ThePhrase.id - Kasus ijazah palsu Jokowi, telah menjadi puncak kisah ijazah palsu di negeri ini. Kasus ini dapat menjadi pembuka jalan untuk mengusut kasus penggunan ijazah palsu dalam transaksi sosial politik di negeri ini. Jual beli ijazah bukan hal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi iklannya dapat dengan mudah ditemukan di jejaring digital.
Sikap publik yang terbelah tentang ijazah palsu ini, seperti memberi 2 pilihan kepada pemimpin negeri, membangun negeri ini dengan nilai kejujuran dan keluhuran atau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Melalui kasus ijazah palsunya, Jokowi telah mengajarkan bahwa ijazah palsu itu bukan masalah hukum dan moralitas tetapi masalah politik. Maka, selama masih ada celah untuk berkelit, maka selalu ada peluang untuk memenangkan permainan. Sekalipun sudah banyak fakta yang membuktikan ijazah itu palsu, namun hal itu tidak akan mematikan langkah dan mengakhiri permainan, selama aparat yang memproses fakta itu masih bisa dikendalikan. Caranya dengan memberi mereka jabatan strategis atau kasus hukum sebagai alat kendali untuk mengerjakan apa yang dikehendaki.
Bila Jokowi itu seorang yang taat hukum, maka dia tidak akan memaksakan Gibran anaknya untuk ikut sebagai kontestan Pilpres 2024 lalu. Sesuai aturan, Gibran sejatinya tidak bisa memasuki pintu arena Pilpres untuk ikut bertanding. Namun, Jokowi menyuruh iparnya, Anwar Usman merobohkan pagar aturan untuk membuat pintu bagi Gibran masuk dalam arena. Soal Gibran punya ijazah atau tidak, bukan hal rumit karena Jokowi sudah berpengalaman mendapatkan ijazah Fakultas Kehutanan UGM, dengan merubah gelarnya dari Doktorandus ketika di Solo menjadi Insinyur menjelang ikut Pilkada Jakarta 2012 lalu.
Mendapatkan selembar ijazah atau surat tanda tamat belajar hari ini tidak harus sekolah atau kuliah selama bertahun-tahun. Jasa pembuatan ijazah tersebar luas dan diiklankan secara terang-terangan. Tinggal googling dengan keyword jual beli ijazah asli, maka akan keluar banyak website dan flatform digital yang menyediakan jasa pembuatan ijazah yang diklaim asli dari berbagai perguruan tinggi dan strata. Harganya pun sudah tertera dengan jaminan dapat dicek di data lembaga pendidikan yang bersangkutan dan data kementerian pendidikan tinggi.
Maka tak heran, kalau tiba-tiba ada politisi atau tokoh tertentu bergelar doktor atau professor di depan namanya tanpa terdengar dia pernah kuliah dengan karya ilmiahnya sebagai seorang akademisi. Atau ada orang yang bergelar akademik tinggi tetapi kualitas dan kapasitas dirinya yang tidak mencerminkan gelarnya itu. Karena memang untuk mendapatkan gelar itu sangat mudah, cukup dengan sejumlah uang tanpa harus capek mengikuti proses pendidikan dan mengerjakan tugas-tugas akademik lainnya.
Praktek jual beli ijazah bukan hal baru dan sudah berlangsung lama. Tahun 2015 lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mendapati 18 perguruan tinggi yang melakukan transaksi jual-beli ijazah palsu. Tahun 2009, isu jual-beli ijazah ini sudah menyeruak dan mengalami eskalasi biasaya pada waktu menjelang pemilu. Karena mereka yang ikut mendaftar sebagai caleg atau calon kepala daerah harus menyertakan dokumen atau ijazahnya. Dan gelar ini pun menjadi daya jual tersendiri ketika berkampanye menggaet pemilih.
Dosen Sosiologi Universitas Nasional, Sigit Rochadi, pernah menyebut dua faktor yang menyebabkan maraknya transaksi jual beli ijazah ini. "Pertama, karena faktor prestise, di mana seseorang yang menyandang gelar maka status sosialnya akan naik di masyarakat," ungkapnya dikutif Okezone, Senin (18/5/2015).
Faktor kedua, yakni lokasi dari perguruan tinggi sendiri yang berada di daerah. Perguruan-perguruan tinggi tersebut biasanya tidak mampu lagi merekrut calon-calon mahasiswanya, sehingga, menjalankan transaksi jual-beli ijazah palsu. Banyaknya jabatan yang menjadikan gelar sebagai syarat membuat sejumlah orang nekat untuk meraih gelar dengan jalan instan.
Dengan memiliki suatu gelar tertentu, ujar Sigit, seseorang bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu tanpa bersusah payah melalui proses pendidikan. "Dengan status sosialnya yang naik, maka ia bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu. Dan, kebutuhan untuk memenuhi gelar semakin ramai karena untuk memenuhi syarat-syarat tersebut," kata Sigit menambahkan.
Naiknya prestise dan status sosial ini, membuat pemesan ijazah palsu mengabaikan ancaman hukuman pemalsuan ijazah.
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa siapapun yang terbukti menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesional, dan/atau vokasi palsu dapat dikenai hukuman pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda hingga Rp500 juta.
Selain itu, pada pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menyatakan bahwa siapapun yang dengan sengaja membuat atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, menciptakan suatu perjanjian atau kewajiban, membebaskan utang, atau digunakan sebagai alat bukti atas suatu tindakan, dengan maksud untuk menggunakan atau membuat orang lain menggunakannya seolah-olah surat tersebut asli dan tidak palsu, maka jika penggunaan surat tersebut menyebabkan kerugian, pelaku dapat dijerat dengan tindak pidana pemalsuan surat. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama enam tahun.
Jaminan akan keaslian ijazah yang dikeluarkan oleh para penjual ijazah ini membuat para pemesan merasa aman dan nyaman. Seperti yang ada dalam link https://citradokumenidn.com, jaminan itu meliputi Kertas ASLI, Cek data PDDIKTI, Cek SIVIL, Surat Keterangan Lulus, Legalisir Ijazah, Transkrip Nilai, Dokumen Pendamping Ijazah, Map Ijazah serta Foto Wisuda. Pemegang ijazah itu pun percaya diri dengan ijazah yang dipegang itu, karena ada jaminan asli dari penjualnya. Dari fakta ini, bisa dipahami, sikap Jokowi yang berani menantang para penuduh ijazah palsunya.
Namun, berbeda dengan mereka yang menjunjung tinggi nilai moral sebagai seorang akademisi seperti Rismon Hasiholan Sianipar, Roy Suryo atau dr. Tifauziah Tiassuma. Ijazah bukan hanya selembar kertas semata tetapi dokumen yang menjadi bukti perjalanan sebagai seorang akademisi dengan nilai-nilai moral melekat yang harus dijunjung tinggi. Ijazah itu tidak hanya referensi keterampilan dan skill pemegangnya, tetapi juga ada kewajiban dan tanggung jawab yang dijaga.
Maka, bagi mereka, memalsukan ijazah itu bukan hanya melanggar hukum tetapi juga berkhianat terhadap nilai yang melekat pada dokumen tersebut. Karena itu, bila ada fakta yang menunjukkan adanya ijazah palsu maka harus diusut dengan segala cara sampai ditemukan bukti valid bahwa dokumen itu asli atau palsu. Apalagi jika penggunaan ijazah palsu itu ada unsur merugikan pihak lain. Terlebih-lebih jika kerugian itu dalam skala besar, seperti satu negara bila ijazah palsu itu dilakukan oleh seorang presiden atau kepala negara. Karena di balik ijazah palsu ada pelanggaran hukum, pengkhianatan terhadap moralitas yang menginjak nilai kejujuran, kebaikan dan keadilan.
Terpulang kepada pemimpin saat ini, mau kemana membawa perjalanan pembangunan negeri ini. Membangunnya dengan kebohongan dan pengkhianatan atau dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral seperti yang telah diajarkan para pendiri bangsa ini. Terserah, yang pasti sejarah mencatat, tidak ada peradaban yang bertahan lama yang dibangun di atas pondasi kebohongan. Dan kehancuran sebuah negara bermula dari kerusakan moral para pemimpinnya. (Aswan AS)