e-biz

Indonesia Terancam Defisit USD 80 Miliar Jika Tak Segera Beralih ke Energi Terbarukan

Penulis Haifa C
Oct 03, 2021
Indonesia Terancam Defisit USD 80 Miliar Jika Tak Segera Beralih ke Energi Terbarukan
ThePhrase.id – Pada Jumat (24/9/2021) lalu, ahli ekonomi Institute for Development and Finance (INDEF), Faisal Basri menegaskan bahwa Indonesia harus segera beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

Dalam webinar bertajuk ‘Economic Impact of Deep Decarbonization’, Faisal mengungkapkan bahwa peralihan ini harus segera dilaksanakan karena Indonesia bisa terancam mengalami defisit energi hingga sebesar 80 milliar dolar Amerika pada tahun 2040.

“Kalau kita tidak segera melakukan dekarbonisasi maka tahun 2040 kita akan defisit energi sebesar USD 80 miliar. Karena kita lebih banyak mengimpor daripada ekspor energi. Itu terjadi karena kebutuhan kita akan naik luar biasa. Oleh karena itu kita butuh rencana jangka panjang makro ekonomi dengan cara dekarbonisasi lebih cepat,” ujar Faisal.

Menurut Faisal, pengembangan EBT dapat mempercepat dekarbonisasi sektor energi serta menghindari potensi defisit energi dan ancaman krisis energi di masa depan.  Namun sayangnya, pemerintah masih menjadikan bahan bakar fosil sebagai prioritas, bahkan masih memberikan subsidi APBN hingga ratusan triliun rupiah untuk energi fosil, sehingga Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar tak terbarukan tersebut.

Ahli ekonomi Institute for Development and Finance (INDEF), Faisal Basri (Dok: jawapos.com)


"Dari ratusan triliun rupiah yang disubsidikan untuk energi fosil melalui APBN, tak sampai triliunan rupiah untuk pengembangan EBT," katanya.

Apalagi menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia hanya menempati peringkat ke-6 pada skor indeks transisi energi. Bahkan jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, transisi energi Indonesia masih tergolong  tertinggal.

Selain itu, Faisal yang juga merupakan salah satu anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) ini menjelaskan, bahwa jika upaya peralihan ke EBT dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil tidak segera dilakukan, maka impor energi kotor akan terus meningkat, sehingga dapat menyebabkan polusi udara semakin memburuk.

"Kita bisa bayangkan kalau tidak terjadi dekarbonisasi maka fuel energy yang digunakan tambahannya akan sangat besar, barangkali di seluruh Indonesia nanti ada kabut di sepanjang hari. Bukan kabut seperti di puncak, tapi polusi," ucapnya.

Ilustrasi dekarbonisasi (Foto: TribunJabar)


Oleh sebab itu, ahli ekonomi ini mendorong Indonesia agar tidak terjebak dalam perangkap defisit energi di masa depan, padahal potensi sumber EBT yang dapat dimanfaatkan dalam negeri ini terhitung cukup besar.

“Jadi kita harus sadar, kita bukan dipaksa dunia internasional tapi ini kesadaran bahwa inilah jalan terbaik dan kalau komitmennya sudah ada maka jalan itu akan selalu ada," imbuh Faisal.

Sementara itu, Founder and CEO Council on Energy, Environment, and Water (CEEW), Arunabha Ghosh menambahkan bahwa tidak hanya mendukung ekonomi saat ini, dekarbonisasi juga dapat memajukan ekonomi di masa yang akan datang, sehingga lapangan kerja baru pun bisa tercipta.

"Ini adalah bukan saja transisi energi, tapi revolusi energi. EBT dalam skala besar lebih banyak lapangan kerja. ada jutaan lapangan kerja yang diciptakan oleh EBT. Bukan hanya infrastruktur kalau kita melihat ada dua ribu lapangan kerja untuk produksi hidrogen ramah lingkungan," terangnya. [hc]

 

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic