etc

Klenik: Antara Ritus dan Politis

Penulis Aswan AS
Mar 28, 2022
Klenik: Antara Ritus dan Politis
ThePhrase.id - Aksi Rara Isti Wulandari di tengah hujan deras melakukan ritual pengusiran hujan di Sirkuit Mandalika mencuatkan kembali tentang istilah atau praktek klenik dalam menyelesaikan masalah kehidupan empiris manusia. Meski banyak yang menilai aksi itu sebagai aksi tak logis dan absurd namun tak urung ritual menahan hujan Rara itu telah ikut meramaikan gelaran balap MotoGP di Mandalika.

Rara yang disebut sebagai pawang hujan itu mengaku telah dikontrak oleh penyelenggara untuk menggunakan jasanya. Sebelum event dimulai dia secara terbuka menunjukkan semua kelengkapan dan “umbo-rampe” yang digunakannya dalam ritual itu, termasuk mangkuk kuningan dan sepotong kayu yang dipukul-pukul saat berjalan dengan kaki telanjang saat hujan lebat di tengah-tengah sirkuit.

Pro kontra tentang aksi Rara ini berlanjut hingga event motoGP selesai. Banyak yang menganggap aksi itu sebagai aksi yang biasa dilakukan di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Tetapi banyak pula yang melihat ritual itu sebagai aksi absurd yang tidak ada hubungannya dengan hujan berhenti beberapa waktu setelah ritual itu. Kelompok yang kontra semakin mendapat pembenaran setelah Rara mengaku bahwa dia diberi wewenang untuk memegang remote AC langit untuk menahan dan mengundang hujan.

Pawang hujan Rara Isti Wulandari. (Foto: twitter/MotoGP)


Ritual Air dan Tanah di Dalam Kendi Nusantara

Sebelum aksi Rara, ritual air dan tanah yang dimasukkan ke dalam kendi Presiden Joko Widodo, telah lebih dulu menuai pro kontra. Saat meresmikan dan camping di titik nol IKN (Ibukota negara) yang baru di Penajam Paser Utara beberapa waktu lalu, Jokowi memerintahkan 34 Gubernur untuk membawa air dan tanah dari daerah masing-masing. Air dan tanah itu diserahkan satu persatu oleh para Gubernur kepada Presiden dan memasukkannya ke dalam Kendi Nusantara.

Jokowi menyebut ritual ini sebagai upaya untuk menyatukan semangat yang disimbolkan dengan tanah dan air yang berasal dari 34 propinsi di Indonesia.

"Saya hadir di sini bersama-sama 34 gubernur dari 34 provinsi dari seluruh Tanah Air, bersama 15 tokoh masyarakat dari Kalimantan Timur. Kita tahu baru saja tadi tanah dan air yang dibawa oleh 34 gubernur telah kita satukan di tempat yang akan jadi lokasi Ibu Kota Nusantara," kata Presiden.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menyebut ritual Jokowi itu sebagai politik klenik. Sebuah upaya politik yang berupaya mengimplementasikan kemauan penguasa berdasarkan imajinasi irasionalitas.

"Membawa tanah dan air dari seluruh provinsi itu pikiran klenik, sesuatu yang mengada-ada lalu diyakini sebagai sesuatu yang mengandung pesan mistik," kata Ubed sapaan Ubedilah Badrun.

Prosesi Penyatuan Tanah dan Air Nusantara, di Titik Nol IKN, Senin (14/03/2022). (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)


Ubed menilai praktik politik klenik oleh Jokowi di Titik Nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara itu bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. Menurutnya, politik klenik itu menunjukkan suatu kemunduran peradaban politik.

Namun Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Linggar Rama Dian Putra mengatakan ritual Kendi Nusantara dapat menjadi media pembelajaran bagi masyarakat. Melalui ritual itu, masyarakat akan terbiasa melaksanakan budaya dan tradisi yang ada di Indonesia.

Linggar menyebut ritual Kendi Nusantara akan membuat masyarakat tidak ‘alergi’ terhadap ritual. Sebab ritual semacam Kendi Nusantara di IKN merupakan bagian dari identitas bangsa Indonesia. Namun jika ada yang alergi terhadap itu, maka akan lupa siapa jati dirinya.

