ThePhrase.id - Pada seratus hari pertama pemerintahnnya, langkah politik dan gaya bicara Prabowo sudah memicu kontroversi dan tanda tanya. Sanjungannya kepada Jokowi pada ulang tahun Partai Gerindra telah mematahkan penilaian Prabowo akan meninggalkan presiden ke-7 Indonesia itu. Demikian juga kebijakan tentang efisiensi pun menjadi paradoks dengan pengangkatan sejumlah stafsus di Kabinet Merah Putih. Termasuk juga program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang banyak ditolak dan dinilai hanya sekadar memenuhi janji kampanye yang tidak berdampak pada peningkatan gizi anak.
Prabowo pun dinilai sedang memainkan jurus dewa mabuk yang tak mudah dibaca ke mana sasaran pukulan diarahkan. Namun, dalam waktu yang sama, langkah dewa mabuk itu juga bisa diartikan dengan keadaan yang sesungguhnya karena Pemerintahan Prabowo susah berjalan tegak karena kuatnya tekanan di tengah cekak dan minimnya anggaran.
Maka pujian Prabowo kepada Jokowi pada Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-17 Partai Gerindra, di Sentul Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025), telah membelah penilaian. Pertama Prabowo dinilai sedang menerapkan strategi rangkul pukul kepada lawan politiknya, dan kedua, Prabowo sudah tak bisa melepaskan diri dari Jokowi karena berhutang budi dan power Jokowi yang masih memegang kendali dan simpul kekuatan ekonomi di negeri ini.
"Dan saya katakan di sini kita berhasil karena kita didukung oleh presiden ke-7. Tepuk tangannya kurang semangat. Semangat lagi," ucap Prabowo di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025). Di depan ribuan kader Gerindra, Prabowo pun meneriakkan kata "hidup Jokowi" yang direspons dengan nyanyian para kader Gerindra yang menyanyikan lirik "terima kasih Bapak Jokowi, terima kasih Bapak Jokowi".
Dengan melontarkan sanjungan kepada Jokowi, Prabowo seolah ingin menunjukkan bahwa anggapan dia akan meninggalkan Jokowi itu, tidak benar. Prabowo mengabaikan sikap publik yang mengkritiknya kerap memuji dan menyebut Jokowi sebagai guru politiknya. Padahal Jokowi sudah menyandang predikat sebagai koruptor kelas dunia yang telah membuat banyak kerusakan di negara ini selama dia berkuasa. Prabowo melontarkan kata “ndasmu” kepada para pengkritiknya.
"Nanti saya dibilang dikendalikan Pak Jokowi, cawe-cawe... ndasmu," kata Prabowo berbisik yang disambut tawa kader Gerindra.
Peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Teuku Harza Mauludi, menilai sikap resisten Prabowo ini muncul karena dia tidak terbiasa menerima kritikan, adanya dukungan partai yang besar, dan tingkat kepuasan publik yang diklaim tinggi.
Kebijakan Prabowo tentang efisiensi pun dinilai paradoks. Meskipun banyak menuai pujian karena relevan dengan keuangan negara yang sedang sulit, namun kebijakan ini menyebabkan sejumlah instansi dan lembaga pemerintah mengurangi tenaga honorer di lingkungannya. Pengurangan honorer ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada mutu layanan kepada masyarakat. Seperti yang terjadi di Pemkab Jember di mana sejumlah pos penjagaan perlintasan kereta api sempat kosong karena pos itu selama ini dijaga tenaga honorer Pemkab Jember melalui Dinas Perhubungan (Dishub). Pengurangan tenaga honorer ini juga berarti kehilangan pekerjaan bagi pegawai yang bersangkutan yang akan berpengaruh pada ekonomi keluarganya.
Efisiensi ini dinilai akan berpengaruh pada kualitas pendidikan dasar dan menengah yang anggarannya dipangkas sebesar Rp8 triliun. Pemangkasan ini akan berpengaruh pada operasional harian sekolah karena ada pengurangan besar-besaran dalam pos alat tulis kantor sekolah. Konsekuensi langsung efisiensi ini adalah pengurangan target peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) dari 806 ribu guru dikurangi sekitar 400 ribu guru yang dapat mengikuti program tersebut.
Efisiensi anggaran sebesar Rp14 triliun di Kementerian Agama juga akan berdampak sejumlah program seperti bantuan pendidikan seperti BOS, BOPTN, PPG, dan beasiswa.
Paradoks program efisiensi Prabowo ini terjadi di banyak lembaga dan instansi pemerintah yang mengurangi tenaga honorer dan anggaran Pendidikan tetapi pemerintah justru menambah staf khusus dan utusan khusus di Kabinet Merah Putih. Sederetan pesohor seperti Rafi Ahmad, Raline Shah dan Deddy Corbuzier direkrut sebagai staf dan utusan khusus yang membuat postur kabinet gemoy Prabowo semakin gendut.
Pengamat kebjakan publik Agus Pambagio menyatakan, stafsus memiliki tugas untuk menjalankan permintaan menteri sesuai keahliannya. Namun menurutnya, pengangkatan stafsus saat ini tidak memengaruhi kebutuhan rakyat dan tidak diperlukan. Pengangkatan stafsus justru dinilai tidak adil untuk publik karena terjadi saat anggaran pelayanan publik dipangkas. Agus berpendapat, daripada mengangkat stafsus, pemerintah seharusnya fokus memberikan pelayanan publik dengan memperbaiki fasilitas jalan, sekolah, jembatan, atau rumah sakit.
"Kurangilah utusan khusus, staf khusus yang tidak ada di UU ASN. Kurangi saja, kan statusnya (stafsus) tidak ada di pemerintahan," ujar Agus.
Langkah dewa mabuk Prabowo terlihat jelas pada program Makan Bergizi Gratis. Program yang sudah menimbulkan banyak kontroversi di lapangan, bukan dievaluasi tetapi malah ditambah anggarannya. Di Papua ada sekelompok orang menolak program ini karena masyarakat merasa lebih membutuhkan pendidikan gratis daripada makan siang gratis.
“Banyak umbi tumbuhan yang lebih bergizi yang bisa kami makan. Kami lebih butuh pendidikan gratis daripada makan siang gratis,” kata salah seorang anak muda Papua menyebut alasan mereka menolak program itu.
Salah satu kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis adalah harga per porsi yang dinilai tidak memenuhi standar gizi anak. Menu yang sudah ditentukan membuat anak-anak di aderah tak mau makan karena berbeda dengan menu yang biasa mereka dikonsumsi sehari-hari . Ada juga kekhawatiran Makan Berbizi gratis ini akan menjadi program bantuan sosial seperti di era Jokowi yang tak jelas pertanggungjawaban atau akuntabalitas penggunaan dananya. Program yang akan jadi mainan bagi para pemangkunya yang mudah dimanipulasi karena berbau sosial dan bantuan kepada rakyat.
”Biasa ada yang nyinyir, mana bisa kasih makan. Mana bisa, uangnya enggak ada. Uangnya ada, Bung. Ada uangnya,” ujar Prabowo menanggapi kritikan itu.
Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Kritik berjalan Prabowo pun tetap melaju. Semula anggaran untuk MBG sebesar Rp71 triliun, ditambah menjadi Rp171 triliun. Penambahan anggaran itu berasal dari uang kebijakan efisiensi anggaran yang diterbitkan pada 22 Januari 2025 lalu.
Melihat jurus dewa mabuk Prabowo ini, Badan Ekeskutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia menyebutnya dalam satu kalimat pendek, Indonesia gelap. Kalimat yang kemudian menjadi tema aksi turun jalan yang mereka digelar di berbagai kota di Indonesia.
Publik sebenarnya tidak mempersoalkan apa jurus yang dimainkan Prabowo untuk menyelesaikan masalah negeri ini. Yang penting rakyat tidak ikut dibuat mabuk dan pusing memikirkan kebutuhan sehari-hari yang makin sulit karena pemerintah gagal memberi jalan keluar. Jangan karena pemerintah gagal menarik uang negara dari para koruptor tapi rakyat disuruh menahan lapar.
Satu sisi, publik juga ingin melihat Prabowo memenangkan permainan dengan jurus dewa mabuk yang dia mainkan. Tapi di sisi lain, ada juga kekhawatiran, jurus ini membuat pemiliknya pusing dan terjerembab, bukan karena lawannya tangguh, tetapi pemilik jurus yang tak kuat memainkannya akibat usia yang sudah tak memungkinkan. Semoga tidak! (Aswan AS)