boleh-boleh saja mereka memilih seperti itu dan masyarakat tidak perlu merespons secara serius. Kalau dibilang alasan childfree adalah karena masih banyak anak yang terlantar atau tidak ingin menambah populasi di bumi, saya rasa itu rasionalisasi dan bukan alasan sesungguhnya,” tandasnya. [re]

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic