Thephrase.id - Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menegaskan bahwa dirinya sangat terbuka terhadap rencana bergulirnya kembali Piala Indonesia. Akan tetapi, ia juga mengingatkan pentingnya penyesuaian kalender kompetisi agar tidak mengganggu keberlangsungan liga domestik dan turnamen internasional yang saat ini diikuti klub-klub Tanah Air.
"Sangat welcome. Tetapi kan yang saya bilang, kenapa kemarin juga PT LIB menyampaikan kami mengenai AFC dengan AFF, ingat, di Indonesia itu Liga 1 18 klub. Coba di Asia Tenggara yang 18 klub siapa ya di liganya? Kayaknya enggak ada deh. Ya Singapura enam. Thailand berapa? 16," beber Erick.
Menurut Erick, dengan jumlah klub yang mencapai 18 peserta, Liga 1 sudah tergolong padat. Apalagi, Indonesia memiliki tantangan geografis yang tidak dimiliki negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ini membuat pengaturan jadwal menjadi jauh lebih kompleks dan memerlukan perhatian khusus.
"Kita 18 klub. Yang kedua, geografis kita itu dari ujung ke ujung 8 jam naik pesawat terbang. Bukan naik mobil 8 jam," lanjut Erick.
Ia menekankan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi persoalan logistik yang besar dalam menyelenggarakan kompetisi sepak bola. Ini membuat penjadwalan pertandingan menjadi tantangan tersendiri.
"Dari ujung ke ujung 8 jam. Kita negara kepulauan. Artinya, sudah klubnya banyak, geografisnya juga jauh," tegasnya.
Erick menjelaskan bahwa klub-klub saat ini sudah harus menghadapi jadwal padat, baik di level domestik maupun internasional. Dengan keikutsertaan di AFC yang kini memiliki tiga tingkatan kompetisi serta turnamen AFF, klub-klub nasional harus benar-benar mempersiapkan diri dengan matang.
"Ketika klub ini bertanding Jumat, Sabtu, Minggu. Ketika diisi di tengahnya ada AFC kan? Ada AFC lho sekarang. Ada tiga tingkat nggak tanggung-tanggung AFC," katanya.
Ia menggambarkan betapa beratnya jadwal yang harus dilalui klub-klub Indonesia. Dari satu pertandingan ke pertandingan lain, pemain dan staf harus berjibaku dengan waktu dan jarak perjalanan yang luar biasa panjang.
"Kan habis main Minggu. Senin berangkat. Sampai Vietnam atau sampai China, hari Selasa sampai Rabu. Rabu malam tanding. Kapan latihannya? Kamis pulang. Kamis pulang sampai sini Jumat. Main lagi Minggu. Minggu depan Senin berangkat lagi. AFF," ungkap Erick.
Erick juga menyoroti persoalan biaya logistik dan risiko cedera yang menghantui para pemain. Menurutnya, jika dipaksakan tanpa perhitungan yang matang, situasi ini bisa berakibat fatal, bahkan bagi Tim Nasional Indonesia yang tengah menjadi prioritas PSSI.
"Saya rasa logistik cost. Pemain yang cedera. Apalagi kalau saya kepentingannya, mohon maaf. Tiba-tiba Timnas Indonesia cedera semua. Pengganti yang enggak ada. Talent pool kita baru tipis. Nah ini realita gitu loh," sambungnya.
Meski demikian, Erick menegaskan tidak menolak kehadiran Piala Indonesia. Ia tetap membuka ruang untuk turnamen tersebut asal penjadwalan dilakukan dengan bijak dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
"Jadi Piala Indonesia silakan kalau masuk kalendernya. Nah tapi yang tadi, saya tidak takut dihujat. Karena saya percaya proses," ujarnya.
Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan mengedepankan pola pikir yang konstruktif dalam mengambil keputusan terkait Piala Indonesia. Menurutnya, tidak ada yang sepenuhnya salah atau benar dalam diskusi ini.
"Ini pola pikir yang sama-sama kita dudukkan. Tidak ada salah dan benar. Saya mendukung Piala Indonesia, cuman kalendernya kapan," jelas Erick.
Sebagai pengingat, Erick menceritakan kembali lahirnya Piala Presiden pada tahun 2015 yang diinisiasi saat PSSI disanksi oleh FIFA. Ketika itu, dirinya diminta untuk membantu agar kompetisi sepak bola tetap hidup meskipun dirinya bukan pejabat federasi.
"Piala Presiden itu dilahirkan ketika PSSI disanksi oleh FIFA. Betul? Lalu datang ke Erick Thohir. Saya bukan Menteri, saya bukan Ketua PSSI, 2015 minta tolong. Bisa nggak Pak Erick menyelenggarakan Piala Presiden? Itu kan? Betul? Rapatnya di Dharmawangsa, Kebayoran. Lalu saya harus datang. Waktu itu ke Menpora, ke PSSI, ke Presiden. Boleh nggak saya bikin Piala Presiden? Cuman Alhamdulillah Menpora percaya, PSSI percaya, Presiden percaya. Terjadilah Piala Presiden 2015, itu ceritanya," kisahnya.
Erick menegaskan, pelajaran dari sejarah Piala Presiden harus menjadi acuan. Ia mengingatkan bahwa setiap kompetisi harus memiliki tujuan yang jelas, bukan sekadar menggugurkan kewajiban tanpa memperhatikan dampaknya terhadap ekosistem sepak bola.
"Jadi mengisi kekosongan saat itu karena klub-klub mati suri. Tidak ada kompetisi. Nah itu ceritanya sejarah, kadang-kadang kita lupa sejarah," pungkasnya.