
ThePhrase.id - Posisi Gibran sebagai Wakil Presiden adalah alasan utama Jokowi untuk cawe-cawe dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebab Gibran adalah pewaris politik dinasti yang akan melanjutkan hasrat Jokowi untuk tetap eksis di jagat politik tanah air. Karenanya, Jokowi perlu kekuatan politik untuk menyangga kursi Gibran agar tetap kokoh di posisinya. Namun, karena tidak memiliki partai politik Jokowi menggunakan sayap relawan untuk menopang kursi putra sulungnya itu.
Itulah sebabnya, banyak bermunculan relawan yang membela dan pasang badan setiap kali kepentingan Jokowi dan keluarganya terganggu. Tidak hanya membela, para relawan ini juga kerap melakukan serangan kepada pihak yang berseberangan dengan Jokowi. Mereka hadir silih berganti dengan nama dan rupa yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Relawan ini sudah muncul sejak awal Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden tahun 2014 lalu, seperti Projo (Pro Jokowi), Alap-alap Jokowi, Pasbata (Pasukan Bawah Tanah Jokowi).
Tahun 2023, tercatat ada 32 kelompok relawan yang melakukan Ikrar Setia Tegak Lurus di hadapan Jokowi. Di antara 32 nama relawan itu ada beberapa nama yang sudah cukup populer muncul sebagai die hard Jokowi, seperti Solmet (Solidaritas Merah Putih), BARA JP (barisan rakyat pro Jokowi), Sedulur Jokowi, Samawi (solidaritas ulama muda Jokowi) dan lain-lain. Kelompok relawan ini berperilaku seperti partai politik yang menjaga dan membela kepentingan Jokowi. Jokowi pun intens berhubungan dengan relawannya meskipun pemilu atau kontestasi politik sudah selesai.
Lazimnya, para relawan politik adalah kelompok ad hoc yang melakukan kegiatan politik seperti penggalangan massa, penggalangan dana, dan penggalangan isu. Begitu pemilu usai para relawan ini membubarkan diri dan kembali pada komunitas atau profesinya masing-masing. Namun tidak dengan relawan Jokowi yang terus bertahan sepanjang Jokowi berkuasa yang menyebabkan munculnya friksi atau perpecahan di masyarakat. Para relawan Jokowi bertindak sebagai watch dog dan menjadi partai politik bayangan yang mengawal semua langkah dan kepentingan Jokowi.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah pernah mengkritik sikap Jokowi yang terus menghidupkan relawannya itu setelah terpilih jadi presiden. Jokowi, kata Dedi, selaku presiden tak perlu melibatkan diri dengan kegiatan relawan.
"Sudah waktunya Presiden memisahkan diri dari relawan sejak terpilih, dan tidak melibatkan diri pada aktifitas relawan. Itu seharusnya aktivitas yang cukup dilakukan kader partai, bukan Presiden," ujar Dedi kepada Kompas.com, Selasa (6/12/2022).
Dedi menambahkan, secara etika politik, presiden seharusnya tidak memiliki relawan. Apalagi sampai memberikan restu keberadaan relawan. "Ikut terlibat dalam kegiatan relawan secara berulang. Itu jelas anomali. Penanda Jokowi tidak memahami posisinya sebagai Presiden," kata Dedi.
Dedi menilai sikap Jokowi itu sangat memprihatinkan dan menjadi kemunduran etika kepala negara terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Di masa lalu, kata Dedi ketika menjadi Presiden ke-2 RI, Soeharto tidak instens bersama Golkar, meskipun Soeharto ketika itu diketahui menguasai Golkar di masanya. Soeharto pun tidak berkampanye saat masih berstatus sebagai Presiden RI.
Dedy mengungkapkan, dengan membawa nama besar Jokowi, para relawan ini tidak terbukti efektif bagi pemilih. "Dalam catatan IPO pada bulan November, hanya 19 persen publik yang akan ikuti pilihan Jokowi. Artinya, relawan hanya soal industri politik, orientasinya ekonomi, bukan perjuangan politik," ujar Dedi.
Oleh karena itu, menurut Dedi, tidak mengherankan jika akhirnya banyak faksi muncul di kalangan relawan. Karena setiap kelompok akan mencari keuntungan dan kepentingan sendiri-sendiri.
Pengamat politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menyoroti keberadaan relawan Jokowi yang hingga kini masih melakukan berbagai aksi dan kegiatannya. Menurut Kunto, relawan Jokowi seharusnya sudah membubarkan diri ketika Jokowi telah memenangkan pilpres dan pemilu telah berakhir.
“Problemnya adalah biasanya relawan-relawan ini bubar setelah pemilu. Karena terpilih atau kalah, ya selesai. Di Indonesia problemnya ini, (keberadaan) relawan (adalah) baru. Tapi kemudian relawan ini tidak membubarkan diri. Harusnya relawan ini ya sudah selesai,” kata Kunto di Jakarta, Ahad (4/12/2022).
Kunto menduga, keberadaan para relawan ini memberikan zona nyaman bagi Jokowi. Ada simbiosis mutualisme yang tercipta dari keberadaan para relawan hingga saat ini. “Makanya kami bilang zona nyaman, jangan-jangan ada simbiosis mutualisme di sini. Pak Jokowi merasa dinyamankan oleh relawan karena relawan tetap ada, yang seharusnya ga ada,” ujarnya.
Kunto menilai, Jokowi memiliki peluang untuk menjadi seorang negarawan. Sebab seorang negarawan lahir karena adanya berbagai krisis. Namun sayangnya, kata Kunto, berbagai tindakan dan kebijakan yang diputuskan oleh Jokowi justru bertentangan dengan publik, yang membuat peluang sebagai negarawan itu hilang.
Relawan Untuk Gibran
Hubungan simbiosis Jokowi dengan para relawannya membuat relawan Jokowi tetap awet sampai hari ini, setelah Jokowi tidak menjadi presiden lagi. Jokowi perlu back up zona nyamannya sekaligus penyangga politik dinastinya. Di sisi lain, para relawan pun perlu Jokowi untuk menopang kepentingan ekonomi dan politiknya. Jokowi diyakini masih memiliki sumber daya besar untuk membiayai para relawan dari hasil berkuasa selama 10 tahun.
Itulah sebabnya, relawan ini memiliki posisi sangat penting di lingkungan Geng Solo atau Kubu Jokowi. Makanya, begitu Ketua ProJo, Budi Arie Setiadi dipecat dari jabatannya sebagai Menteri Koperasi, Kabinet Merah Putih, membuat kubu Jokowi bergoncang hebat. Goncangan itu bertambah keras dengan isu penggantian Kapolri, Jenderal Listyo Sigit. Listyo selama ini disebut penyangga utama kekuasaan Jokowi, yang membuat Korp Bhayangkara digelar sebagai parcok atau partai coklat karena bertindak dan berperilaku seperti partai politik dalam membela Jokowi dan keluarganya.
Sejak dipecat dari PDI Perjuangan, Jokowi sudah tidak lagi memiliki backbone politik yang kuat. Upayanya untuk masuk dalam partai besar seperti Golkar tidak pernah berhasil. Sementara PSI yang berhasil diakuisisi masih sangat lemah untuk mengampu beban politik dan cita-cita politik keluarga Jokowi. Makanya, para relawanlah yang berperan seperti partai politik untuk memenuhi hasrat politik Jokowi. Termasuk menjaga Gibran, anaknya agar tidak terdepak dari kursinya di istana. Para relawan itu dimasukan ke dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dengan menduduki posisi menteri dan jabatan strategis lainnya.
Namun kini, Prabowo sudah mencopot satu-satu para relawan dan orang kepercayaan Jokowi di dalam pemerintahannya. Di sisi lain, beberapa menteri era Jokowi pun sedang menjalani proses hukum terkait dugaaan tindak pidana korupsi yang akan menyita fokus dan perhatian Jokowi. Karena diduga, kasus yang menyeret para menterinya itu disebut ada hubungannya dengan Jokowi dan keluarganya, seperti kasus kuota haji di Kementerian Agama, pengadaan laptop di Kementerian Pendidkan Riset dan Teknologi, judi online di Kominfo dan lain-lain.
Pemecatan relawan dan orang kepercayaan Jokowi ini sangat besar dampaknya terhadap posisi Gibran sebagai Wakil Presiden. Apalagi desakan pemakzulan Gibran makin intensif yang sudah merangsek pada persoalan pendidikan yang menyebut Gibran tidak memiliki ijazah SMA atau sederajat. Undang-undang mensyaratkan seorang presiden dan wakil presiden berpendidikan paling rendah SMA atau sederajat. Maka, jika terbukti Gibran tidak memiliki ijazah SMA, dengan sendirinya Gibran harus lengser dari jabatan wakil presiden. (Aswan AS)