
ThePhrase.id - Di akhir masa jabatannya, Jokowi pernah dinobatkan sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia karena telah membangun infratruktur secara massif yang disebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara. Jokowi yang kerap tampil sebagai pemimpin sederhana yang rajin turun ke bawah membagikan bantuan sosial membuat Jokowi dikenal oleh masyarakat akar rumput sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat kecil. Makanya tidak banyak yang bisa membaca permainan di balik panggung teaterikal Jokowi itu yang banyak merugikan rakyat dan merusak sendi-sendi bernegara. Permainan yang akan banyak terungkap pasca terjadinya bencana ekologis di tiga propinsi di Sumatra pada akhir November 2025.
Bencana ekologis banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat adalah visualisasi dari laju kerusakan lingkungan dan deforestasi parah selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Visualisasi yang disajikan alam sebagai pemberitahuan kerusakan yang tersembunyi dari mata publik selama ini. Visualisasi kerusakan alam yang akan diikuti dengan visualisasi kerusakan di sektor lain yang terjadi selama Jokowi berkuasa.
Paling tidak ada 5 kerusakan skala besar yang terjadi di era Jokowi yang merugikan rakyat dan merusak sendi-sendi bernegara.
Pertama, deforestasi atau kerusakan hutan. Kerusakan ini dapat dilihat pada laju deforestasi yang terjadi di hutan-hutan Kalimantan, Sulawesi, Papua dan gugusan Pegunungan Bukit Barisan di Sumatra yang terbentang dari Aceh hingga Lampung. Tiga provinsi di Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat yang mengalami laju kerusakan paling parah yang mengakibatkan banjir bandang akhir November lalu.
Greenpeace Indonesia menyebut luasan lahan deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,13 juta hektare (ha) atau setara dengan luas 3,5 kali luas Pulau Bali. Angka ini menambah kerusakan hutan sepanjang 12 tahun sebelumnya (2003-2014) yakni 4,19 juta ha.
"Hanya butuh 5 tahun angka deforestasi Indonesia di era Presiden Jokowi telah mencapai separuh angka deforestasi selama 12 tahun," kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam keterangan tertulisnya Rabu, (10/11/2025).
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD pernah menyatakan kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia yang cukup masif dalam 10 tahun era pemerintahan Joko Widodo mencapai 12,5 juta hektar.
“Dalam 10 tahun terakhir terjadi deforestasi hutan 12,5 juta hektar hutan kita," ujar Mahfud saat Debat Cawapres 2024 di JCC Senayan, Jakarta, pada Minggu (21/1/2024). Mahfud menganalogikan, luas 12,5 juta hektar deforestasi itu setara dengan 23 kali luas Pulau Madura, bahkan lebih besar dari luas wilayah negara Korea Selatan.
Kedua, Konflik agraria masyarakat dan korporasi (negara). Kebijakan Jokowi yang lebih mendewakan investasi dan pembangunan daripada memikirkan nasib warganya menjadi sebab utama terjadinya konflik tentang kepemilikan tanah atau lahan. Keberpihakan itu terlihat jelas tatkala pemerintahan Jokowi dan DPR mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Undang-undang yang dinilai sebagai legalisasi perampasan tanah masyarakat.
“Masalah agraria itu struktural,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dikutip di CNNIndonesia.com, Rabu (18/10/2024). Berdasarkan catatan KPA, di era Jokowi sepanjang 2015-2022 tercatat 2.701 konflik perebutan lahan yang melibatkan korporasi dan aparat negara.

Konflik itu paling banyak terjadi berkaitan dengan perkebunan, infrastruktur, dan pertambangan. Masyarakat yang sudah menempati lahannya sejak sebelum Indonesia merdeka dipaksa pindah karena tanahnya akan diambil untuk diserahkan kepada investor. Seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau pada 7 September 2023, di mana 16 Kampung Melayu di pulau itu akan dipindahkan karena lahannya akan dijadikan lokasi pabrik kaca milik perusahaan China Xinyi Group.
Jokowi tidak segan untuk memberikan status PSN (Proyek Strategis Nasional) kepada proyek swasta untuk mempercepat pengambil lahan warga, seperti yang terjadi pada kasus Rempang dan PIK 2 di Tangerang, Banten.
Ketiga, Over ekploitasi bahan tambang strategis. Dua bahan tambang yang paling menonjol yang over ekploitasi di era Jokowi adalah timah di Bangka Belitung dan nikel di Indonesia timur. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan negara mengalami kerugian sebesar Rp300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung sepanjang tahun 2015-2022 atau 7 tahun di era pemerintahan Jokowi.
Pelaku tambang illegal adalah mafia yang terdiri dari pemilik modal, pengusaha dan aparat negara yang bekerjasama mengeruk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Keterlibatan aparat ini menyebabkan banyak hasil tambang yang diselundupkan ke luar negeri yang merugikan negara.
"Contoh dari Bangka penyelundupan timah yang berjalan cukup lama saya juga dapat laporan dari penegak hukum dari TNI sendiri melaporkan ada pejabat-pejabat ada petugas TNI yang terlibat dapat juga laporan petugas Polri terlibat," kata Prabowo pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Selasa (16/12/2025).
Hal yang sama terjadi pada tambang nikel di Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau kecil di Papua. Ekploitasi berlebihan terhadap biji nikel telah menimbulkan kerusakan lingkungan parah berupa deforestasi, pencemaran udara/air/tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dampak sosial-ekonomi masyarakat lokal, konflik lahan dan rusaknya ekosistem yang tak tergantikan seperti di Raja Ampat.
Keberadaan tambang nikel ini telah memobilisir tenaga kerja asing asal China yang tidak terdata yang bekerja di pengolahan nikel perusahaan patungan Indonesia- China. Perusahaan patungan yang memiliki fasilitas pelabuhan dan bandara sebagai pintu keluar masuk barang dan orang yang tidak dalam kontrol negara, seperti bandara milik PT IMIP di Morowali Sulawesi Tengah.
"Saya melihat ada anomali serius yang harus segera diperbaiki, yaitu adanya bandara yang beroperasi tanpa perangkat negara sama sekali, seperti bea cukai, imigrasi, dan otoritas penerbangan. Kondisi ini menciptakan celah yang berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional kita,” ujar Menhan Sjafrie Sjamsoeddin dalam pidatonya saat meninjau latihan gubungan TNI di Morowali, Kamis 20 November 2025.
Keempat, merubah aturan sesuai selera dan kepentingan penguasa. Kebiasaan Jokowi merubah aturan sesuai kepentingannya terlihat jelas pada perubahan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perihal persyaratan usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Syarat usia capres dan cawapres minimal 40 tahun dirubah menjadi 36 tahun melalui putusan MK pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, demi meloloskan anaknya Gibran untuk menjadi wakil presiden. Akibatnya, tidak hanya merusak tatanan dan demokrasi yang menutup jalan bagi anak bangsa yang lain, tetapi Indonesia disuguh seorang pimpinan yang under capacity, cacat moral dan tidak kapabel.
Masuk dalam kategori ini adalah pembubaran KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), lembaga negara nonstruktural yang independen dan bebas intervensi politik, yang bertugas mengawasi penerapan Sistem Merit dan kode etik ASN agar ASN profesional, netral, dan berkinerja baik, serta menjaga netralitas ASN dari pengaruh politik untuk pelayanan publik yang adil. Komisi ini dibubarkan dengan Perpres Nomor 91 Tahun 2024.
Pembubaran KASN menyebabkan pejabat negara tidak netral dan jabatan strategis ditunjuk tidak berdasarkan kompetensi tetapi sesuai kepentingan penguasa. Termasuk rektor perguruan tinggi negeri yang disinyalir ada kepentingan pragmatis penguasa terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan.
Ada deretan panjang aturan yang dirubah semasa Jokowi berkuasa yang tidak dilakukan sesuai prosedur lazim penerbitan sebuah aturan atau UU seperti aturan PSN (Proyek strategis Nasional), IKN (Ibukota negara) dan lain-lain.
Kelima, Revolusi Mental yang berubah arah. Revolusi Mental adalah program nasional Jokowi tahun 2014 yang dikukuhkan dengan Instruksi Presiden No. 12 Tahun 2016. Tujuannya untuk perubahan fundamental watak dan batin manusia agar lebih berintegritas, bekerja keras, dan gotong royong, sesuai nilai Pancasila. Namun program ini dinilai gagal karena dalam perjalanannya selama pemerintahan Jokowi terjadi kerusakan mental yang ditandai dengan maraknya KKN di semua lini. KPK mencatat sejak tahun 2024 hingga Mei 2025 telah menjerat 363 anggota legislatif di tingkat pusat maupun daerah, 201 kepala daerah mulai dari Wali Kota hingga Gubernur yang terjerat kasus korupsi.
"Data dari 2024 sampai dengan Mei 2025, KPK telah menjerat sejumlah 363 anggota DPR dan DPRD, 171 Bupati dan Wali Kota, dan 30 Gubernur," kata Jubir KPK, Budi Prasetyo, Rabu (21/5/2025). Jumlah itu belum termasuk Menteri era Jokowi yang diduga terlibat korupsi seperti Menteri Agama, Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menkominfo dan lain-lain. Beberapa dari para tersangka tindak pidana korupsi itu menyebut ada nama Jokowi dan orang=-orang dekatnya pada tindak pidana disangkakan kepada mereka.
Kegagalan Revolusi Mental ini juga terlihat pada perubahan karakter institusi dan anggota Polri yang seharusnya netral sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, tetapi menjadi kekuatan sosial politik yang mengabdi pada kekuasaan. Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI pada tanggal 7 November 2025, mengisyaratkan adanya situasi urgen untuk menata ulang Polri karena sudah jauh melenceng dari visi, misi dan cita-cita pendiriannya.
Berita tentang tindakan kriminal yang melibatkan anggota Polri hampir ditemukan tiap hari. Fakta itu ditegaskan dengan data yang ada di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri yang mencatat ribuan anggota kepolisian telah disanksi lantaran melakukan pelanggaran. Sepanjang tahun 2019 hingga 2021 saja, tercatat 8.310 anggota polisi yang disanksi karena pelanggaran etika, disiplin atau pidana.
Daftar kerusakan yang terjadi di era Jokowi itu akan semakin panjang jika diurut hingga hal-hal kecil yang selama ini luput dari pantauan dan pembicaraan publik. Kerusakan-kerusakan yang akan membuat sibuk Presiden Prabowo dan timnya untuk membersihkan kerusakan yang diwariskan oleh pendahulunya itu. (Aswan AS)