ThePhrase.id – Salah satu podcast Deddy Corbuzier yang menampilkan pasangan homoseksual Ragil dan Fred yang telah menikah menghebohkan netizen Indonesia. Podcast ini disebut mencari pembenaran dan mempromosikan hubungan sesama jenis.
Dalam podcast ini, Ragil menyebut bahwa ia telah menemukan jati dirinya yang merupakan seorang pecinta sesama jenis atau homeseksual.
Bagaimana jati diri dan homoseksual ini dapat dikaitkan?
Dosen Psikologis Unair Atika Dian Ariana menyebut bahwa pencarian jati diri tentu tidak lepas dari faktor psikologis yang membedakan antara identitas seksual dan orientasi seksual. Identitas seksual seseorang pada dasarnya merupakan bagian dari konsep bagaimana mereka menganggap diri mereka dalam hal seksual (laki-laki atau perempuan).
Lambang LGBT (Foto: canva)
Sedangkan orientasi seksual mengacu pada ketertarikan kepada peran seksual yang dituju baik secara romantis, emosional, maupun fisik. Pada kasus Ragil dan Fred merupakan ketertarikan kepada sesama jenis kelamin disebut homoseksual.
Orientasi seksual ini memiliki banyak sekali bentuk lainnya dengan dua bentuk yang paling populer, yaitu homoseksual dan heteroseksual.
Lebih lanjut, Ariana menyebut meski homoseksual bisa muncul karena faktor psikologis namun, terdapat faktor lain yang komprehensif yaitu, faktor biologis.
Faktor ini umumnya terjadi pada masa perkembangan dari fase anak menuju remaja hingga dewasa yang lebih dominan ke arah menyukai sesama jenis kelamin.
Orientasi seksual sendiri secara psikologis tidak terjadi secara mendadak, Atika menyebut bahwa sebenarnya hal ini akan sesuai dengan perkembangan seseorang dan biasanya diawali pada masa pubertas.
“Cuma, persoalannya kadang-kadang di masa remaja itu seseorang tidak langsung menyadari identitas seksual dan orientasi seksualnya. Kadang-kadang untuk beberapa orang perlu pengalaman seksual atau berperilaku seksual dulu untuk kemudian menyadari bahwa mereka ini tidak seperti yang kebanyakan orang di sekitarnya lakukan,” jelasnya.
Faktor Lingkungan
Ragil dan Fred dalam podcast Deddy Corbuzier (Foto: instagram/ragilmahardika)
Selain faktor psikologis dan biologis, Atika menyebut bahwa homoseksual bisa terjadi karena faktor sosial atau lingkungan.
Ragil sempat menyebut bahwa orientasi seksual bisa berpindah-pindah, hal ini menurut Ariana kurang tepat. Menurutnya, hal ini merupakan kesadaran orientasi dan identitas seksual seseorang yang baru saja dapat diidentifikasi oleh dirinya.
“Artinya, individu yang tidak spesifik terkadang menyukai sesama jenis terkadang menyukai lain jenis. Seperti inilah seseorang sebenarnya identitasnya itu berkembang ketika remaja, ia sudah punya pandangan saya ini apa? peran jenisnya apa? Kemudian orientasi seksualnya juga sudah mulai semakin tampak,” tuturnya.
Saat terdapat keraguan dalam diri, faktor sosial budaya berperan penting. Apabila seseorang tinggal dalam lingkungan atau komunitas yang memiliki orientasi seksual sama dengan yang ia rasakan, maka seseorang tersebut akan merasakan dukungan dan penerimaan akan keadaannya begitu juga sebaliknya.
“Bila seseorang yang memiliki orientasi seksual yang atipikal atau berbeda dari kebanyakan tapi kemudian dia berada di komunitas yang tidak memberikan dukungan atau bahkan menolak, bisa jadi ini yang kemudian menimbulkan konflik,” ungkapnya.
Lingkungan juga dapat menjadi faktor pendukung, seperti ketika seseorang memilih berhubungan dengan sesama jenis karena memang budaya, komunitas ataupun circle yang ia tinggali merupakan orang-orang homoseksual.
“Seperti halnya konsep diri sangat berkembang sejalan dengan bagaimana dia berinteraksi dengan lingkungan. Ápakah ada penguatan, ada penolakan, itu mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri,” tambah Ariana.
Selain menjaga lingkungan dengan baik agar terbebas dari lingkungan homoseksual, masyarakat juga perlu mempertimbangkan faktor protektif yang memberi lingkungan yang sehat terhadap anak terutama mengenai perkembangan seksual anak.
“Karena kalau tidak, mereka (anak-anak, Red) mungkin akan mengakses informasi dari sumber yang kurang kredibel. Bahkan mungkin menjerumuskan ke komunitas yang berbeda dari yang kita harapkan,” tegasnya.
Ariana juga menyarankan agar orang tua menjadi teman diskusi anak khususnya mengenai identitas gender dan orientasi seksual mereka. Orang tua tidak perlu menutupi dan menganggap pendidikan seksual tabu dan tidak penting untuk ditanyakan. Pertanyaan sederhana anak merupakan proses pengenalan konsep seksualitas anak.
“Pertanyaan mengenai konsep dirinya bukan hanya dalam hal seksual sebenarnya berkaitan dengan banyak hal. Soal identitas itu penting untuk kemudian didiskusikan bersama,” ungkapnya.
Podcast mengenai Ragil dan Fred juga seharusnya dijadikan konten edukasi yang membicarakan fenomena dalam masyarakat, bukan merupakan promosi LGBT. Masyarakat perlu mempertimbangkan budaya di daerah tertentu yang berbeda dengan Indonesia dan menganggap LGBT bukanlah hal yang perlu untuk dipermasalahkan
“Karena, ada pepatah mengatakan ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Sebaiknya ketika membuat acara atau program yang kemudian disiarkan ke media sosial dan dilihat jutaan orang di Indonesia, perlu mempertimbangkan faktor budaya ini,” tandas Atika. [fa]