ThePhrase.id – Menyesuaikan dengan perkembangan teknologi terkini, pemerintah Arab Saudi dan Imam Besar Masjidil Haram, Syeikh Abdurrahman Sudais akan menghadirkan ibadah haji virtual di Metaverse bernama “Virtual Hacerulesved”.
Guna mewujudkan rencana tersebut, pemerintah Arab Saudi bahkan telah bekerja sama dengan Universitas Umm Al-Qura serta Administrasi Urusan Pameran dan Museum Arab Saudi untuk pembuatan teknologi Virtual Reality (VR) yang akan dibutuhkan saat mengakses Metaverse.
Tak hanya akan menyajikan penampakan Ka’bah, nantinya umat Islam dari seluruh dunia juga bisa mengunjungi berbagai macam tempat bersejarah di Mekah, sama seperti aktivitas yang biasa dilakukan oleh umat Islam ketika sedang menunaikan ibadah haji di dunia nyata.
Namun, menurut beberapa lembaga keagamaan di berbagai negara di dunia seperti Lembaga Presidensi Urusan Keagamaan Turki (Diyanet), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, dan sebagainya, inovasi tersebut justru dianggap bertentangan dengan syarat sah ibadah haji.
"Orang-orang beriman dapat mengunjungi Ka'bah di Metaverse, tetapi itu tidak akan pernah dianggap sebagai ibadah yang nyata," ujar direktur Departemen Layanan Haji dan Umrah Diyanet, Remzi Bircan.
Menurutnya, haji tidak sah jika dilakukan secara virtual, sebab ketika melakukan ibadah haji, umat Muslim harus melakukan aktivitas yang dilakukan secara fisik seperti tawaf (kegiatan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali putaran) yang menyentuh lantai Mekah secara langsung.
Ilustrasi haji virtual di Metaverse (Foto: awoum.com)
Katib PBNU KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan bahwa ibadah haji virtual tidak sah dikarenakan hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
"Haji dan Umrah tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual, atau dilaksanakan dengan cara mengelilingi Gambar Ka'bah, atau replika Ka'bah. Sebab Haji itu merupakan ibadah mahdlah, besifat dogmatik, yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi SAW," KH Asrorun Niam Sholeh yang juga Ketua Bidang Fatwa MUI.
Ia menambahkan, kunjungan ke Ka’bah secara virtual bisa dioptimalkan untuk explore dan mengenali lebih dekat, dengan 5 dimensi, agar ada pengetahuan yang utuh dan memadai sebelum pelaksanaan ibadah.
“Teknologi yang mendorong pemudahan, tapi pada saat yang sama harus faham, tidak semua aktifitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi," tandasnya.
Hal serupa disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah Islamiah, KH Cholil Nafis. Menurutnya pelaksanaan haji di Metaverse merupakan khayalan semata yang bersifat fiksi (tidak nyata).
Ilustrasi tawaf mengelilingi Ka’bah di Mekah (Foto: Bacaan Madani)
"Ibadah mahdhah (murni) tidak dapat dipindahkan ke dunia fiksi. Maka haji dan shalat tidak sah dilakukan secara virtual di metaverse. Ibadah haji selamanya bersifat tetap tidak mengalami perubahan tempat dan waktunya," ujar KH Cholil Nafis.
Kendati demikian, MUI mengatakan bahwa inovasi teknologi juga sebenarnya memang bisa dimanfaatkan untuk membantu umat Muslim melakukan ibadah, namun hal tersebut harus memperhatikan persyaratan yang ada dalam agama.
Seperti misalnya, Metaverse bisa dijadikan sebagai fasilitas untuk latihan manasik haji atau umrah agar umat Muslim dapat lebih mengenal berbagai macam lokasi yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah, namun umat Muslim tidak bisa melakukan ibadah haji atau umrah melalui Metaverse. [hc]