ThePhrase.id - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karyasuda menyatakan dirinya sepakat atas usul yang disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Subagja agar pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak digelar di tahun yang sama.
Hal tersebut disampaikan saat menghadiri forum diskusi bertajuk “Masa Depan Demokrasi Elektoral di Indonesia” di Jakarta pada Selasa (29/4).
“Terkait dengan tahapan, saya sepakat. Bahwa tahapan pemilu kita, pileg, pilkada, pilpres itu minimal jedanya setahun. Minimal,” ucap Rifqinizamy, dikutip Antaranews.
“Jadi nanti kalau 2029, ya minimal pilkadanya 2030. Tahun 2031 juga tidak apa-apa,” imbuhnya.
Ia kemudian mengatakan bahwa salah satu alasan pemilu dan pilkada diselenggarakan di tahun yang berbeda adalah untuk memberikan jeda waktu, sekaligus mendorong agar penyelenggara di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota menjadi bersifat permanen.
“Tetapi saya juga ingin menyampaikan di forum ini bahwa keinginan untuk menjadikan pilkada untuk tidak langsung juga karena itu, kita juga harus bersiap apapun yang akan terjadi ke depan. Kita harus memiliki skenario dalam konteks keaktivisan,” tukasnya.
Ia menambahkan terkait pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu di DPR, sampai saat ini masih belum diambil keputusan resmi karena mengikuti arahan pimpinan DPR.
“Revisi Undang-Undang Pemilu sampai hari ini belum diputuskan untuk dibahas di DPR. Di awal masa sidang lalu, kami sudah menghadap pimpinan DPR, dan disampaikan bahwa momentumnya belum tepat karena pemilu masih cukup lama,” jelasnya.
Dalam forum yang sama, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin menyebut Pemilu 2024 sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah Indonesia, karena penyelenggaraan pilpres, pileg, dan pilkada yang dilakukan secara serentak.
“Pemilu paling rumit ini di Indonesia. Apalagi di tahun 2024, pemilunya kemarin itu dilaksanakan di tahun yang sama. Belum pernah sebelumnya,” ujar Afifuddin.
Mepetnya waktu pelaksanaan tersebut melahirkan tantangan besar akan adanya tumpang tindih tahapan. Oleh karenanya, Afifuddin menyarankan untuk melakukan evaluasi sistemik terkait desain waktu penyelenggaraan pemilu ke depan.
Namun, ia menuturkan bahwa KPU sebagai pelaksana pemilu tetap tidak memiliki kewenangan untuk mengubah desain pemilu tersebut.
“KPU ini pelaksana saja. Kalau undang-undangnya lebih cepat, kita bisa rumuskan lebih baik. Tapi kalau dibahas belakangan, ya kita menyesuaikan,” tandasnya. (Rangga)