ThePhrase.id - Pengerahan personil TNI untuk menjaga kejaksaan di seluruh Indonesia saat ini, menjadi penegasan dan sinyal kuat adanya tarik-menarik pengaruh dua kekuatan di dalam pemerintahan saat ini. Kekuatan seorang presiden yang sedang berkuasa dengan kekuatan seorang mantan presiden yang masih ingin terus berkuasa. Pengerahan pasukan itu menjadi indikasi tentang adanya pekerjaan besar yang tidak boleh diganggu, yang rawan akan diganggu karena akan bersinggungan dengan pihak-pihak yang merasa terganggu.
Lantas apa pekerjaan yang tidak boleh diganggu yang mengharuskan adanya penjagaan khusus dari TNI itu. Apakah pekerjaan itu berkaitan dengan kasus besar yang sedang ditangani oleh kejaksaan, seperti kasus korupsi timah dan trading BBM?
Markas besar TNI tidak menyebut apa yang sedang mereka jaga di korp adiyaksa di seluruh Indonesia itu. Kepala Pusat Penerangan (Puspen) TNI Mayjen Kristomei Sianturi menjelaskan, Surat Telegram Panglima TNI Nomor: TR/422/2025 tertanggal 5 Mei 2025, yang berisi perintah untuk pengerahan personel pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia itu adalah bagian dari implementasi MoU antara TNI dengan kejaksaan dalam rangka penugasan personel dan dukungan institusional.
“Surat telegram tersebut merupakan bagian dari kerja sama pengamanan yang bersifat rutin dan preventif, sebagaimana yang juga telah berjalan sebelumnya,” kata Kristomei dalam keterangannya, Senin (12/5/2025).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar menyatakan hal yang sama. Pengamanan itu menurut Harli merupakan bentuk kerja sama antara TNI dengan Kejaksaan untuk memperkuat keamanan di kantor Kejaksaan.
"Pengamanan itu bentuk kerja sama antara TNI dengan Kejaksaan. Itu bentuk dukungan TNI ke Kejaksaan dalam menjalankan tugas-tugasnya," kata Harli Minggu 11 Mei 2025.
Adapun pasukan yang dikerahkan untuk pengamanan kejaksaan itu adalah Satpur (satuan tempur) dan Satbanpur (satuan bantuan tempur) yang ada di Kodam masing-masing. Artinya, potensi gangguan yang diantisipasi pengaman ini memiliki kemampuan setara dengan kemampuan penjagaan yang dikerahkan. Pertanyaannya, darimana potensi gangguan ke kejaksaan yang memiliki kemampuan setara dengan satuan tempur TNI itu? Pertanyaan ini, membuat orang berasumsi dan menduga-duga yang berujung pada adanya dua kekuatan berseteru yang menyeret institusi negara masuk ke dalam perseteruan itu.
“Ini ada sesuatu yang genting sehingga perlu ada back up militer, “ kata Selamat Ginting, Pengamat Politik dan Militer di channel Refly Harun Podcast, 13 Mei 2025. Menurut Ginting, hal ini ada kaitannya dengan dugaan polisi yang ingin menjadi penyidik tunggal yang menyebabkan ada rebutan kewenangan antara kepolsian dan kejaksaan. Padahal di seluruh dunia, tidak ada penyidik tunggal. Beberapa instansi seperti bea cukai, kehutanan, imigrasi, militer dan lain-lain punya penyidik sendiri. Menurut Ginting, back up militer ini juga karena akan ada pembahasan tentang revisi undang-undang kejaksaan, undang-undang kepolisian dan KUHAP.
Ginting juga menduga pengamanan TNI ini karena akan ada operasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh kejaksaan yang tak mungkin diserahkan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebab ada persepsi publik jika Komisioner KPK sekarang, panitia seleksinya dibentuk pada masa Jokowi menjelang lengser. Padahal seharusnya, pembentukan panitia seleksi KPK itu menjadi kewenangan presiden baru. Di sinilah kemudian muncul persepsi adanya pertarungan politik.
“Bisa jadi, Presiden Prabowo tidak nyaman dengan keberadaan KPK dengan para komisionernya ini. Sehingga dia menggunakan kejaksaan sebagai alat negara untuk membongkar kasus-kasus besar kemungkinannya, maka butuh back up militer,” ujar Ginting.
