ThePhrase.id - Tudingan dan kecaman kepada Presiden Joko Widodo belum juga surut setelah anak tertuanya, Gibran Rakabuming Raka lolos sebagai Bakal Calon Wakil Presiden berkat keputusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh iparnya, Anwar Usman. Di bawah Anwar Usman, Mahkamah Konstitusi telah menjadi Mahkamah Keluarga yang memberikan karpet merah kepada keponakannya, Gibran yang masih belum cukup umur untuk maju menjadi Calon Wakil Presiden.
"MK mengalami kesakitan yang serius. Bahwa MK telah betul-betul menjadi Mahkamah Keluarga yang membuka ruang kepada anak Jokowi bisa berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilu," kata Feri Amsari. Pakar Hukum Tata Negara.
Jokowi mengambil semua resiko untuk mengorbitkan anaknya masuk dalam pusaran kekuasaan. Dia mengabaikan semua kritikan dan kecaman terhadap perilaku nepotismenya yang akan merusak demokrasi, demi mendapatkan kekuasaan tetap dalam genggamannya.
Status Gibran sebagai kader PDI Perjuangan ditarik dan dimasukkan ke dalam Partai Golkar sebagai kader pindahan. Golkar yang notabene anggota koalisi Indonesia Maju (KIM) menerima tanpa reserve bahkan memberi mandat kepada Gibran sebagai Cawapres melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada Sabtu 21 Oktober 2023. Sebuah keputusan yang banyak menimbulkan pertanyaan, apakah Golkar benar-benar tersandera atau itu taktik sengaja agar Anak Banteng berpisah dari induknya.
Demi anak dan keluarganya Jokowi menutup telinga dari suara-suara yang menyebutnya sebagai anak durhaka yang telah berkhianat kepada partai yang telah mengangkat harkat dan martabat politiknya.
Sastrawan politik Erros Djarot menyebut Jokowi sebagai anak yang tak bisa berterima kasih melalui tulisannya yang berjudul ‘Yang Ji Bian Niao’, sebuah pepatah dari China yang bermakna memelihara anak ayam, sudah besar jadi burung, dan burung itu terbang meninggalkan kandang.
“Dia tidak seperti anak macam yang menerkam, tetapi lebih tepat seperti burung perkasa yang meninggalkan kadang dan berselingkuh dengan burung lainnya,” kata Eros dalam tulisannya itu.
Ditinggalkan oleh Jokowi yang terbang meninggalkan kandang, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkit privilege yang selama ini diberikan PDIP kepada Joko Widodo dan keluarga.
“Pencalonan Gibran sebagai cawapres di kubu lawan, adalah disobedience terhadap konstitutusi,” kata Hasto, Senin, (30/10)
Setidaknya, kata Hasto, PDIP telah lima kali mengusung Joko Widodo di kancah pemerintahan. Mulai dari dua kali sebagai Wali Kota Surakarta, satu kali sebagai Gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode sebagai Presiden RI.
Tak sampai di situ, PDIP juga mengusung putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo pada 2021. Begitu juga dengan menantu Joko Widodo, Bobby Nasution yang diusung PDIP maju sebagai Wali Kota Medan, Sumatera Utara.
Besarnya jasa PDI Perjuangan terhadap Jokowi dan keluarganya membuat Politisi PDIP, Aria Bima tak ikhlas jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
"Saya tidak ikhlas. Saya tidak ikhlas kalau Pak Jokowi dan Mas Gibran mendukung Prabowo," kata Aria ketika ditemui di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta, Jumat (20/10).
Sikap partisan-nepotisme Jokowi yang dapat merusak demokrasi dan melanggar kepatutan etis politik membuat para pendukung dan kelompok “die hard”nya bereaksi ikut mengecam. Mereka mengaku kecewa dengan Jokowi yang membuat kesalahan fatal di ujung jabatannya.
Gunawan Muhammad, sastrawan politik yang juga pendiri majalah Tempo mengungkapkan kekecewaannya dalam satu tulisan panjang yang beredar luas di media sosial. Gunawan yang menyebut dirinya pendukung aktif Jokowi itu mengaku kecewa dan sedih. Pencalonan Gibran sebagai Cawapres itu sebagai pelecehan dan penghianatan terhadap rada keadilan.
“Demokrasi dimulai dengan sangka baik — tentang yang memilih dan yang dipilih —dan mengandung kepercayaan kepada sesama. Kini sangka baik itu retak, mungkin rusak parah, karena orang yang kita percayai ternyata culas,” tulis Gunawan.
Pendukung berat Jokowi dari kalangan seniman, Butet Kartarajasa berkirim surat langsung kepada Jokowi mengungkapkan kecewanya. Dalam suratnya Butet menyampaikan pandangannya tentang terlalu dininya Gibran Rakabuming Raka ditunjuk sebagai cawapres. Butet juga menyinggung soal potensi mempermainkan institusi negara jika Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.
"Ini perangkat demokrasi nasional, diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa, tapi diintervensi, disalahgunakan dengan kekuatan kekuasaan," kata Butet Kartaredjasa di kanal youtube Najwa Shihab.
Pendukung garis keras Jokowi lainnya, Deny Siregar bahkan tidak hanya mengungkapkan rasa kecewanya tetapi juga mengecam tindakan Jokowi yang memberikan keistimewaan anaknya untuk maju sebagai cawapres. Denny yang mengaku sebagai pecinta Jokowi yang telah turun ke jalan membela Jokowi selama dua periode mengatakan muak dengan perilaku haus kekuasaan yang ditunjukkan Jokowi.
"Seharusnya Pak Jokowi gelisah saat namanya ditarik-tarik di Mahkamah Konstitusi [MK]. Kenapa Pak Jokowi tidak melarang anaknya yang belum cukup umur sesuai konstitusi untuk tidak ikut Pilpres 2024 ini?" ujar Denny Siregar pada salah satu videonya.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh pendukung militan Jokowi lainnya, seperti Rudy Kamri, Eko Kuntadhi, Ade Armando, Abu Janda dan nama-nama “social media army” lainnya. Mereka ini telah berperan penting menjaga Jokowi di media sosial dan flatform digital lain. Tapi kini ramai-ramai meninggalkan Jokowi dengan berbalik menyerang dan mengecam Jokowi.
Jokowi memilih menutup mata dan telinga terhadap semua kritik, tudingan dan kecaman yang diarahkan kepadanya karena keputusan dan sikap politiknya. Dia juga memilih meninggalkan partai yang telah mengangkat harkat dan martabat politiknya selama ini. Juga para pendukung dan pembelanya yang telah membelanya mati-matian selama dua periode ini.
Jokowi tampaknya yakin dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang telah diinisiasinya dapat menjadi tempat berlindung baru. Sebuah keyakinan yang harus diuji, karena soliditas dan daya tahan koalisi itu belum teruji. Karena dalam koalisi itu ada partai yang bergabung karena tersandera dan ada yang menjadi anggota koalisi itu sebagai pelarian setelah patah hati dengan koalisi lamanya. Wallahu’alam. (Aswan AS)