features

Gas Air Mata Tidak Mematikan Tetapi Memicu Kepanikan

Penulis Aswan AS
Oct 12, 2022
Gas Air Mata Tidak Mematikan Tetapi Memicu Kepanikan
ThePhrase.id - Gas air mata menjadi perbincangan hangat lagi pasca tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, (01/10/2022) yang menewaskan 131 orang usai laga Arema FC VS Persebaya Surabaya. Alat yang digunakan polisi untuk membubarkan massa itu dinilai menjadi pemicu banyaknya korban.

Ilustrasi Gas Air Mata. (Foto: SCMP)


Kesaksian sejumlah korban selamat menyebutkan korban meninggal sebagian besar adalah mereka yang ada di tribun atas yang panik setelah polisi menembakkan gas air mata. Sebanyak 33 anak-anak yang ada di tempat itu meninggal karena terinjak oleh massa yang berebut keluar pintu.

Polemik kembali terjadi setelah polisi mengeluarkan pernyataan bahwa gas air mata tidak mematikan dengan alasan tidak ada jurnal dan penjelasan ilmiah yang menjelaskan jika alat pengendali massa itu dapat menyebabkan kematian.

“Dari penjelasan para ahli, dokter spesialis yang menangani para korban baik yang meninggal dunia maupun luka, tidak ada satu pun yang menyebutkan penyebab kematian adalah gas air mata. Tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi berdesak-desakan, kemudian terinjak-injak yang menyebabkan kekurangan oksigen pada pintu 13, 11, 14 dan 3. Ini yang jatuh korbannya cukup banyak,” kata Irjen. Pol. Dedi Prasetyo, Kadiv Humas Polri, Senin (10/10/2022).

Namun Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan gas air mata bisa berdampak fatal bahkan kematian dalam kondisi tertentu . Gas air mata juga berdampak terhadap orang yang memiliki masalah dengan parunya seperti asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

Agus menambahkan, kondisi berbahaya dapat muncul saat gas air mata terhirup dengan konsentrasi tinggi dan dalam ruangan padat atau pada ruangan berventilasi buruk.

“Risiko kematian dilaporkan terjadi pada beberapa kasus akibat terjadinya gagal pernapasan dan respiratory distress,” kata Agus Dwi Susanto, seperti yang dikutip Tempo.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengatakan dampak gas air mata pada seseorang tergantung pada dosis gas air mata yang terkena Selain itu, faktor lainnya adalah kepekaan seseorang terhadap bahan di gas air mata itu seperti kepekaan karena penyakit dan tergantung tempat terjadinya paparan di ruang tertutup atau ruang terbuka.

Pasukan polisi dituduh menembakkan gas air mata ke arah tribun pada peristiwa kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022). (GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)


“Adapun dampak akan tergantung dari jenis dan beratnya komorbid, berapa banyak gas air mata yang terhirup, berapa lama terhirupnya dan lain-lain,” katanya.

Resiko Fatal Karena Kepanikan

Pengalaman penulis di beberapa daerah bencana (disaster) dan kerusuhan (riot) menjelaskan bahwa korban makin bertambah karena ada kepanikan yang dipicu oleh insiden atau peristwa utama. Panik itu membuat orang tidak bisa berfikir jernih dan bertindak secara spontan menghindari bahaya yang di depan mata.

Seperti di kasus gempa Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei 2006. Saat goncangan terjadi penulis sedang berada di stasiun Tugu, Yogyakarta. Penulis mencatat sebagian korban meninggal dan luka-luka dalam persitiwa itu akibat panik setelah bumi dan rumah bergetar selama 57 detik.

Warga banyak yang bergegas naik sepeda motor berdesakan bersama keluarganya menuju ke utara mencari tempat yang lebih tinggi karena takut ada tsunami. Jalan layang Janti dan Lempuyangan penuh oleh warga setelah mereka mendengar ada orang yang berkeliling sambil berteriak, air,,air,,,! Banyak korban jatuh karena kecelakan lalu lintas rebutan jalan. Ada juga yang jatuh karena reflek melompat dari jendela lantai 2.

“Anda tahu dari mana kalau gempa ini tidak akan terjadi tsunami sampai ke Yogya,” kata seorang laki-laki paruh baya ketike penulis meminta mereka untuk segera pulang ke rumah yang mereka tinggalkan tanpa terkunci. Warga itu baru mau pulang setelah penulis menceritakan pengalaman penulis meliput gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, atau 2 tahun sebelum gempa Yogyakarta itu.

Maka jika melihat dari jurnal atau pengalaman langsung di lapangan, pernyataan polisi yang mengatakan gas air mata bukan penyebab utama sesorang meninggal ada benarnya dengan catatan ada syarat dan kondisi tertentu. Namun dalam kasus massa berkerumunan seperti dii Stadion Kanjuruhan itu, gas air mata itu memicu kepanikan yang tak terkendali yang membuat fatal dan bertambahnya jumlah korban. (Aswan AS)

Tags Terkait

 
Related News

Popular News

 

News Topic