ThePhrase.id - Dalam Seminar bertema “Portofolio Pembangunan Sumberdaya Manusia Unggul Untuk Indonesia Maju Melalui Sistem Pendidikan Indonesia Pasca Pemerintahan Jokowi” yang digelar Majelis Nasional Korps Alumni (MN KAHMI) di Jakarta (10/10), muncul berbagai gagasan dalam rangka membangun sumberdaya manusia yang unggul di Indonesia pasca pemerintahan Joko Widodo.
Presidium MN KAHMI, Zulfikar Arse menjelaskan bahwa salah satu tujuan bernegara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa maknanya lebih luas. Maknanya tidak hanya mengupayakan masyarakat menjadi pintar, melainkan menciptakan ekosistem atau lingkungan yang sehat dan bersih di segala sektor. Sehingga tanggung jawab itu tidak hanya dibebankan kepada dunia pendidikan.
“Dengan semangat itu, KAHMI ingin mendorong pokok-pokok pemikiran yang dapat digunakan pada Pemerintahan yang akan datang, agar manusia-manusia kita makin baik kualitasnya, makin unggul sumberdayanya. Sebab ke depan, dengan kita mengalami bonus demografi, kita berkompetisi dengan berbagai macam bangsa dan negara. Itu semua bisa kita lalui, bila sumberdaya manusia kita memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif,” tutur Zulfikar.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Prof Dr Muhajir Effendi, M.A.P yang hadir selaku pembicara utama (Keynote Speaker) seminar mengatakan bahwa di sektor pendidikan masalah yang belum terpecahkan hingga saat ini, salah satunya skor Indonesia yang sangat rendah dalam Programme of International Student Assessment (PISA) yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun dalam literasi membaca, matematika, dan sains. Indonesia tertinggal jauh dari negara lain.
Untuk mengatasi masalah tersebut, katanya, Pemerintah telah menyusun rancangan besar Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dimulai dari Prenata, Usia Dini/Anak, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, SMP/Madrasah Tsanawiah, Usia Remaja SMA/SMK/Madrasah Aliyah, Perguruan Tinggi, Usia Produktif hingga Lansia.
“Kalau bicara tentang kebijakan pasti titik tolak saya adalah Grand Design atau disain besar Pembangunan manusia dan kebudayaan Indonesia, pendekatannya adalah siklus kehidupan. Tinggal memilih mau bicara dimana,” ujar Muhajir.
Menurutnya, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ada tiga hal yang difokuskan yakni revitalisasi pendidikan budi pekerti, pembenahan SMK yang dinilai kalah dari SMA serta Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Ketiga hal tersebut sebetulnya menjawab semua masalah Pendidikan. Budi pekerti itu berkaitan dengan kualitas, kemudian SMK itu relevansi dan KIP itu akses. Urusan Pendidikan itu sekitar itu saja,” katanya.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Dr Amich Alhumami menyampaikan bahwa sumberdaya manusia merupakan modal penting bagi pembangunan. Untuk itu, Bappenas telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025 – 20245 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Nasional 2025 – 2029 dengan beberapa indikator keberhasilan dalam Human Capital Index (HCI) dimana variable pembentuknya terutama bertumpu pada sektor Kesehatan dan Pendidikan. Indeks Modal Manusia Indonesia berada diangka 0,50, dan diharapkan pada diakhir tahun 2029 akan naik menjadi 0,60 dan mencapai 0,73 pada tahun 2045.
“Apa maknanya sesungguhnya angka-angka itu. Jadi penduduk Indonesia yang lahir hari ini, nanti ketika delapan belas tahun kemudian atau anak ini berusia delapan belas tahun itu kemampuan untuk produktif secara maksimum itu hanya limapuluh delapan persen dari seratus persen. Dan itu tentu kelompok yang menengah saja. Tidak cukup baik untuk menopang dan menaikkan produktivitas bangsa,”ungkapnya.
Untuk meningkatkan indeks Pembangunan manusia, Indonesia harus menurunkan prevalensi stunting, dan meningkatkan layanan pendidikan untuk memperbaiki tingkat lama sekolah, kompetensi, kecakapan dan keahlian yang diukur dengan hasil belajar.
“Ke depan, setidaknya dalam lima tahun yang akan datang. Ini periode yang kritikal, pertama adalah keberhasilan kita menurunkan prevalensi stunting dan meningkatkan layanan pendidikan bagi seluruh usia sekolah,” imbuh Amich.
Dalam seminar ini, pembicara lainnya juga menyoroti aspek lain yang terkait dengan pembangunan manusia dan sistem pendidikan. Akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Prof Dr. Aan Hasanah, M.Ed menguraikan mengenai pentingnya nilai agama dan budaya untuk membangun karakter bangsa. Menurutnya, ketika kemajuan suatu bangsa tidak dilandasi oleh nilai agama dan budaya, maka akan terbentuk peradaban buih (bubble civilization).
“Peradaban buih itu seperti besar dan hebat. Tapi sebetulnya seperti buih yang tidak memiliki jangkar. Tidak memiliki akar yang mengikat kehebatan pada satu poros peradaban. Kehebatan itu tidak menjadi identity as an Indonesia,” tuturnya.
Aan Hasanah mengingatkan bahwa Indonesia itu dibentuk oleh nilai-nilai agama dan budaya yang melekat dalam prilaku masyarakat. Oleh karena itu, seluruh produk politik tidak boleh menegasikan nilai agama dan budaya dalam seluruh kerangka kerja pendidikan. Karena hanya dengan pendidikan Indonesia bisa mentransformasikan nilai-nilai positif kepada generasi berikutnya.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Prof Dr Ir Asep Saefuddin,M.Sc menguraikan bahwa dunia pendidikan tinggi menghadapi banyak tantangan seperti Meta Trend dan Mega Trend yang terkait dengan mindset digital. Untuk itu, perguruan tinggi harus menjadi centre of excellent dengan menerapkan manajemen Good University Governance. Selain itu, universitas seharusnya juga harus menjadi bagian dari Solusi global, meningkatkan hubungan Universitas, Industri, Masyarakat dan Pemerintah (4 Helix) melalui program cross industry innovation.
Asep juga menawarkan agar universitas dapat menyumbang devisa negara melalui kehadiran mahasiswa asing dan hasil-hasil riset internasional.
“Yang lainnya, karena kita terdiri dari banyak kepulauan, maka kita perlu memperbanyak program student mobility,” tandasnya.
Senada dengan pandangan tersebut, Rektor Universitas Insan Cita Indonesia, Prof Dr Laode Masihu Kamaluddin menyampaikan kehadiran UICI merupakan upaya menjawab tantangan Pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya dalam pemerataan pendidikan dan digitalisasi. Menurutnya, sistem pendidikan tinggi di Indonesia menerapkan urban bias education, sehingga pembangunan desa semakin tertinggal. Lalu, faktor geografis juga menyulitkan penyelenggaraan Pendidikan tinggi yang efektif di seluruh Indonesia.
“Sehingga harus memiliki pendekatan strategi pengembangan pendidikan tinggi yang dirancang untuk pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi di pedesaan,”tambahnya.
Untuk menjalankan pendidikan tinggi digital, katanya, UICI yang didirikan oleh KAHMI akan melakukan transformasi digital dengan empat tahapan yakni digital literacy, digital behavior, digital mindset dan digital culture.
“Generasi ke depan harus menjadikan digital sebagai mindset bukan alat yang diinduksi melalui pendidikan dan yang akan dicapai adalah digital culture,” ucap Laode. (Rangga)