
ThePhrase.id – Nama Herawati Sudoyo mungkin jarang terdengar, tapi kiprahnya di bidang sains dan forensik di Indonesia tidak bisa diremehkan. Perempuan kelahiran Kediri, 2 November 1951 ini dikenal sebagai salah satu pionir genetika forensik dan ilmuwan biologi molekuler ternama di Indonesia.
Melansir The Lancet, Herawati merupakan ahli biologi molekuler yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, memimpinlaboratorium DNA forensik pertama di Indonesia, yang telah menjadi ilmuwan senior di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) sejak tahun 2022.
Perjalanan Herawati di dunia sains dimulai dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada 1977, ia meraih gelar Sarjana Kedokteran sebelum melanjutkan studi magister di program Pascasarjana UI dan lulus dengan gelar Magister Biomedis pada 1985.
Ketertarikannya pada biokimia kemudian membawanya menempuh program doktoral di Monash University, Australia, dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang Biokimia pada 1990.
Selepas kembali ke Indonesia, Herawati langsung mengabdikan diri sebagai staf pengajar Fakultas Kedokteran UI pada 1978. Dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan membawanya mendirikan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada 1993.

Lembaga ini kemudian berkembang menjadi sebuah pusat penelitian genetika dan biologi molekuler terkemuka di Indonesia. Di Lembaga ini, Herawati dipercaya memimpin Unit Identifikasi DNA Forensik di Lembaga Eijkman sejak tahun 2004 hingga 2021.
Di bawah kepemimpinannya, unit tersebut menangani berbagai investigasi penting, termasuk kasus-kasus terorisme yang memerlukan akurasi identifikasi yang tinggi. Selain itu, Herawati aktif berbagi pengetahuannya sebagai pengajar di berbagai kampus, mulai dari PTIK hingga Universitas Hasanuddin, dan Universitas Diponegoro.
Salah satu momen penting dalam kariernya adalah saat ia mengembangkan metode teknik analisis DNA. Hal ini terjadi setelah ledakan bom Kedutaan Besar Australia tahun 2004, di mana tubuh pelaku hancur total sehingga identifikasi konvensional seperti sidik jari dan gigi mustahil dilakukan.
Bersama tim gabungan Eijkman dan Pusdokkes Polri, Herawati mengembangkan metode identifikasi berbasis DNA yang kemudian dikenal sebagai Disaster Perpetrator Identification (DPI) untuk melengkapi metode DVI (Disaster Victim Identification) yang selama ini digunakan untuk korban bencana.
Selain di ranah forensik, Herawati juga mendalami penelitian mengenai populasi manusia. Melalui penelitiannya tersebut, ia menemukan bahwa adanya hubungan genetik kuat antara penduduk Indonesia dan Madagaskar.
Penelitian yang dimulai pada 2005 tersebut melibatkan ribuan sampel DNA dari 12 pulau di Indonesia dan 226 sampel dari tiga kelompok etnik Madagaskar. Melalui penelitian ini, Herawati berhasil memperkuat teori bahwa leluhur warga Madagaskar berasal dari kepulauan Indonesia.

Rekam jejaknya di dunia DNA tak terbatas pada penelitian, Herawati juga aktif di berbagai organisasi ilmiah internasional, menjadi founding member Asia Pacific Society of Human Genetics (APSHG), duduk di dewan penasihat Indonesian Society of Human Genetics (InaSHG) dan Indonesian Genomic Association (AGI), serta menjadi pendiri sekaligus presiden pertama Indonesian Biorisk Association.
Selain itu, ia pernah mewakili Indonesia dalam forum global terkait biosecurity dan dual-use research, termasuk United Nations Biological Weapons Convention (BWC) di Jenewa pada 2008–2015 dan berbagai workshop di ASEAN. Bahkan Herawati juga menjadi konsultan WHO untuk isu Dual Use Research of Concern pada 2020.
Prestasi dan penghargaan yang ia raih pun panjang. Wikipedia mencatat sederet penghargaannya, mulai dari Toray Foundation Research Award (1991–1992), Third World Academy of Science Award (1992), hingga Riset Unggulan Terpadu (1993–1996).
Pada 2007, ia menerima Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian, disusul Habibie Award pada tahun 2008 atas kontribusinya dalam membangun dasar pemeriksaan DNA forensik di Indonesia.
Tahun yang sama, ia memperoleh Australian Alumni Award of Scientific and Research Innovation hingga dinobatkan sebagai Cendekiawan Berdedikasi Kompas pada 2019. MRIN menambahkan bahwa Herawati juga memperoleh US CDC Honor Award 2016 serta penghargaan Australian Alumni of the Year 2020.
Di luar segala pencapaian ilmiahnya, Herawati juga vokal dalam memperjuangkan ruang bagi perempuan di bidang STEM. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut bahwa Herawati merupakan pribadi yang aktif mendorong lebih banyak perempuan berkarier di sains dan teknologi. [fa]