“Bangsa yang tahu akan identitas masa lalunya, itu bisa merencanakan ke depan bangsa ini mau seperti apa. Tapi kalau bangsa yang tidak tahu dengan identitas masa lalunya, maka dia tidak akan bisa merencanakan apa yang akan dilakukan ke depannya,” ucap Linggar.

Berbeda dengan Linggar, Antropolog dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan, Nasrullah, menilai ritual Kendi Nusantara yang digelar Jokowi di Titik Nol IKN Nusantara itu, sebagai hal yang mengada-ada. Dia menyayangkan sikap Jokowi yang memilih ritual di luar kebudayaan suku Kalimantan itu.

Ubedilah Badrun. (Foto: tempo.co)


"Entah dari mana ritual seperti itu dilakukan. Padahal jika kita bicara ritual, akan sangat terikat dengan masyarakat tempatan," ujar Nasrullah.

Alih-alih menggunakan ritual yang dianggapnya asing tersebut, Nasrullah menyarankan Jokowi memilih ritual Dayak atau Melayu. Nasrullah mengaku khawatir peristiwa Kendi Nusantara akan menjadi momentum penyeragaman kebudayaan via ritual dan atau ritual yang diada-adakan dalam acara prosesi kenegaraan atau pemerintahan.
"Saya khawatir dimulai dari bentuk desain IKN, hingga ritual ini, jika nantinya tidak memiliki akar dengan kebudayaan setempat, maka IKN baik dari bangunan dan sistem pemerintahannya seolah-olah benda asing yang berdiri di tanah Kalimantan," kata Nasrullah.

Klenik Versus Ilmiah

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan Klenik sebagai kegiatan perdukunan (pengobatan dan sebagainya) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang. Sementara Wikipedia mendefinisikan Klenik (di dalam bahasa Jawa) adalah sesuatu yang tersembunyi atau hal yang dirahasiakan untuk umum. Klenik identik dengan hal-hal mistis yang cenderung berkonotasi negatif.

Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa klenik adalah sebuah upaya menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum karena cara-cara menjalankannya sangat rahasia dan tidak masuk akal. Biasanya dijalankan dengan tersembunyi dan rahasia dan cenderung negatif. Negatif, karena menggunakan perantara seorang dukun yang meminta bantuan jin atau makhluk gaib lainnya sebagai sebuah realitas lain di luar alam materi. Karena itu biasanya, orang banyak menempuh cara klenik karena meyakini makhluk gaib dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia di alam nyata.

Sang dukun atau pihak yang menjadi perantara ini tidak menjelaskan detail caranya berhubungan atau berkomunikasi dengan alam gaib, tetapi cukup menjelaskan apa maunya makhluk gaib itu sebagai syarat untuk menyelesaikan masalah itu.

Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Linggar Rama Dian Putra. (Foto: antro.fisip.unair.ac.id)


Pemenuhan syarat inilah yang kemudian dijadikan semacam ritus yang harus dijalankan. Karena dilakukan secara berulang-ulang kemudian menjadi semacam praktek rutin atau ritual. Dan sang pasien atau pengguna jasa perantara ini tidak boleh bertanya karena itu wilayah “tabu” yang hanya diketahui antara dukun dengan makhluk gaib itu. Benar atau tidak tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, tetapi sangat tergantung dengan kepercayaan (believe) orang yang menjalankannya.

Banyaknya kisah negatif dari perdukunan ini karena profesi ini kerap disalahgunakan oleh orang biasa yang mengaku sebagai orang yang memiliki kemampuan berhubungan dengan alam gaib dengan motif atau tujuan mendapatkan keuntungan tertentu. Negatif lainnya karena makhluk yang diminta bantuan dari praktek ini adalah bangsa jin yang dalam ajaran agama berkonotasi negatif karena memiliki motif menipu dan menyesatkan manusia dari jalan lurus (agama).

Sementara dalam dunia ilmiah, semua cara harus dijelaskan secara logis, empiris dan dapat dijalankan oleh semua orang dengan metode-metode yang sudah teruji. Karena itu, cara klenik bagi orang ilmiah akan terus dianggap sebagai cara yang tidak logis atau khayalan selama belum ada penjelasan ilmiahnya. Wallahu a’lam. (Aswan AS)

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic