ThePhrase.id – Di tengah maraknya isu penundaan Pemilu 2024, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan sebuah big data yang menemukan bahwa media sosial terdapat 110 juta masyarakat Indonesia yang mendukung penundaan Pemilu 2024.
Menanggapi perihal tersebut, dosen program studi Teknologi Sains Data UNAIR, Muhammad Noor Fakhruzzaman menekankan bahwa berhati-hati dalam menggunakan data dari media sosial untuk pengambilan keputusan yang sifatnya strategis merupakan suatu hal yang sangat penting.
“Data yang diperoleh dari media sosial lebih berisiko digunakan dalam pengambilan keputusan yang sifatnya general,” ungkap Ruzza seperti yang dikutip dari Unair News.
Dosen program studi Teknologi Sains Data UNAIR, Mohammad Noor Fakhruzzaman Skom MSc (Foto: dok. UNAIR)
Reza mengatakan bahwa hal itu disebabkan karena data yang sifatnya kualitatif, validitas (data dari media sosial, red) tidak bisa diuji dengan penghitungan statistik kuantitatif.
Ia mencontohkannya dengan media sosial Twiter. Pada media sosial tersebut, validitas data tidak dapat dihitung secara kuantitatif karena tidak memiliki item alat ukur. Selain itu, Twitter juga mempunyai data yang berbentuk kualitatif, sehingga satu-satunya cara untuk menganalisis datanya, lanjutnya, harus mengecek setiap akun dari aspek kredibilitas, integritas, dan akuntabilitasnya.
“Hal ini mengingat data Twitter merupakan percakapan dinamis yang maknanya sulit dikuantifikasi. Saya yakin hal tersebut akan sangat sulit dilakukan karena memang media sosial dilindungi aspek anonimitas,” jelas Ruzza.
Kendati demikian, Ruzza menjelaskan bahwa dalam computational communication atau komunikasi komputasi, data yang berasal dari media sosial dapat dijadikan bahan riset. Dan hal tersebut diiringi dengan asumsi bahwa akun media sosial tidak merepresentasikan individu yang sesungguhnya.
Ilustrasi media sosial (Foto: Forbes)
“Satu akun itu bukan berarti bisa dianggap (milik, red) satu orang sehingga tidak bisa serta-merta digeneralisir bahwa konklusi dari media sosial itu merepresentasikan dunia nyata,” tegasnya.
Reza menyimpulkan bahwa kemungkinan-kemungkinan dalam dunia media sosial, seperti pembuatan akun duplikat serta kesengajaan untuk mengutilisasi pasukan bot guna menggiring opini tertentu memang ada. Oleh karena itu, untuk menghadapi hal tersebut diperlukan pemberlakuan random sampling (pengambilan sampel secara acak) yang berimbang di kedua spektrum diskursus dalam sebuah analisis data.
“Terkait dengan isu terkini, sebaiknya lebih hati hati dalam membuat klaim. Khususnya jika hanya menggunakan jargon-jargon populer yang kebenarannya belum tentu terbukti,” tandas Reza. [hc]