
ThePhrase.id - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Indonesia Coruuption Watch (ICW) dan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melaporkan 43 anggota Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan pemerasan.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah menyampaikan bahwa dugaan pemerasan itu mencapai Rp26,2 miliar dalam rentang 2022-2025.
Menurutnya, dugaan pemerasan itu terbagi ke dalam empat kasus, pertama, kasus pembunuhan. Kedua, kasus terkait dengan penyelenggaraan konser DPW. Ketiga, pemerasan yang dilakukan di daerah Semarang, Jawa Tengah.
"Ketiga, pemerasan yang dilakukan di daerah Semarang, Jawa Tengah, yang melibatkan anggota kepolisian dan korbannya adalah remaja. Terakhir, kasus pemerasan terkait dengan jual beli jam tangan," kata Wana di halaman Gedung Merah Putih KPK, Selasa (23/12).
Wana mengungkapkan Kasus dugaan pemerasan oleh 43 anggota Polri itu sudah disidangkan di Komisi Kode Etik Prpfesi Polri (KKEP) dan sudah menerima hukuman berupa demosi terhadap 37 orang dan 6 orang lainnya dipecat.
"Ironisnya, tidak ada satupun yang dikenakan tindak pidana pemerasan," ujarnya.
Pemberhentian penanganan perkara hanya pada sanksi etik, kata Wana, itu menunjukkan absennya akuntabilitas pidana. Selain itu, terdapat standar ganda dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang menyeret anggota kepolisian.
Secara yuridis, perbuatan pemerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian termasuk tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
Alhasil, tidak ada dasar hukum apa pun untuk membatasi pertanggungjawaban hanya berhenti pada sanksi etik dari internal institusinya. Dengan begitu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak KPK untuk mengusut dugaan pemerasan itu.
"Pembiaran terhadap perkara pemerasan oleh anggota kepolisian merupakan bentuk pengingkaran mandat hukum yang secara langsung melekat pada KPK," ucapnya.
Sejauh ini, KPK dinilai belum bertindak untuk menindaklanjuti perkara tersebut ke ranah pidana. Langkah itu dianggap telah memperkuat impunitas struktural dan menunjukkan adanya pilih kasih dalam penegakan hukum. Polisi lebih kebal hukum dibanding warga sipil yang dengan mudah diproses pidana dalam perbuatan serupa.
Lebih parahnya lagi, kata Wana, institusi tempat pelaku bernaung terkesan memberi perlindungan, bahkan memberi promosi jabatan usai disanksi etik.
"Praktik ini menunjukkan bahwa sanksi etik tidak hanya gagal memberikan efek jera, tetapi juga berpotensi menjadi mekanisme normalisasi korupsi di tubuh aparat penegak hukum," bebernya.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menanggapi laporan yang dilayangkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Dia menyebut pihaknya akan melakukan telaah, verifikasi, dan analisis terhadap laporan melalui Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK itu.
"Akan dilakukan telaah awal, apakah informasi yang disampaikan tersebut valid, nanti akan dicek validitasnya seperti apa. Dan setelah dilakukan telaah, nanti masih ada proses verifikasi, analisis, dan seterusnya," kata Budi kepada wartawan, Selasa (23/12).
Budi mangatakan pihaknya belum dapat menyampaikan proses penanganan pelaporan kepada publik, melainkan hanya pihak pelapor.
"namun sebagai bentuk akuntabilitas kinerja KPK, maka kami hanya bisa menyampaikan kepada pihak pelapor saja," paparnya.
Dia menjelaskan bahwa laporan yang diproses oleh Direktorat PLPM KPK berpotensi naik ke tahap penyelidikan, penyidikan, hingga ditangani oleh Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK.
Setelah masuk tahap penyidikan, 43 anggota Polri yang dilaporkan berpotensi ditetapkan sebagai tersangka. Dengan begitu, informasi mengenai perkara tersebut dapat dibuka kepada publik.
“Apakah nanti masuk ke ranah penindakan, apakah pencegahan, pendidikan, atau koordinasi supervisi. Nanti bergantung dengan materi yang disampaikan tersebut,” tandasnya. (M Hafid)