ThePhrase.id - Beberapa waktu belakangan ini, istilah Food Estate menjadi sorotan masyarakat setelah diungkit oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut satu, Muhaimin Iskandar, dan cawapres nomor urut tiga, Mahfud MD, dalam debat keempat pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) 2024.
Kedua cawapres tersebut menilai bahwa Food Estate adalah proyek yang gagal. Muhaimin Iskandar menganggap bahwa proyek tersebut telah terbukti mengabaikan petani, meninggalkan masyarakat, menimbulkan konflik agraria, dan merusak lingkungan. Senada, Mahfud MD juga menyebut Food Estate sebagai program yang gagal dan merusak lingkungan. Ia berpendapat bahwa program semacam ini dapat merugikan negara.
Lantas, apa yang dimaksud dengan Food Estate yang dianggap gagal dan merusak lingkungan tersebut?
Food Estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 di bawah kendali Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ini adalah konsep pengembangan pangan terintegrasi yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan. Awalnya, kebijakan Food Estate dibentuk sebagai respons terhadap situasi krisis pangan pasca Pandemi Covid-19.
Dengan anggaran sebesar Rp235,46 miliar, program ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan berkualitas bagi masyarakat, serta meningkatkan produksi dalam negeri. Produksi melibatkan berbagai komoditas seperti padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging, gula, jeruk, kelapa, dan lain-lain.
Food Estate diharapkan dapat menciptakan lumbung pangan baru di luar Pulau Jawa. Lokasi yang sedang dikembangkan atau direncanakan oleh Pemerintah antara lain Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Hingga April 2022, area pertanian terpadu dalam program Food Estate mencakup lahan sawah dan kebun produktif seluas 30.000 ha di Kalimantan Tengah, 5.000 ha di Sumba Tengah NTT, dan 215 ha di Humbang Hasundutan (Humbahas) Sumatra Utara.
Di tahun 2024, program ini direncanakan untuk diperluas hingga 60.000 ha di Kalimantan Tengah, dengan lokasi perluasan di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisang.
Meskipun tujuan program ini positif, program Food Estate di Indonesia mendapatkan banyak kritik, terutama terkait dengan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi. Salah satu kritik utama adalah terkait deforestasi yang terjadi akibat pembukaan lahan baru untuk pertanian, terutama di wilayah hutan atau lahan gambut. Deforestasi ini dinilai dapat mengancam keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Dari segi sosial, program ini menuai kontroversi terutama dalam hal hak masyarakat adat. Pembangunan Food Estate di beberapa wilayah melibatkan penggunaan tanah yang secara tradisional merupakan tanah adat masyarakat lokal. Hal ini menimbulkan konflik dan kekhawatiran serius terhadap hak tanah dan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat.
Aspek manajemen program juga mendapat sorotan, dengan beberapa pihak mengkritik kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana serta pelibatan pihak swasta. Kritik juga terfokus pada perencanaan dan implementasi program yang dinilai kurang mempertimbangkan kondisi lokal dan keberlanjutan, meninggalkan risiko ketidakberlanjutan jangka panjang. Selain itu, ada kekhawatiran terkait dengan ketergantungan ekonomi pada satu jenis komoditas tertentu, seperti kelapa sawit, yang dapat meningkatkan risiko ekonomi jika harga atau permintaan dunia berubah. [nadira]