
ThePhrase.id - Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi (AMPK) mengadukan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani ke Bareskrim Polri soal dugaan ijazah palsu program doktoral.
"Kami dari Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi hari ini mendatangi Bareskrim Mabes Polri dalam rangka untuk melaporkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi berinisial AS yang diduga memiliki atau menggunakan ijazah palsu," kata Koordinator AMPK Betran Sulani di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (14/11).
Menurut Betran, integritas dan gelar doktor dianggap menjadi syarat utama bagi hakim MK. Dengan begitu, Arsul Sani dianggap mencederai konstitusi karena diduga menggunakan ijazah palsu untuk meraih jabatannya.
"Apabila salah satu hakim yang kemudian memiliki ijazah palsu atau menggunakan ijazah palsu untuk mendapatkan jabatan sebagai hakim MK, maka ini adalah salah satu bentuk ataupun tindakan yang mencederai konstitusi itu sendiri," ucapnya.
Betran mengaku memiliki sejumlah bukti berupa pemberitaan terkait dugaan ijazah palsu tersebut. Bukti yang dimiliki itu sudah diserahkan ke pihak berwajib.
"Bukti yang kami dapatkan atau yang kami terima, salah satunya itu adalah pemberitaan, pemberitaan terkait dengan penyelidikan salah satu Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di Polandia yang coba untuk melakukan pemeriksaan terkait dengan legalitas kampus, yang mana kampus tersebut itu merupakan kampus yang di mana salah satu hakim berkuliah mendapatkan titel S3 di tahun 2023," imbuhnya.
Sementara itu, Arsul Sani memilih irit bicara usai dilaporkan. Dia hanya menyebut kasusnya sudah ditangani Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
"Sebagai hakim saya terikat kode etik untuk tidak berpolemik. Kan soal ini juga ditangani MKMK," ucapnya.
Kepala Biro Humas dan Protokoler MK, Pan Mohamad Fais Kusuma Wijaya mengatakan, akan menelusuri adanya informasi tersebut.
"Apabila saat ini muncul pertanyaan baru yang dikaitkan dengan kode etik dan perilaku hakim konstitusi, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tentu akan menindaklanjutinya dengan melakukan penelusuran informasi secara cermat," kata Fais, Senin (17/11).
Fais juga menyampaikan bahwa pada dasarnya proses verifikasi sudah dilakukan oleh DPR pada tahap pencalonan hakim dengan mengacu pada ketentuan dan prosedur yang berlaku. DPR menyatakan persyaratan administrasi Arsul Sani sudah terpenuhi.
Kendati begitu, pihaknya akan tetap menindaklanjuti dengan meminta keterangan Arsul Sani.
"Dalam hal ini, Hakim Konstitusi Arsul Sani sangat bersedia untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya kepada MKMK, termasuk menyampaikan bukti-bukti pendukung yang diperlukan," tuturnya.
Di sisi lain, anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Golkar Soedeson Tandra, mendorong agar Arsul Sani memberi penjelasan terbuka kepada masyarakat ihwal informasi tersebut.
Menurutnya, Arsul Sani sebagai hakim MK punya kewajiban moral untuk bersikap transparan dalam menanggapi isu tersebut.
"Jadi beliau harus jelaskan beliau punya tanggung jawab moral, tanggung jawab etik sebagai pejabat publik yang harus terbuka. Sebenarnya persoalan ini gampang kok, misalnya kalau orang tanya saya, ya sudah you pergi aja ke UGM, tanya kan ada," kata Tandra, Minggu (16/11).
Baginya, DPR khususnya Komisi III sebagai pihak yang memverifikasi administrasi saat pencalonan hakim, tidak bisa membuka data pihak terkait karena menghormati asas praduga tak bersalah dan menghindari anggapan politisir.
"Gini loh, bagaimana kita DPR bisa membuka, kita kan ndak boleh dong, praduga bersalah itu nggak boleh kita, ya kan," bebernya.
"Akhirnya kepolisian dong ya kan, pelapornya ada dugaan begitu, beliau datang klarifikasi, ya toh. Kalau lembaga DPR nanti takut dipolitisir lagi ya kan," imbuhnya. (M Hafid)