features

Korupsi Kuota Haji 2024, Jokowi Akan Jadi Saksi?

Penulis Aswandi AS
Aug 19, 2025
Menteri Agama periode 2020-2024. (Foto: Instagram/gusyaqut)
Menteri Agama periode 2020-2024. (Foto: Instagram/gusyaqut)

ThePhrase.id - Kasus dugaan korupsi kuota haji  mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, menambah daftar panjang menteri era Jokowi yang terlibat kasus korupsi.  Sebanyak 20.000 kuota tambahan haji dari Arab Saudi digunakan tidak sesuai aturan  yang telah merugikan negara dan calon jemaah yang sudah lama mengantri.  Apakah kasus ini akan menyeret Jokowi ikut diperiksa?  Karena kuota tambahan itu diperoleh setelah Jokowi meloby pemerintah Arab Saudi.

Berdasarkan hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun. "Jadi angka yang didapatkan dari hitungan awal adalah lebih dari Rp.1 triliun," ungkap juru bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Senin, 11 Agustus 2025.

Untuk kepentingan penyidikan,  KPK sudah mengeluarkan surat pencekalan Yaqout  bepergian ke luar negeri yang berlaku selama enam bulan ke depan. "Pada 11 Agustus 2025, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang larangan bepergian ke luar negeri," kata Budi Prasetyo dalam keterangannya pada Selasa, 12 Agustus 2025.

Selain Yaqut, KPK juga mencegah dua orang lainnya ke luar negeri, yaitu mantan staf khusus Yaqut Ishfah Abidal Aziz dan pemilik Maktour Fuad Hasan Masyur.

Menanggapi pencekalan itu Yaqut Cholil Qoumas, menyatakan akan mematuhi seluruh proses hukum. Melalui juru bicaranya,  Anna Hasbie, Yaqut siap bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

“Sebagai bagian dari masyarakat yang menghormati hukum, beliau menegaskan komitmennya untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum guna menyelesaikan perkara ini sesuai ketentuan yang ada,” tulis Anna dalan keterangan resmi, Selasa, 12 Agustus 2025.

KPK Duga Pejabat Kemenag dan Agen Travel Dapat Untung

Dalam pengusutan perkara ini, KPK mengatakan bahwa pihak yang mendapat keuntungan dari korupsi kuota haji adalah pejabat di Kementerian Agama dan perusahaan travel yang bergerak di bidang haji dan umrah.

Untuk mengusut kasus ini KPK menggunakan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal 2 mengatur mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Sementara itu, Pasal 3 memuat ketentuan tentang penyalahgunaan wewenang oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang juga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.

Selain Yaqut, KPK telah memeriksa sejumlah nama, di antaranya Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah, dan pendakwah Khalid Basalamah.

Duduk Perkara Korupsi Kuota Haji

KPK mengusut kasus ini setelah ada laporan dari lima kelompok masyarakat serta Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat (Amalan Rakyat). Pelaporan ini terkait dengan dugaan penyimpangan dalam penyelenggaraan haji 2024.

KPK mengatakan dugaan penyimpangan tersebut terjadi saat Indonesia mendapat tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu pada 2024. Sesuai aturan, seharusnya 18.400 kuota atau sekitar 92 persen dialokasikan untuk jemaah haji reguler, sementara 1.600 kuota atau 8 persen sisanya diperuntukkan bagi jemaah haji khusus.

Namun, pada praktiknya, tambahan kuota tersebut justru dibagi rata, 10 ribu untuk jemaah reguler dan 10 ribu untuk haji khusus. Padahal, jika dihitung berdasarkan biaya haji khusus yang jauh lebih tinggi, alokasi 10 ribu kuota untuk haji khusus menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar. Karena itu, KPK menilai pembagian kuota ini tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

KPK mendalami Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas. SK ini menjadi salah satu alat bukti dalam mengusut kasus dugaan korupsi kuota haji 2024.

"Mereka dengan berbagai macam alasan akhirnya membagi (kuota) menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, artinya 50 persen-50 persen, dan menyalahi atau tidak sesuai dengan Undang-undang," kata Asep, Selasa (12/8/2025) malam, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
KPK akan mendalami siapa pihak yang merancang SK itu. Pihaknya juga mendalami rapat jajaran Kementerian Agama dengan Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah karena kesepakatan pembagian kuota haji khusus dan reguler tercapai setelah pertemuan tersebut.

Kuota tambahan 20.000 itu diperoleh Indonesia, setelah Mantan Presiden  Joko Widodo melobi pemerintah Arab Saudi tahun 2023.  Karena itu, KPK membuka kemungkinan memanggil Jokowi sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2024.

“Pemanggilan terhadap semua saksi tentu tergantung kebutuhan dari penyidik.  KPK terbuka untuk memanggil siapa saja yang diduga mengetahui konstruksi perkara ini dan dapat membantu membuka dan membuat terang dari penanganan perkara ini,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (11/8/2025).

Kasus dugaan korupsi kuota haji ini, menambah panjang daftar  kasus korupsi di Departemen Agama selama ini.  2019 lalu, Kementerian Agama (Kemenag) dihebohkan dengan kasus jual beli jabatan dengan menangkap  Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy atau Rommy, Jumat, 15 Maret 2019.  Selain Rommy, nama lain terpidana kasus ini adalah  Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur Haris Hasanudin,  dan Kepala Kantor Kementerian Agama Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi.

Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Menteri Agama saat itu, Said Agil Husin Al Munawar ditangkap dalam kasus korupsi Dana Abadi Umat dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1999-2003.  Dana Rp719 miliar yang seharusnya digunakan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sarana ibadah tersebut digunakan secara pribadi oleh Said Agil dan mantan Direktur Jenderal Bimas Islam Taufik Jami.

Selain itu, ada kasus korupsi Kementerian Agama yang cukup menghebohkan adalah kasus korupsi pengadaan kitab suci Alquran di Kemenag tahun 2011.  Kasus itu berawal saat Kemenag memiliki dana Rp22,855 miliar untuk penggandaan Alquran tahun 2011 di Ditjen Bimas Islam. Proyek ini berlanjut ke tahap kedua yakni melalui APBN 2012 senilai Rp59,375 miliar. Tiga nama dalam kasus ini, yakni Zulkarnaen Djabar, Fahd A Rafiq, dan Dendy Prasetya, dengan kerugian negara  sebesar Rp27,056 miliar.

Kasus yang juga menggemparkan Kemenag adalah ketika Suryadharma Ali, Menteri Agama era SBY terlibat kasus korupsi dana haji.  Suryadharma ketika itu dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Arab Saudi. Dalam  sidang putusan 11 Januari 2016, Surya divonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp1,8 miliar.

Kasus-kasus korupsi ini menjadi sangat ironi. Ironi karena posisi Kemenag sebagai institusi yang tidak hanya mengurus urusan sesama manusia tetapi juga urusan  manusia dengan Tuhannya. Korupsi di instansi ini bahkan sudah menyentuh bagian paling fundamental agama, Kitab suci. Dengan fakta ini, maka wajar  bila korupsi di negeri ini terjadi di semua lini, karena ajaran agama ternyata hanya menjadi materi khotbah tetapi tidak menjadi  petunjuk dan jalan hidup. Wailalhu’alm! (Aswan AS)

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic