
ThePhrase.id - Gubernur Aceh Muzakir Manaf, yang dikenal dengan sapaan Mualem lahir pada 3 April 1964 di Gampong Mane Kawan, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. Dalam perjalanan hidupnya, ia sempat mencoba mendaftar sebagai anggota TNI namun tidak berhasil.
Ia kemudian bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menapaki peran penting hingga dipercaya menjadi Panglima Komando Pusat setelah pemimpin sebelumnya gugur.
Pasca penandatanganan Perjanjian Helsinki pada 2005, Muzakir Manaf meninggalkan perjuangan bersenjata dan beralih ke jalur politik. Ia turut mendirikan Partai Aceh pada 2007 dan menjabat sebagai ketua umum partai tersebut.
Karier politiknya berlanjut ketika ia dipercaya menjadi Wakil Gubernur Aceh pada periode 2012–2017.
Pada Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2024, Muzakir Manaf kembali maju sebagai calon gubernur bersama Fadhlullah atau Dek Fadh sebagai wakilnya. Pasangan ini memenangkan kontestasi dan resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025–2030 pada 12 Februari 2025 dalam sidang paripurna istimewa DPRA.
Julukan “Mualem” yang melekat padanya mencerminkan perjalanan panjang dari masa konflik, menuju perdamaian, hingga kini memimpin pemerintahan Aceh, dengan harapan mampu membawa perspektif baru bagi pembangunan daerah.
Dalam kariernya sebagai Gubernur Aceh, ia pernah dengan tegas menolak terkait penetapan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil untuk masuk ke wilayah Provinsi Sumatra Utara (Sumut).
Muzakir menegaskan bahwa keempat pulau itu sejak lama merupakan bagian dari wilayah Aceh. Ia menekankan bahwa Pemerintah Aceh memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan klaim atas pulau-pulau tersebut.
"Empat pulau itu sebenarnya adalah kewenangan Aceh, jadi kami punya alasan kuat, punya bukti kuat, punya data kuat, sejak dahulu kala itu memang punya Aceh," ujar Manaf di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Lebih lanjut, Muzakir menjelaskan bahwa aspek sejarah menjadi salah satu landasan utama dalam penolakan tersebut. Menurutnya, keempat pulau itu tidak hanya memiliki keterkaitan administratif, tetapi juga erat dengan batas wilayah Aceh secara historis dan geografis.
"Itu memang hak Aceh. Jadi saya rasa itu memang betul-betul Aceh, dia sudah punya segi sejarah, perbatasan iklim, jadi tidak perlu, itu saja, itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu," tegas Muzakir. (Rangga)