Selama ini, menurut Ginting, KPK dan Kepolisian diidentikan dengan penguasa lama, mantan presiden Jokowi, yang memunculkan istilah parcok atau partai coklat sebutan untuk polisi sebagai kekuatan yang memback up Jokowi selama ini. Karena itulah, Presiden Prabowo menggunakan wewenangnya dengan tidak menggunakan kedua lembaga itu dan memilih menggunakan kejaksaan dan militer untuk mengungkap kasus-kasus besar. Militer dikerahkan untuk mencegah adanya gangguan atau sabotase seperti kebakaran yang akan merusak dokumen dan menghilangkan barang bukti.
Bila Prabowo Subianto memiliki power atau kekuasaan sebagai presiden yang bisa memerintahkan orang atau menggerakkan institusi negara, lantas apa yang menjadi kekuatan atau power Jokowi untuk menggerakkan orang-orang agar mengikuti keinginannya? Sementara dia bukan presiden dan tidak punya wewenang lagi.
Dari perjalanan dan track recordnya selama ini, Jokowi memilik tiga instrumen untuk mengendalikan figur atau tokoh tertentu, yakni uang, jabatan dan kasus hukum. Uang tentu saja efektif untuk kalangan tertentu seperti para buzzer yang menjadi cyber army untuk menjaga citra di media sosial sekaligus untuk menghadapi para pengkritik yang mencoba membuka aib Jokowi dan keluarganya. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melaporkan pemerintah era Jokowi mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer atau buzzer mencapai Rp90,45 miliar.
“Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp90,45 miliar,” kata Peneliti ICW Egi Primayoga, Kamis (20/8/2020).
Adapun jabatan adalah alat kendali buat orang-orang yang duduk di posisi strategis yang memiliki tongkat komando untuk menggerakkan pasukan atau bawahannya. Kasus mutasi Letnan Jenderal Kunto Arif Wibowo beberapa waktu lalu adalah contoh kasus instrumen jabatan yang diduga digunakan Jokowi untuk menggerakkan orang atau figur tertentu. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto diangkat Jokowi sejak November 2023 dan masih menjabat hingga di era presiden Prabowo sekarang.
Demikian juga di Kepolisian, yang disebut Selamat Ginting dengan parcok atau partai coklat, karena polisi sudah berubah menjadi kekuatan sosial politik yang memback up Jokowi dan keluarganya untuk memenangkan keluarga Jokwi di pemilu dan pemilukada. Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah Kapolri era Jokowi yang dipersepsikan sebagai orang Jokowi. Termasuk Kapolri sebelumnya, Jenderal Tito Karnavian yang telah banyak berjasa pada Jokowi yang telah diberi jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri dan terus menjabat hingga di era Prabowo kini.
Termasuk KPK sekarang yang dipersepsikan identik dengan orang Jokowi karena dipilih di ujung jabatan Jokowi sebagai presiden. Makanya, Prabowo tidak menggunakan institusi ini untuk menangani kasus-kasus besar dan memilih kejaksaan sebagai alat negara untuk melaksanakannya.
Adapun kasus hukum digunakan Jokowi untuk mengendalikan tokoh seperti pemimpin partai politik. Seperti yang dialami mantan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartato dalam kasus dugaan korupsi ekspor CPO, dan Zulkifli Hasan, Ketua Partai Amanat Nasional dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Kasus itu sempat disidik tetapi kemudian digantung tanpa kejelasan karena memang tujuannya bukan sungguh-sunguh menegakkan hukum tetapi menciptakan alat kendali terhadap para tokoh tersebut.
Di Pilpres 2024 lalu, Prabowo dan Jokowi adalah dua kekuatan yang bersatu untuk memenangkan pemilihan. Namun kini, keduanya seperti beradu untuk menunjukkan kekuatan masing-masing. Jokowi yang ingin terus berkuasa masih akan cawe-cawe di pemerintahan karena ada Gibran, sebagai pewaris dinastinya.
Sementara Prabowo memang presiden yang memiliki wewenang untuk berkuasa dan memerintah. Karena itu, selama Jokowi masih memiliki orang-orang di pemerintahan yang bisa dikendalikannya, maka selama itu pula dia memiliki kekuatan atau power untuk cawe-cawe dalam pemerintahan. Dan selama itu pula, publik akan dipertontonkan perseteruan dua kekuatan yang berebut pengaruh dan kekuasaan. Wallahua’lam (Aswan AS)