leader

Kiprah Pahlawan Nasional Prof. Dr. Sardjito, Menemukan Vaksin dan Mendirikan UGM

Penulis Rahma K
Apr 08, 2022
Kiprah Pahlawan Nasional Prof. Dr. Sardjito, Menemukan Vaksin dan Mendirikan UGM
ThePhrase.id – Prof. Dr. Sardjito adalah pahlawan nasional yang  telah berjasa dalam bidang kesehatan dan pendidikan di Indonesia.  Ia memiliki beragam profesi sebagai dokter, ilmuwan, pengajar, dan akademisi. Berkat jasanya, ia diberikan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada November 2019.

Lahir di Purwodadi, Magetan, Jawa Timur pada 13 Agustus 1889, Sardjito merupakan anak dari seorang guru. Maka dari itu, pendidikan merupakan hal yang penting bagi dirinya sejak ia kecil. Ia menyelesaikan sekolah formalnya pada Sekolah Belanda di Lumajang pada tahun 1907.

Setelah itu, Sardjito bertolak ke Batavia atau saat ini Jakarta untuk bersekolah tingkat tinggi di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau sekolah kedokteran pada zaman penjajahan Belanda dan lulus pada tahun 1915.

Setelah lulus, dia diangkat sebagai dokter pada dinas kesehatan kota di Batavia. Baru bekerja selama satu tahun, ia lalu pindah ke Institut Pasteur Bandung yang merupakan lembaga penelitian vaksin dan obat-obatan milik pemerintah Hindia Belanda hingga tahun 1920.

Prof. Dr. Sardjito. (Foto: Wikipedia/Direktorat K2KRS Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial)


Di sana, ia melakukan penelitian dan riset. Riset pertamanya adalah terkait influenza. Kala itu, influenza merupakan penyakit mematikan yang ditakuti oleh masyarakat. Selain itu, ia juga merupakan sosok yang berkontribusi dalam proses penemuan vaksin typus, kolera, dysentri, satlokoken, dan streptokoken di Indonesia melalui Institut Pasteur.

Ia juga menemukan obat dari penyakit berat seperti batu ginjal, dan juga obat dari penyakit seperti kolesterol. Bahkan, ia meminta agar obat batu ginjal yang ditemukannya tersebut tidak dijual dengan harga mahal.

"Tidak boleh menjual obat ini mahal-mahal. Obat ini untuk rakyat. Banyak rakyat yang menderita penyakit batu ginjal. Kasihan kalau mereka harus operasi," ujar Sardjito, dikutip dari catatan makalah A.M. Hendropriyono, dilansir dari Kompas.

Pada Institut Pasteur juga dirinya mendapatkan jalan untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Ia berangkat menggunakan kapal ke Rotterdam, Belanda pada tahun 1920. Hingga tahun 1922 Sardjito menimba ilmu kedokteran di Universitas Amsterdam. Dilansir dari laman indonesia.go.id, Sardjito juga tak merasa kesulitan saat menempuh pendidikan tingginya karena pengalamannya melakukan penelitian di Institut Pasteur.

Kurang puas dengan studinya, ia kemudian mengajukan proposal studi untuk mengambil gelar doktoral. Ia meneliti penyakit-penyakit tropis, dan lulus dengan gelar doktor pada tahun 1923. Ia merupakan anak bangsa kedua yang berhasil meraih gelar doktor di bidang kedokteran.

Potret Prof. Dr. Sardjito. (Foto: UII.ac.id)


Setelah selesai studi, ia kembali ke Indonesia. Namun, belum lama di Tanah Air, Sardjito lagi-lagi mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di luar negeri, kali ini di Negara Paman Sam. Lebih tepatnya di Universitas John Hopkins untuk mempelajari hygiene. Ia pun lulus dan meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan menjadi sarjana Indonesia pertama yang belajar di sana.

Pasca kemerdekaan, lembaga Institut Pasteur yang awalnya milik pemerintah Hindia Belanda dan sempat diambil alih kepemimpinannya oleh Jepang, kemudian secara resmi diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Berbagai penelitian penting berada pada laboratorium tersebut, maka penting untuk diambil alih.

Wewenang dari institut ini jatuh pada Kementerian Kesehatan. Karena belum ada pemimpinnya, Menteri Kesehatan Boentaran Martoatmodjo kala itu meminta Sardjito untuk mengambil alih kepemimpinan Institut Pasteur. Ia kemudian secara resmi mengemban tugas sebagai kepala Institut Pasteur pada akhir September 1945.

Dilansir dari historia.id, Sardjito tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memegang jabatan tersebut. Sebagai pemimpin pertama, ia membawa banyak perubahan dan kontribusi bagi institut ini dan negara melalui institut ini.

Sardjito membantu rakyat Indonesia yang kala itu masih dilanda perang, terutama Bandung yakni pada peristiwa Bandung Lautan Api, karena Institut Pasteur berada di Bandung. Ia menyediakan kebutuhan medis semasa perang. Bahkan ketika diminta pindah agar lebih aman, ia enggan meninggalkan vaksin dan obat-obatan yang sudah dibuat.

Prof. Dr. Sardjito. (Foto: direktoratk2krs.kemsos.go.id)


Bahkan, Sardjito juga tercatat menciptakan makanan ransum yang dikenal dengan nama 'Biskuit Sardjito'. Biskuit ini diracik dengan formula khusus agar dapat menahan lapar dan dapat memberikan energi bagi para tentara di medan perang.

Karena kondisi di Bandung semakin kurang kondusif, ia kemudian memutuskan untuk memindah Institut Pasteur dari Bandung ke Klaten, Jawa Tengah. Pada saat yang sama, Perguruan Tinggi Kedokteran (nama pasca kolonialisme, dulunya STOVIA) juga pindah ke Klaten karena pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta, tetapi di Yogyakarta fasilitas kurang memadai untuk mendirikan perguruan tinggi tersebut.

Ketika kondisi Yogyakarta mulai kondusif, Sardjito memindah Institut Pasteur ke Kota Pelajar tersebut, sekaligus dirinya mulai berkarier pada bidang pendidikan. Ia merupakan salah satu perintis dan merupakan rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pertama.

Awalnya UGM merupakan gabungan dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah tinggi yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Sardjito yang sebelumnya dari Klaten telah menjadi salah satu bagian dari pendirikan Fakultas Kedokteran UGM dan ia menjadi dekan pertamanya sebelum akhirnya didapuk menjadi rektor.

Sardjito menjabat sebagai rektor dari tahun 1949 hingga 1961. Setelah itu, ia kembali menjadi rektor teteapi di Universitas Islam Indonesia (UII), perguruan tinggi swasta nasional tertua di Indonesia yang juga berlokasi di Yogyakarta. Dirinya menjadi rektor ke-3 dan menjabat dari tahun 1963 hingga 1970 saat dirinya tutup usia. [rk]

Tags Terkait

 
Related News

Popular News

 

News Topic